Analisis
Struktur dan Nilai Budaya Dongeng Suku Rejang Berjudul “Buaya Kotong” dalam
Pembelajaran Sastra (K13) di Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
Cerita rakyat suku bangsa Rejang adalah sastra lisan yang
hidup dan berkembang dari masa kemasa yang dimiliki masyarakat Rejang.
Masyarakat Rejang memiliki berbagai macam ragam sastra lisan seperti : sambai
andak, geritan, mantra, pantun, berdoi dll. Berdoi artinya bercerita/mendongeng
tentang legenda, mite dan fabel yang pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Rejang.
Cerita rakyat ini selain menghibur juga mengandung pendidikan dan nilai budaya
pendukungnya. Paradigma bahwa karya sastra bukan hanya seni untuk seni akan
tetapi mengandung unsur kebudayaan sebagai titik tolak pembelajaran sastra berbasis
budaya lokal.
Cerita rakyat menurut Liau Yock Fang (dalam Musfeptial,
2004:2) mengindentikkan cerita rakyat dengan prosa rakyat, yaitu sastra yang
hidup di tengah-tengah rakyat dan dituturkan secara lisan oleh tukang cerita
dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Cerita rakyat digolongkan
sebagai bagian dari folklore lisan, Dananjaya (1991:21) membagi folklore atas
tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu : (1) folklore lisan seperti
cerita prosa rakyat, ungkapan tradisional,pertanyaan tradisional dan puisi
rakyat, (2) folklore sebagian lisan seperti religi, permainan, upacara, teater
dan tari rakyat, (3) folklore bukan lisan berupa material dan bukan material.
Suku Rejang adalah suku tertua dan terbesar jumlah
anggotanya di propinsi Bengkulu asumsinya tentu memiliki banyak sekali cerita
rakyat. Faktanya bahwa wilayah Jang Belek Tebo meliputi Kabupaten Lebong,
Rejang Lebong dan Kepahyang maupun Jang pesisia meliputi kabupaten Bengkulu
Utara dan Bengkulu Tengah banyak ditemui cerita rakyat berjenis mite, legenda
dan fabel. Bascom (dalam Ekorusyono, 2013:128) mendefinisikan mite adalah
dongeng yang berkaitan dengan keyakinan sekelompok orang dianggap suci dan
benar-benar terjadi mengenai kejadian atau peristiwa yang tidak masuk akal dan
biasanya ditokohkan oleh dewa atau manusia setengah dewa. Legenda adalah
dongeng yang dikaitkan dengan peristiwa alam atau kejadian alam yang
benar-benar ada, biasanya ditokohkan oleh manusia luar biasa, sedangkan fabel
adalah dongeng tentang binatang yang bertingkah laku seperti manusia.
Cerita rakyat adalah karya fiksi yang lahir dari khayalan
pengarang semata, bukan diangkat dari suatu kenyataan yang benar-benar terjadi
dan hanya untuk keperluan hiburan walaupun mungkin berisi pendidikan, nasehat
kehidupan. Cerita rakyat ini, didalamnya banyak terkandung suri tauladan dimana
orang yang jahat akan menuai celaka dan yang baik akhirnya meraih kebahagiaan.
Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai budaya dan pandangan-pandangan yang
relevan dengan persoalan konkrit yang ada pada masyarakat pendukungnya.
Seiring dengan kenyataan itu, kajian mendalam dan serius
terhadap cerita rakyat suatu daerah dalam hal ini suku Rejang sangat penting
untuk mengetahui ide dan gagasan serta pandangan hidup yang dimiliki oleh suku
Rejang pada suatu zaman. Selain itu,
dengan menganalisis cerita rakyat kita dapat memperoleh pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. Pendapat tersebut didukung oleh
Sumarjo dan Saini (1997:8) yang mengatakan bahwa salah satu manfaat karya
sastra adalah memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang
kebenaran-kebenaran hidup ini, kita juga memperoleh pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan. Berdasarkan uraian di atas
maka masalah pokok yang akan
dideskripsikan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.
Bagaimanakah unsur struktural berupa
tema/amanat, penokohan dan latar yang membangun cerita rakyat Rejang berjudul
“Buaya Kotong” ?
2.
Bagaimanakah nilai budaya yang terkandung
dalam cerita rakyat Rejang berjudul “Buaya Kotong” ?
3.
Bagaimanakah langkah-langkah pembelajaran
dongeng menurut kurikulum 2013 (K13)?
METODOLOGI
Penyajian ini
bertitik tolak dari kerangka teori struktural Teuuw (1988:154), Nurgiyantoro
(2010:37) dan dibatasi pada unsur tema Semi (1984:42), Sujiman (1991:50),
Aminudin (dalam Siswanto, 2008:161), Nurgiyantoro (2010:68), unsur penokohan
Endraswara (2009:116), Aminudin (dalam Siswanto, 2008:145), Nurgiyantoro
(2010:167) dan unsur latar Jacob sumarjo dan Saini (1997:75), Nurgiyantoro
(2010:216). Selain unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra juga dikaji
nilai budaya yang terdapat dalam tatanan masyarakat bersifat universal
Koentjaraningrat (2009:153). Analisis data menggunakan metode deskriptif untuk
menjelaskan tema/amanat, penokohan. Latar dan nilai budaya yang terkandung
dalam teks cerita. Sumber data dikutip dari buku berjudul “Cerita Rakyat Rejang”
yang dihimpun Ekorusyono dan Imron Rosyadi penerbit Buku Litera Yogyakarta
tahun 2014.
PEMBAHASAN
A.Cerita
Mite Jang Pesisia
Buaya Kotong
Di
sebuah dusun hiduplah sebuah keluarga, dimana istrinya setiap melahirkan selalu
kembar, satu manusia dan satunya lagi berujud buaya. Sudah tujuh kali
berturut-turut melahirkan selalu begitu keadaannya. Oleh kedua orang tuanya
keadaan seperti itu disembunyikan rapat-rapat agar tidak diketahui masyarakat
karena malu memiliki anak seekor buaya.
Setiap anak yang berwujud buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat
tersembunyi di sawah milik mereka dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui.
Kedua orang tuanya bingung mau dibunuh tidak tega mau dibuang sayang, biar
bagaimanapun ketujuh buaya itu adalah anak mereka juga. Lama kelamaan kedua
orang tua itu tidak tahan memendam rahasia yang selama ini mereka tutup
rapat-rapat. Akhirnya mereka sepakat untuk melapor pada ketua dusun untuk
mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.
Ketua
dusun mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar
langsung dari kedua orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa
selama ini istrinya setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya.
Sebetulnya kami ingin membunuh anak yang berwujud buaya tapi tidak tega,
sementara kalau dibiarkan saja di sawah kasihan. Berdasarkan hasil musyawarah
ketua dusun diputuskanlah untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai.
Anak-anak berujud buaya itu diangkat ke darat dari sawah berlumpur untuk
ditanyai oleh kedua orang tuanya, apakah
mereka mau hidup atau mati? kalau mau
hidup kami akan melepaskan kalian ke sungai dan mereka setuju untuk dilepas di
sungai.
Ketujuh
ekor buaya itu dilepas satu persatu ke sungai dengan memberi tanda masing-masing
ekor buaya dipotong sampai pangkalnya. Dari tanda itulah orang-orang
menamakannya buaya buntung (buayo kotong). Di saat melepas mereka kedua orang
tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat
kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga
dari segala mara bahaya. Suatu saat nanti apabila di rumah kita ada
kenduri/pesta menyembelih seekor kambing dalam memeriahkan acara gembira kalian
akan kami beri hantaran makanan sebaliknya apabila ada musibah kami tidak akan
memberi apa-apa. Ketujuh ekor buaya ini bila mempunyai anak, maka ia akan
menggigit ekor anaknya sebagai tanda keturunan buaya buntung.
Sampai
sekarang setiap keturunan dari saudara buaya buntung yang hidup di darat kalau
mengadakan pesta atau hajatan apa saja yang bersifat menyenangkan musti memberi
punjungan kepada keturunan buaya buntung yang berdiam di sungai. Adapun aneka
warna makanannya adalah nasi putih dibungkus daun pisang dan hati-jantung
kambing yang sudah dimasak. Punjungan itu di antar ke tepian sungai Palik
dengan memanggil (hai....asal buaya buntung dahulu) kalau masih ada
keturunannya ini kami mengantar makanan
agar kalian memakannya. Jikalau keturunan yang di darat lalai tidak memberi
punjungan makanan maka buaya buntung akan memperlihatkan diri mondar mandir di
sungai itu memberi tanda ada keturunannya yang di darat melanggar perjanjian.
Apabila masih juga tidak diantar, maka buaya buntung akan terus mondar mandir
sampai makanan diantar dan syarat punjungannya ditambah seekor ayam putih
sebagai tanda maaf karena telah melalaikannya. Sekian ceritanya.
1.Tema
dan Amanat.
Cerita “Buaya Kotong “ ini
menceritakan keadaan suami istri yang selalu melahirkan anak kembar satu
berujud manusia satu berujud buaya. Keadaan yang memalukan ini mereka simpan
rapat-rapat, mau dibunuh tidak tega anak sendiri dibiarkan hidup menjadi
aib. Sampai pada suatu hari mereka tidak
tahan lagi, akhirnya berterus terang kepada kepala desa untuk dicarikan jalan
keluarnya.
Tema cerita ini adalah berterus terang dan menerima apa
adanya suatu cara hidup bahagia. Apa yang dikaruniakan oleh pencipta itu
terbaik bagi dirinya, menyesali atau tidak bisa menerima takdir justru akan
membawa kesengsaraan.
Amanat cerita “Buaya Kotong” hendaklah seseorang “nrimo”
apapun yang diberi oleh pencipta walau tidak sesuai dengan harapannya. Pastilah
dibalik itu ada hikmah yang tersimpan. Hikmah itu adalah terjalinnya kehidupan
antara manusia dan buaya dalam suatu ekosistem yang harmonis. Hal ini dapat
diketahui dari kutipan berikut :
Ketujuh ekor buaya itu
dilepas satu persatu ke sungai dengan memberi tanda masing-masing ekor buaya
dipotong sampai pangkalnya. Dari tanda itulah orang-orang menamakannya buaya
buntung (buayo kotong). Di saat melepas mereka kedua orang tuanya berpesan
kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/musibah agar
ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala mara
bahaya.
Kutipan diatas menunjukkan
kearifan lokal dalam pelestarian fauna (buaya) berjalan secara alami. Masyarakat
tidak ada yang mau membunuh buaya karena mereka menganggap buaya-buaya yang ada
di sungai adalah saudara mereka khususnya yang berekor buntung. Mereka
membentuk perilaku terbaik bahwa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan harus
saling kasih sayang satu dengan lainnya.
2.Penokohan
Dalam cerita “Buaya Kotong” terdapat sejumlah tokoh yang
mendukung cerita yaitu tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama diperankan
oleh suami istri sedangkan tokoh pembantu diperankan oleh kepala dusun dan
buaya. Sikap dan perilaku para tokoh akan dideskripsikan sebagai berikut :
2.1.Suami – Istri
Sebagai tokoh utama suami istri ini orang yang pengasih,
watak ini tampak pada kutipan berikut ini.
Setiap anak yang berwujud
buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat tersembunyi di sawah milik mereka
dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui. Kedua orang tuanya bingung mau
dibunuh tidak tega mau dibuang sayang, biar bagaimanapun ketujuh buaya itu
adalah anak mereka juga.
2.2.Kepala Dusun
Dalam cerita ini, dikisahkan sifat kepala dusun seorang
yang arif bijaksana seperti kutipan berikut :
Ketua dusun mengambil
kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar langsung dari kedua
orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa selama ini istrinya setiap
melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya. Sebetulnya kami ingin
membunuh anak yang berwujud buaya tapi tidak tega, sementara kalau dibiarkan
saja di sawah kasihan. Berdasarkan hasil musyawarah ketua dusun diputuskanlah
untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai.
2.3.Buaya
Buaya digambarkan sebagai anak yang penurut dan sabar.
Sabar walau dibuang di lumpur sawah anak-anak ini tidak melarikan diri, setia
karena ia tidak pernah mengganggu/apalagi menyakiti masyarakat di sekitar
sungai Palik. Boleh percaya atau tidak sampai saat ini belum terjadi sekalipun
masyarakat sekitar diganggu buaya. Buaya memegang teguh pesan kedua orang
tuanya seperti pada kutipan berikut :
Di saat melepas mereka kedua
orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat
kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga
dari segala mara bahaya.
3.Latar
Latar cerita Buaya
Kotong ini adalah sebuah rumah ditengah sawah dipinggir sungai Palik. Dari
rumah kedua suami-istri dimulainya cerita lahirnya anak berujud buaya. Latar
sawah sebagai gambaran aktivitas kehidupan dan mata pencaharian masyarakat
sehari-hari. Latar sungai merupakan latar terakhir dimana anak-anak berujud
buaya dilepas di tempat semestinya mereka hidup bebas.
4.Nilai Budaya
4.1.Kasih sayang.
Nilai budaya yang paling menonjol dalam cerita “Buaya
Kotong” ini adalah nilai kasih sayang. Nilai ini diketahui dari sikap tokoh
utama (suami-istri). Mereka tetap memelihara anak yang berujud buaya walau
mereka malu. Nilai itu dapat diketahui dari kutipan berikut :
Setiap anak yang berwujud
buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat tersembunyi di sawah milik mereka
dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui.
4.2.Bijaksana
Sifat bijaksana harus dimiliki oleh siapa saja utamanya
seseorang yang diberi amanah sebagai pemimpin. Contohnya, kepala dusun yang
memberi jalan secara musyawarah dan menyelesaikan masalah dengan baik. Sifat
ini nampak pada kutipan berikut :
Ketua dusun mengambil
kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar langsung dari kedua
orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa selama ini istrinya
setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya. Berdasarkan hasil
musyawarah ketua dusun diputuskanlah untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu
ke sungai.
4.3.Patuh sama orang tua
Sifat patuh pada orang tua terlihat pada perilaku buaya
yang tidak pernah mengganggu masyarakat di desa itu. Pesan itu tampak pada
kutipan berikut :
Di saat melepas mereka kedua
orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat
kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga
dari segala mara bahaya.
B.LANGKAH-LANGKAH
PEMBELAJARAN K13
Langkah-langkah
pembelajaran dalam kurikulum 2013 selalu dimulai dari kompetensi dasar bersifat
pengetahuan (KI 3), dalam teks KD yang akan diajarkan adalah dongeng “Buaya
Kotong” cerita masyarakat Rejang Pesisir di kecamatan Air Napal Bengkulu Utara.
Mula-mula anak-anak mendengar dongeng bisa dari model, Guru, teman sejawat,
audio visual dll, atau membaca teks dongeng tersebut secara mandiri.
Dilanjutkan anak-anak diminta mencari tokoh, latar cerita dan tema cerita
dengan teknik probying (pertanyaan pancingan) seperti :
1.
Daftarlah nama- nama yang menjadi pelaku
dalam cerita !
2.
Amati dimana cerita itu berlangsung (sawah,
sungai, gunung, laut/pantai, hutan), jawabannya diarahkan pada pekerjaan
masyarakat pada waktu itu dan anak menyimpulkan latar cerita sesuai
pemahamannya masing-masing !
3.
Apa pesan yang anak-anak pahami dari teks
cerita ?
4.
Apa pelajaran yang anak-anak peroleh dari
membaca teks cerita ?
Di depan kelas kemudian
dipampang alat peraga tentang unsur struktural cerita yaitu tema, penokohan,
latar dan nilai budaya. Jawaban anak-anak dikonfirmasikan dengan teori yang ada
dalam alat peraga sehingga anak memahami unsur –unsur yang membangun suatu
cerita.
Langkah kedua melatih ketrampilan (KI 4) anak menemukan
sendiri unsur-unsur yang membangun suatu cerita dengan menyodorkan/menawarkan
dongeng selain “Buayo Kotong” yang mereka ketahui masing-masing (langkah ini
untuk mempertajam memori anak). Mereka secara individual menulis dongeng yang
diketahuinya dan mulai menganalisis unsur-unsur yang membangun sebuah dongeng
dan nilai budaya yang dikandungnya.
Langkah ketiga melakukan evaluasi dengan
pertanyaan-pertanyaan divergen sebagai berikut :
1.
Siapakah tokoh yang kamu senangi dalam teks
cerita, pilih satu dan jelaskan?
2.
Setujukah kamu dengan latar cerita yang sudah
kamu rumuskan, apa alasannya?
3.
Bisakah anak-anak membuat cerita dari tema
yang sudah ditemukan dalam teks cerita? Cobalah satu – dua paragraf saja!
4.
Mengapa kita harus ( sesuai nilai budaya yang
ditemukan anak) misalnya sabar, bijaksana, jujur dll. Berikan ulasanmu tentang
nilai budaya itu!
Jadi pertanyaan-pertanyaan
konvergen hanya digunakan untuk memancing dan mengarahkan anak untuk menemukan
unsur-unsur yang ingin kita ajarkan sedangkan evaluasi dengan pertanyaan
divergen untuk mengekplore imaji, inovasi dan kreatitas anak.
KESIMPULAN
Amanat cerita
tersebut di atas hendaklah seseorang bisa menerima ketentuan dari Alloh SWT
(Sang Pencipta) utamanya tentang qodho’ dan qodar. Bisa saja seseorang
menginginkan anak laki-laki yang ternyata dikaruniai anak perempuan semua
begitu juga sebaliknya, bahkan ada yang diberi cobaan dengan anak tidak normal
baik sisi jasmani maupun rohani akan tetapi kita harus menerima itu semua
dengan iklas karena diyakini itu adalah yang terbaik bagi diri kita. Adapun
nilai budaya yang ada dalam cerita di atas (1) kasih sayang, (2) bijaksana, dan
(3) patuh pada orang tua.
Pembelajaran yang berpusat pada keaktifan anak-anak dapat
dilakukan dengan kreativitas kita sebagai guru. Langkah-langkah pembelajaran di
atas hanya salah satu saja, dari sekian banyak model pembelajaran dan anda bisa
mencobanya sekaligus memodifikasi sesuai lingkungan dan situasi masing-masing
atau menggunakan model lainnya.
Analisis mengenai sastra lisan cerita rakyat tentang
“Buaya Kotong” suku Rejang dapat disimpulkan bahwa dongeng mite tersebut pada
dasarnya bersifat relijius, karena adanya keyakinan asal muasal tetua mereka
dahulu bersaudara dengan buaya. Mitos ini berdampak pada perilaku mereka
memberi sesajen setiap ada hajatan yang dipersembahkan pada buaya yang ekornya
buntung sebagai simbol persaudaraan. Ajaran moralnya adalah jangan mandi di sungai
banyak buaya dan itu sangat bebahaya karenanya harus dihindari. Mitos ini
sangat efektif untuk mencegah warga dari gangguan buaya yang banyak berkeliaran
di sungai, kalupun terpaksa ke sungai harus hati-hati. Dibanding dengan
peringatan tertulis, “Awas hati-hati banyak buaya” warga yang tidak bisa baca
tulis akan mengabaikan peringatan itu karena ketidaktahuannya, bagi yang pandai
membaca mereka akan memburu hewan yang dianggap berbahaya itu.
Daftar
Pustaka
Dananjaya,
james. 1991. Folklore : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta :
Grafiti Press.
Ekorusyono.
2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.
Ekorusyono
dan Imron Rosyadi.2014. Cerita Rakyat Rejang. Yogyakarta :
Penerbit Buku Litera.
Endraswara,
Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.
Jacob
Sumarjo dan Saini KM.1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Kontjaraningrat. 2009.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Musfeptial
dan Hari Purwanti. 2004. Analisis struktur dan Nilai Budaya Sastra Lisan
Dayak Uud Danum. Jakarta : Pusat bahasa Departemen Pendidikan nasional.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Siswanto,
Wahyudi.2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Penerbit PT Grasindo.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung :
Angkasa.
Sujiman, Panuti.1991. Sang Penyalin dan Goresan Penanya
dalam Naskah dan Kata. Depok : Universitas Indonesia.
Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra :
Pengantar Teori Sastra.
Jakarta : Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar