Kamis, 04 Agustus 2016


Analisis Struktur dan Nilai Budaya Dongeng Suku Rejang Berjudul “Buaya Kotong” dalam Pembelajaran Sastra (K13) di Sekolah Dasar

PENDAHULUAN
            Cerita rakyat suku bangsa Rejang adalah sastra lisan yang hidup dan berkembang dari masa kemasa yang dimiliki masyarakat Rejang. Masyarakat Rejang memiliki berbagai macam ragam sastra lisan seperti : sambai andak, geritan, mantra, pantun, berdoi dll. Berdoi artinya bercerita/mendongeng tentang legenda, mite dan fabel yang pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Rejang. Cerita rakyat ini selain menghibur juga mengandung pendidikan dan nilai budaya pendukungnya. Paradigma bahwa karya sastra bukan hanya seni untuk seni akan tetapi mengandung unsur kebudayaan sebagai titik tolak pembelajaran sastra berbasis budaya lokal.
            Cerita rakyat menurut Liau Yock Fang (dalam Musfeptial, 2004:2) mengindentikkan cerita rakyat dengan prosa rakyat, yaitu sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat dan dituturkan secara lisan oleh tukang cerita dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Cerita rakyat digolongkan sebagai bagian dari folklore lisan, Dananjaya (1991:21) membagi folklore atas tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu : (1) folklore lisan seperti cerita prosa rakyat, ungkapan tradisional,pertanyaan tradisional dan puisi rakyat, (2) folklore sebagian lisan seperti religi, permainan, upacara, teater dan tari rakyat, (3) folklore bukan lisan berupa material dan bukan material.
            Suku Rejang adalah suku tertua dan terbesar jumlah anggotanya di propinsi Bengkulu asumsinya tentu memiliki banyak sekali cerita rakyat. Faktanya bahwa wilayah Jang Belek Tebo meliputi Kabupaten Lebong, Rejang Lebong dan Kepahyang maupun Jang pesisia meliputi kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah banyak ditemui cerita rakyat berjenis mite, legenda dan fabel. Bascom (dalam Ekorusyono, 2013:128) mendefinisikan mite adalah dongeng yang berkaitan dengan keyakinan sekelompok orang dianggap suci dan benar-benar terjadi mengenai kejadian atau peristiwa yang tidak masuk akal dan biasanya ditokohkan oleh dewa atau manusia setengah dewa. Legenda adalah dongeng yang dikaitkan dengan peristiwa alam atau kejadian alam yang benar-benar ada, biasanya ditokohkan oleh manusia luar biasa, sedangkan fabel adalah dongeng tentang binatang yang bertingkah laku seperti manusia.
            Cerita rakyat adalah karya fiksi yang lahir dari khayalan pengarang semata, bukan diangkat dari suatu kenyataan yang benar-benar terjadi dan hanya untuk keperluan hiburan walaupun mungkin berisi pendidikan, nasehat kehidupan. Cerita rakyat ini, didalamnya banyak terkandung suri tauladan dimana orang yang jahat akan menuai celaka dan yang baik akhirnya meraih kebahagiaan. Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai budaya dan pandangan-pandangan yang relevan dengan persoalan konkrit yang ada pada masyarakat pendukungnya.
            Seiring dengan kenyataan itu, kajian mendalam dan serius terhadap cerita rakyat suatu daerah dalam hal ini suku Rejang sangat penting untuk mengetahui ide dan gagasan serta pandangan hidup yang dimiliki oleh suku Rejang  pada suatu zaman. Selain itu, dengan menganalisis cerita rakyat kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. Pendapat tersebut didukung oleh Sumarjo dan Saini (1997:8) yang mengatakan bahwa salah satu manfaat karya sastra adalah memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, kita juga memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan. Berdasarkan uraian di atas maka masalah  pokok yang akan dideskripsikan dapat dirumuskan  sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah unsur struktural berupa tema/amanat, penokohan dan latar yang membangun cerita rakyat Rejang berjudul “Buaya Kotong” ?
2.    Bagaimanakah nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Rejang berjudul “Buaya Kotong” ?
3.    Bagaimanakah langkah-langkah pembelajaran dongeng menurut kurikulum 2013 (K13)?


METODOLOGI
            Penyajian ini bertitik tolak dari kerangka teori struktural Teuuw (1988:154), Nurgiyantoro (2010:37) dan dibatasi pada unsur tema Semi (1984:42), Sujiman (1991:50), Aminudin (dalam Siswanto, 2008:161), Nurgiyantoro (2010:68), unsur penokohan Endraswara (2009:116), Aminudin (dalam Siswanto, 2008:145), Nurgiyantoro (2010:167) dan unsur latar Jacob sumarjo dan Saini (1997:75), Nurgiyantoro (2010:216). Selain unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra juga dikaji nilai budaya yang terdapat dalam tatanan masyarakat bersifat universal Koentjaraningrat (2009:153). Analisis data menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan tema/amanat, penokohan. Latar dan nilai budaya yang terkandung dalam teks cerita. Sumber data dikutip dari buku berjudul “Cerita Rakyat Rejang” yang dihimpun Ekorusyono dan Imron Rosyadi penerbit Buku Litera Yogyakarta tahun 2014.



PEMBAHASAN
A.Cerita Mite Jang Pesisia
Buaya Kotong
Di sebuah dusun hiduplah sebuah keluarga, dimana istrinya setiap melahirkan selalu kembar, satu manusia dan satunya lagi berujud buaya. Sudah tujuh kali berturut-turut melahirkan selalu begitu keadaannya. Oleh kedua orang tuanya keadaan seperti itu disembunyikan rapat-rapat agar tidak diketahui masyarakat karena malu memiliki anak seekor buaya.  Setiap anak yang berwujud buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat tersembunyi di sawah milik mereka dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui. Kedua orang tuanya bingung mau dibunuh tidak tega mau dibuang sayang, biar bagaimanapun ketujuh buaya itu adalah anak mereka juga. Lama kelamaan kedua orang tua itu tidak tahan memendam rahasia yang selama ini mereka tutup rapat-rapat. Akhirnya mereka sepakat untuk melapor pada ketua dusun untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.
Ketua dusun mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar langsung dari kedua orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa selama ini istrinya setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya. Sebetulnya kami ingin membunuh anak yang berwujud buaya tapi tidak tega, sementara kalau dibiarkan saja di sawah kasihan. Berdasarkan hasil musyawarah ketua dusun diputuskanlah untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai. Anak-anak berujud buaya itu diangkat ke darat dari sawah berlumpur untuk ditanyai oleh kedua orang tuanya,  apakah mereka  mau hidup atau mati? kalau mau hidup kami akan melepaskan kalian ke sungai dan mereka setuju untuk dilepas di sungai.
Ketujuh ekor buaya itu dilepas satu persatu ke sungai dengan memberi tanda masing-masing ekor buaya dipotong sampai pangkalnya. Dari tanda itulah orang-orang menamakannya buaya buntung (buayo kotong). Di saat melepas mereka kedua orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala mara bahaya. Suatu saat nanti apabila di rumah kita ada kenduri/pesta menyembelih seekor kambing dalam memeriahkan acara gembira kalian akan kami beri hantaran makanan sebaliknya apabila ada musibah kami tidak akan memberi apa-apa. Ketujuh ekor buaya ini bila mempunyai anak, maka ia akan menggigit ekor anaknya sebagai tanda keturunan buaya buntung.
Sampai sekarang setiap keturunan dari saudara buaya buntung yang hidup di darat kalau mengadakan pesta atau hajatan apa saja yang bersifat menyenangkan musti memberi punjungan kepada keturunan buaya buntung yang berdiam di sungai. Adapun aneka warna makanannya adalah nasi putih dibungkus daun pisang dan hati-jantung kambing yang sudah dimasak. Punjungan itu di antar ke tepian sungai Palik dengan memanggil (hai....asal buaya buntung dahulu) kalau masih ada keturunannya  ini kami mengantar makanan agar kalian memakannya. Jikalau keturunan yang di darat lalai tidak memberi punjungan makanan maka buaya buntung akan memperlihatkan diri mondar mandir di sungai itu memberi tanda ada keturunannya yang di darat melanggar perjanjian. Apabila masih juga tidak diantar, maka buaya buntung akan terus mondar mandir sampai makanan diantar dan syarat punjungannya ditambah seekor ayam putih sebagai tanda maaf karena telah melalaikannya. Sekian ceritanya.

1.Tema dan Amanat.
Cerita “Buaya Kotong “ ini menceritakan keadaan suami istri yang selalu melahirkan anak kembar satu berujud manusia satu berujud buaya. Keadaan yang memalukan ini mereka simpan rapat-rapat, mau dibunuh tidak tega anak sendiri dibiarkan hidup menjadi aib.  Sampai pada suatu hari mereka tidak tahan lagi, akhirnya berterus terang kepada kepala desa untuk dicarikan jalan keluarnya.
            Tema cerita ini adalah berterus terang dan menerima apa adanya suatu cara hidup bahagia. Apa yang dikaruniakan oleh pencipta itu terbaik bagi dirinya, menyesali atau tidak bisa menerima takdir justru akan membawa kesengsaraan.
            Amanat cerita “Buaya Kotong” hendaklah seseorang “nrimo” apapun yang diberi oleh pencipta walau tidak sesuai dengan harapannya. Pastilah dibalik itu ada hikmah yang tersimpan. Hikmah itu adalah terjalinnya kehidupan antara manusia dan buaya dalam suatu ekosistem yang harmonis. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :
Ketujuh ekor buaya itu dilepas satu persatu ke sungai dengan memberi tanda masing-masing ekor buaya dipotong sampai pangkalnya. Dari tanda itulah orang-orang menamakannya buaya buntung (buayo kotong). Di saat melepas mereka kedua orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala mara bahaya.
Kutipan diatas menunjukkan kearifan lokal dalam pelestarian fauna (buaya) berjalan secara alami. Masyarakat tidak ada yang mau membunuh buaya karena mereka menganggap buaya-buaya yang ada di sungai adalah saudara mereka khususnya yang berekor buntung. Mereka membentuk perilaku terbaik  bahwa  manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan harus saling kasih sayang satu dengan lainnya.



2.Penokohan
            Dalam cerita “Buaya Kotong” terdapat sejumlah tokoh yang mendukung cerita yaitu tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama diperankan oleh suami istri sedangkan tokoh pembantu diperankan oleh kepala dusun dan buaya. Sikap dan perilaku para tokoh akan dideskripsikan sebagai berikut :
2.1.Suami – Istri
            Sebagai tokoh utama suami istri ini orang yang pengasih, watak ini tampak pada kutipan berikut ini.
Setiap anak yang berwujud buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat tersembunyi di sawah milik mereka dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui. Kedua orang tuanya bingung mau dibunuh tidak tega mau dibuang sayang, biar bagaimanapun ketujuh buaya itu adalah anak mereka juga.
2.2.Kepala Dusun
            Dalam cerita ini, dikisahkan sifat kepala dusun seorang yang arif bijaksana seperti kutipan berikut :
Ketua dusun mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar langsung dari kedua orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa selama ini istrinya setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya. Sebetulnya kami ingin membunuh anak yang berwujud buaya tapi tidak tega, sementara kalau dibiarkan saja di sawah kasihan. Berdasarkan hasil musyawarah ketua dusun diputuskanlah untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai.
2.3.Buaya
            Buaya digambarkan sebagai anak yang penurut dan sabar. Sabar walau dibuang di lumpur sawah anak-anak ini tidak melarikan diri, setia karena ia tidak pernah mengganggu/apalagi menyakiti masyarakat di sekitar sungai Palik. Boleh percaya atau tidak sampai saat ini belum terjadi sekalipun masyarakat sekitar diganggu buaya. Buaya memegang teguh pesan kedua orang tuanya seperti pada kutipan berikut :
Di saat melepas mereka kedua orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala mara bahaya.
3.Latar
            Latar cerita Buaya Kotong ini adalah sebuah rumah ditengah sawah dipinggir sungai Palik. Dari rumah kedua suami-istri dimulainya cerita lahirnya anak berujud buaya. Latar sawah sebagai gambaran aktivitas kehidupan dan mata pencaharian masyarakat sehari-hari. Latar sungai merupakan latar terakhir dimana anak-anak berujud buaya dilepas di tempat semestinya mereka hidup bebas.
4.Nilai Budaya
4.1.Kasih sayang.
            Nilai budaya yang paling menonjol dalam cerita “Buaya Kotong” ini adalah nilai kasih sayang. Nilai ini diketahui dari sikap tokoh utama (suami-istri). Mereka tetap memelihara anak yang berujud buaya walau mereka malu. Nilai itu dapat diketahui dari kutipan berikut :
Setiap anak yang berwujud buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di tempat tersembunyi di sawah milik mereka dan diberi tanda khusus agar mudah ditemui.

4.2.Bijaksana
            Sifat bijaksana harus dimiliki oleh siapa saja utamanya seseorang yang diberi amanah sebagai pemimpin. Contohnya, kepala dusun yang memberi jalan secara musyawarah dan menyelesaikan masalah dengan baik. Sifat ini nampak pada kutipan berikut :
Ketua dusun mengambil kebijakan dengan mengumpulkan seluruh warga agar mendengar langsung dari kedua orang tua yang melahirkan buaya. Diceritakanlah bahwa selama ini istrinya setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya. Berdasarkan hasil musyawarah ketua dusun diputuskanlah untuk melepas saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai.
4.3.Patuh sama orang tua
            Sifat patuh pada orang tua terlihat pada perilaku buaya yang tidak pernah mengganggu masyarakat di desa itu. Pesan itu tampak pada kutipan berikut :
Di saat melepas mereka kedua orang tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala mara bahaya.

B.LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN K13
            Langkah-langkah pembelajaran dalam kurikulum 2013 selalu dimulai dari kompetensi dasar bersifat pengetahuan (KI 3), dalam teks KD yang akan diajarkan adalah dongeng “Buaya Kotong” cerita masyarakat Rejang Pesisir di kecamatan Air Napal Bengkulu Utara. Mula-mula anak-anak mendengar dongeng bisa dari model, Guru, teman sejawat, audio visual dll, atau membaca teks dongeng tersebut secara mandiri. Dilanjutkan anak-anak diminta mencari tokoh, latar cerita dan tema cerita dengan teknik probying (pertanyaan pancingan) seperti :
1.    Daftarlah nama- nama yang menjadi pelaku dalam cerita !
2.    Amati dimana cerita itu berlangsung (sawah, sungai, gunung, laut/pantai, hutan), jawabannya diarahkan pada pekerjaan masyarakat pada waktu itu dan anak menyimpulkan latar cerita sesuai pemahamannya masing-masing !
3.    Apa pesan yang anak-anak pahami dari teks cerita ?
4.    Apa pelajaran yang anak-anak peroleh dari membaca teks cerita ?
Di depan kelas kemudian dipampang alat peraga tentang unsur struktural cerita yaitu tema, penokohan, latar dan nilai budaya. Jawaban anak-anak dikonfirmasikan dengan teori yang ada dalam alat peraga sehingga anak memahami unsur –unsur yang membangun suatu cerita.
            Langkah kedua melatih ketrampilan (KI 4) anak menemukan sendiri unsur-unsur yang membangun suatu cerita dengan menyodorkan/menawarkan dongeng selain “Buayo Kotong” yang mereka ketahui masing-masing (langkah ini untuk mempertajam memori anak). Mereka secara individual menulis dongeng yang diketahuinya dan mulai menganalisis unsur-unsur yang membangun sebuah dongeng dan nilai budaya yang dikandungnya.
            Langkah ketiga melakukan evaluasi dengan pertanyaan-pertanyaan divergen sebagai berikut :
1.    Siapakah tokoh yang kamu senangi dalam teks cerita, pilih satu dan jelaskan?
2.    Setujukah kamu dengan latar cerita yang sudah kamu rumuskan, apa alasannya?
3.    Bisakah anak-anak membuat cerita dari tema yang sudah ditemukan dalam teks cerita? Cobalah satu – dua paragraf saja!
4.    Mengapa kita harus ( sesuai nilai budaya yang ditemukan anak) misalnya sabar, bijaksana, jujur dll. Berikan ulasanmu tentang nilai budaya itu!
Jadi pertanyaan-pertanyaan konvergen hanya digunakan untuk memancing dan mengarahkan anak untuk menemukan unsur-unsur yang ingin kita ajarkan sedangkan evaluasi dengan pertanyaan divergen untuk mengekplore imaji, inovasi dan kreatitas anak.





KESIMPULAN
            Amanat cerita tersebut di atas hendaklah seseorang bisa menerima ketentuan dari Alloh SWT (Sang Pencipta) utamanya tentang qodho’ dan qodar. Bisa saja seseorang menginginkan anak laki-laki yang ternyata dikaruniai anak perempuan semua begitu juga sebaliknya, bahkan ada yang diberi cobaan dengan anak tidak normal baik sisi jasmani maupun rohani akan tetapi kita harus menerima itu semua dengan iklas karena diyakini itu adalah yang terbaik bagi diri kita. Adapun nilai budaya yang ada dalam cerita di atas (1) kasih sayang, (2) bijaksana, dan (3) patuh pada orang tua.
            Pembelajaran yang berpusat pada keaktifan anak-anak dapat dilakukan dengan kreativitas kita sebagai guru. Langkah-langkah pembelajaran di atas hanya salah satu saja, dari sekian banyak model pembelajaran dan anda bisa mencobanya sekaligus memodifikasi sesuai lingkungan dan situasi masing-masing atau menggunakan model lainnya.
            Analisis mengenai sastra lisan cerita rakyat tentang “Buaya Kotong” suku Rejang dapat disimpulkan bahwa dongeng mite tersebut pada dasarnya bersifat relijius, karena adanya keyakinan asal muasal tetua mereka dahulu bersaudara dengan buaya. Mitos ini berdampak pada perilaku mereka memberi sesajen setiap ada hajatan yang dipersembahkan pada buaya yang ekornya buntung sebagai simbol persaudaraan.  Ajaran moralnya adalah jangan mandi di sungai banyak buaya dan itu sangat bebahaya karenanya harus dihindari. Mitos ini sangat efektif untuk mencegah warga dari gangguan buaya yang banyak berkeliaran di sungai, kalupun terpaksa ke sungai harus hati-hati. Dibanding dengan peringatan tertulis, “Awas hati-hati banyak buaya” warga yang tidak bisa baca tulis akan mengabaikan peringatan itu karena ketidaktahuannya, bagi yang pandai membaca mereka akan memburu hewan yang dianggap berbahaya itu.









Daftar Pustaka

Dananjaya, james. 1991. Folklore : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Grafiti Press.
Ekorusyono. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.

Ekorusyono dan Imron Rosyadi.2014. Cerita Rakyat Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.

Jacob Sumarjo dan Saini KM.1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kontjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Musfeptial dan Hari Purwanti. 2004. Analisis struktur dan Nilai Budaya Sastra Lisan Dayak Uud Danum. Jakarta : Pusat bahasa Departemen Pendidikan nasional.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Siswanto, Wahyudi.2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Penerbit PT Grasindo.

Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.
Sujiman, Panuti.1991. Sang Penyalin dan Goresan Penanya dalam Naskah dan Kata. Depok : Universitas Indonesia.
Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar