Pendekatan
Folklore dalam Menganalisis Nyanyian Rakyat “Kahinoa” Masyarakat Enggano
Sastra lisan Enggano sampai saat ini
belum dikaji secara serius dengan menggunakan metodologi penelitian ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini wajar terjadi karena penutur masyarakat
Enggano dengan bahasa daerahnya hanya berjumlah 2000-an orang saja. Jumlah
penduduk yang sedikit ditambah tempatnya yang terpencil kurang menjadi
perhatian para peminat folklore dan
kebudayaan. Orang biasanya lebih tertarik meneliti suatu suku bangsa
yang besar dengan warisan budaya sedikit lebih maju dan tempatnya mudah
dijangkau.
Masyarakat Enggano dengan segala
keterbatasannya ternyata masih menyimpan warisan leluhur nenek moyangnya berupa
folklore lisan seperti sastra lisan
berbentuk, (1) nyanyian rakyat, (2) Ba’aheo
suatu dendang pantun bersahut-sahutan baik perorangan maupun kelompok. (3)
Pahakedodia’a suatu dendang perumpamaan saling bersahutan dan (4) Paha’ema
suatu dendang kiasan seperti menyanyi baik perseorangan maupun beramai-ramai.
(5) teka-teki, (6) kutukan , (7) cerita rakyat, dan (8) peribahasa.
Folklore lisan enggano sebagai
kekayaan tradisi, sastra, seni, hukum dan perilaku yang dihasilkan secara
kolektif sebagai milik bersama ekspresi masyarakat berbudaya (Endraswara, 2009)
dapat ditelusuri dan digali dari hiruk pikuk mobilitas masyarakat Enggano yang
hilir mudik Enggano-Bengkulu. Sudah menjadi tradisi orang kaya/elite enggano
semacam suatu keharusan memiliki rumah di daratan (kotamadya Bengkulu). Suatu
prestise tersendiri bagi mereka yang memiliki rumah di daratan selain tempat
anak bersekolah juga tempat istirahat yang nyaman dan tidak usah menyewa hotel.
Kondisi itu dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengumpulkan data, cukup
dengan menemui mereka di kala singgah di daratan. Peneliti tidak harus
direpotkan hilir mudik Bengkulu-Enggano, mungkin sesekali berkunjung untuk
konfirmasi data memang diperlukan sekaligus bertamasya di pulau nan indah
dengan tempat wisata begitu alami.
Tentu
tidak semua orang Enggano yang sering ke daratan “memiliki” pengetahuan tentang
tradisi lisan masyarakatnya. Disini penulis menyeleksi, dari pengalaman dan
informasi dari berbagai pihak kemana harus mendapatkannya. Bertemu orang yang
tepat sangat menguntungkan kedua belah pihak, satu sisi budaya dapat digali,
dipahami, dilestarikan dan dimanfaatkan, di lain pihak menghemat biaya
penelitian.
Tokoh
masyarakat dimaksud beberapa diantaranya Bapak Rafli Kaitora (Pak Imam) kepala
suku Kaitora domisili di desa Malakoni, Bapak M.Jafar Kahaoa (Pak Rodi) kepala
suku Kahaoa domisili di desa Apoho, Bapak zulkifli Kaharuba, selain tokoh yang sudah disebutkan, informasi juga dikonfirmasi dengan beberapa orang-orang
enggano sebagai perbandingan diantaranya Amran pemuda dari desa Meok anak
kepala suku Kauno, Airin Kahaoa tokoh agama Islam keduanya berdomisili di
Bengkulu.
Pada
pembahasan pertama ini akan dikaji folklore lisan berupa nyanyian rakyat.
Disini dicoba menganalisis menggunakan metodologi kajian folklore modern
terhadap sebuah nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa”. James Dananjaya
mendefinisikan folklore (dalam Pudentia, 2008:58) “sebagian kebudayaan suatu
kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat”.Sementara yang dimaksud dengan folklore modern selain memperhatikan
folk (kehidupan sosial) tetapi juga lore-nya (tradisi lisan).
Nyanyian
rakyat masyarakat Enggano hingga kini masih dipakai pendukungnya. Tradisi
bernyanyi hampir merata ada diseantero pulau mulai dari ujung desa Kahyapu
sampai Banjarsari. Nyanyian ada yang didendangkan secara bebas perseorangan,
berkelompok dan ada yang berkait berkelindan dengan tarian adat. Uniknya di
Enggano tidak dikenal sama sekali alat musik, nyanyian semata-mata hanya
sebagai kidungan (nyanyian tanpa instrumen musik), lebih spesifik lagi nyanyian
justru sebagai latar tarian. Artinya, nyanyian digunakan sebagai pengiring
tarian seperti tari perang, tari semut, tari paema dll. Nyanyian sebagai latar
tarian salah satu yang sangat populer di Enggano adalah nyanyian yang berjudul
“Kahinoa” sebagai pengiring tari semut, teks lagunya sebagai berikut:
Kahinoa
Beda-beda kahinoa dobahaya hayya-hayya
Apapude kude-kude, kaudada dada dada
Papu aha aha haha pai pede pede-pede
Eparuru kipuena, kipuena yak a’uwa uwa-uwa
Kaudada dada dada eyyu mu’u mu’a-mu’u eneaha aha-aha
Ediyuwa uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha
eabeha beha-beha waite’e waite’e edudiya dududia ummumu’a
nuka-nuka hai pakoba koba-koba, edeika ika-ika, ene aha aha-aha
Ediyuwa e kahinoa noa dobuhayya hayya-hayya
Eabeha beha-beha o bukkiyya kiyya-kiyya kahinoa dobuhayya
hayya-hayya ene aha aha..haha
Adukiyya ummunu’a nuka-nuka hai pakoba koba-koba
Edeika ika-ika kahinoa noa dobuhayya hayya oooooook..
(dikutip dari buku “Mengenal
Budaya Enggano” )
A.Kata-kata
kunci dan terjemahan.
Kahinoa = semut beriringan
Beda-beda = berbeda/datang
Dobahayya = bersatu
Hayya = satu
Apapude = darimana
Kaudada = kampung
papuaha = tengok/lihat
paipede = rapat berbaris
eparuru = pesta
kipuena = tengok hajat kami
yak = datang
a’uwa = kemari
eyyu
mu’u = mau pesta besar
mu’a
mu’u = besar-besaran
eneaha = singkirkan perbedaan
eabeha = sudah
waite’e = bikin gara-gara
ummumu’a = menganiaya
adukiyya = sudah (stop) peperangan
nuka
haipakoba = dalam satu pertemuan
edeika = menginjak bumi
ediyuwa’e = dengarkan kata
o
bukiyya = peperangan
ummunu’a = bertemu disini
Semut beriringan
berbeda-beda rombongan semut bersatu, satu..satu
dari
mana-mana, kampung mana-mana (sebut nama kaudarnya)
tengok
( lihat) lihat, lihat rombongan semut rapat beriringan
pesta,
kami sedang punya hajat datanglah kemari mari-mari
kampung
mau pesta besar, besar-besaran maka singkirkan perbedaan.
Kata-kata
kotor yang menyakitkan
Sudahlah
bikin gara-gara peperangan dalam satu pertemuan, kita sama-sama menginjak bumi
(satu tempat hidup) maka singkirkanlah, singkir-nyingkir.
Dengarkan
kata (nasehat) seperti rombongan semut bersatu, satu
Sudahlah
sudah-sudah peperangan perang-perang, contohlah rombongan semut bersatu
satu-satu maka menyingkirlah.
Berhentilah
perang, kita sudah bertemu disini dalam pertemuan ini
Menginjak
bumi (sama-sama) maka bersatulah kita semua.
B.
Sejarah lagu tercipta.
Asal-usul
lagu “Kahinoa” bermula dari kisah zaman dahulu kala seorang kepala suku yang
akan menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda dari anak sukunya sendiri.
Secara adat perkawinan seperti itu diperbolehkan, yang dilarang kalau nikah
masih satu periuk dan satu suku. Sementara itu, si gadis sudah ada yang
mengincarnya dari suku lain. Mendengar gadis pujaannya mau dinikahkan maka
pemuda tadi tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, ia
bersekongkol dengan suku-suku lainnya untuk menggagalkan pesta perkawinan itu.
Pada
saat pesta perkawinan akan dilaksanakan suku-suku lain tadi menyerang dan
menghadang agar perkawinan dibatalkan. Maka terjadilah peperangan tidak berimbang,
kepala suku dan anak gadisnya terkepung oleh penyerang. Akan tetapi dengan
sigap dan cekatan perempuan-perempuan melindungi kepala sukunya dengan cara
mengelilinginya sehingga pasukan penyerang tidak bisa mendekatinya. Dalam
kondisi kebingungan pasukan penyerang termangu mau diserang perempuan, tidak
diserang bagaimana. Kondisi stagnan inilah dimanfaatkan oleh ketua suku untuk
mengingatkan pasukan penyerang agar mengurungkan niatnya dengan membaca mantra
yang diilhami dari melihat rombongan semut yang beriringan dekat lokasi
peperangan. Ucapannya itulah menyebabkan peperangan berhenti dan pasukan
penyerang menyadari pentingnya persatuan. Ucapan kepala suku itu sekarang jadi
lagu “Kahinoa” sebagai pengiring tarian semut di setiap pesta perkawinan masyarakat
Enggano.
Tarian
semut ini biasanya dilaksanakan pada malam hari sebagai penutup sekaligus tanda
bahwa pesta dianggap sukses. Paginya tanpa dikomando seluruh warga akan datang
bergotong royong membongkar tarub dan menyelesaikan seluruh sarana prasarana
sehingga tuan rumah hanya tahu bersih. Layaknya koloni semut bekerja, mereka
mengambil tugas masing-masing sesuai kemampuan dan fungsi dalam keadatan.
1.Kajian
strukturalisme
Penekanan dimulai dari sign (tanda) sebagai judul yaitu
“Kahinoa”. Kata ini berulang sampai lima kali yang menggambarkan persatuan,
walaupun semut itu beragam fungsi dalam kelompoknya dan berbeda pula bentuk
tubuhnya. Ada yang kecil kuat sebagai pencari mangsa, ada yang bertubuh raksasa
sebagai induk semut dan ada yang sedang sebagai pekerja dll. masing-masing
memiliki tanggung jawab untuk satu tujuan kelangsungan hidup mereka.
Kahinoa
mengacu pada sifat kesempurnaan kehidupan manusia yaitu persatuan,
keharmonisan, keterpaduan maka dibalik
idealisme itu, ada ketidak sempurnaan, dalam teks diberi tanda tersirat pada
kata “bukiyya” yang artinya perang atau perpecahan. Kata peperangan berulang
sampai dua kali dan didahului dengan penyebabnya tampak pada bait “Ediyuwa
uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha”. Kata-kata kotor yang menyinggung perasaan, juga perbedaan-perbedaan
paham agar disingkirkan. Ditegaskan, jikalau ingin hidup damai menuju pada
persatuan hendaknya manusia sadar bahwa
kita sama-sama “menginjak bumi”. Kita sama-sama makan makanan yang sama, minum
air yang sama, bertempat tinggal pada tanah yang sama.
Istilah “menginjak bumi” memiliki makna menyiratkan
satu tanah air yaitu pulau Enggano, sama-sama mencari hidup di pulau yang sama
kenapa harus bertengkar. Kata ini menyadarkan semua penghuni pulau bahwa semua memiliki
kelebihan dan kekurangan, kenapa harus menonjolkan diri masing-masing kalau itu
justru mendorong pada perpecahan, kenapa tidak saling beriringan seperti
kehidupan semut. Saling mengisi, menutupi satu kekurangan dengan kelebihan yang
lainnya.
Oposisi binner terlihat pada baris
pertama kata “beda-beda pada rombongan semut tapi satu” yang dimaksud
berbeda-beda dijelaskan pada kalimat kedua yaitu beda suku, beda kampung, beda
asal, beda paham, beda pendapat. Perbedaan itu dipertegas pada baris ke sembilan
sebagai berikut,” Sudahlah... sudah...sudah peperangan...
perang...perang, rombongan semut bersatu... satu...satu maka menyingkirlah”.
Maksud kalimat tersebut manusia harus belajar pada kehidupan rombongan semut,
kompak menjalankan tugas sesuai kemampuannya masing-masing. Peperangan bukan
tabiat rombongan semut, alam mengajarkan manusia agar arif dalam mengatasi
perbedaan. Perang bukan cara penyelesaian masalah, kita ditakdirkan hidup dan
bertemu disini (pulau Enggano) lebih baik bersatu.
Pemahaman kata Kahinoa tidak terbatas pada kehidupan
semut semata. Dibalik keharmonisan itu tentu ada tata tertib aturan yang
ditaati. Kesadaran inilah yang menggugah para kepala suku agar tidak selalu
terjadi konflik/perang perlu adanya organisasi yang didalamnya ada tata
aturannya. Kahinoa mengacu pada organisasi yang tertata rapi, pengertian inilah
yang melahirkan adat istiadat masyarakat Enggano hingga kini.
Kesepakatan
itu ditulis dalam sebuah naskah yang diberi judul “ Pedoman Tata
Upacara-Upacara dan Adat Istiadat Masyarakat Enggano” yang ditanda tangani pada
tahun 2003 oleh seluruh kepala suku di Enggano.
1.Yusak
Kaahowao : Kepala suku Kaahowao
2.Azis
Kauno : Kepala suku
Kauno
3.Justhin
Kaarubi : kepala suku Kaarubi
4.A.Walet
Kaitora : Kepala suku Kaitora
5.Zulkifli
Kaharuba : Kepala suku Kaharuba
6.Abdullah
Ko’may : Kepala suku Ko’may
Tata
aturan adat istiadat disusun terdiri dari 7 bab dan 41 pasal, mengatur tentang
segala sesuatu dalam rangka menjaga tata
tertib agar tidak lagi timbul konflik/perang antar suku. Dengan kesepakatan
tersebut organisasi kemasyarakatan Enggano berjalan harmonis hingga sekarang
ini dan terhindar dari perang berkepanjangan. Konflik tetap ada, akan tetapi
dapat diselesaikan dengan musyawarah adat sesuai aturan yang telah disepakati.
2.Kajian Antropologi
sastra
Mengapa lagu di
atas diberi judul “Kahinoa” ini tentu ada falsafah yang ingin disampaikan oleh
nenek moyang kepada anak cucunya di kemudian hari. Seperti yang dikemukakan
Endraswara (2009:195-196) sebagai berikut :
Unsur-unsur
filsafat dalam folklore sudah tidak perlu diragukan lagi karena pada hakekatnya
folklore adalah endapan pengalaman hidup. Sebagai renungan hidup, tentu
folklore memiliki sumbangan penting dalam wilayah filsafat. Falsafah hidup
manusia tentu berbeda-beda. Keanekaragaman falsafah hidup ini, juga akan
terkandung dalam bermacam-macam folklore.
Begitu juga folklore
lisan enggano dalam lagu “Kahinoa” tersebut diatas mengandung ajaran filsafat
yang digali dari kehidupan semut. Semut termasuk jenis serangga kelas insekta
hidup dalam koloni dengan ribuan anggotanya. Satu koloni bisa sampai puluhan
ribu semut terdiri dari ratu semut, pejantan, pekerja, penjaga dll. Sarang
semut tertata rapi, setiap semut mempunyai tugas masing-masing dan ada
ruangannya sendiri. Semua anggota tidak ada yang menganggur, semua bekerja
saling topang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, semut disebut serangga
sosial dalam satu kesatuan koloni.
Keunggulan makhluk ini keberadaannya
tercantum dalam kitab suci agama-agama samawi. Dalam agama Kristen/Katolik
termaktub pada kitab Amsal (6 : 6-11), “Hai
pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak :
biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan
rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai
pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah kamu akan bangun dari
tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar
lagi untuk tinggal berbaring. Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti
seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang tak bersenjata. Juga
tercantum dalam Al Qur’an dalam surat An Naml (27 : 18-19) Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berbicaralah seekor
semut, hai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka
dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia
berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu-bapakku dan untuk
mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu
kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.
Tuhan menciptakan semut ada hikmah
tersembunyi dibalik keberadaannya. Alam menurut pandangan kaum mimetik Teeuw
(2013 : 171) Semesta ciptaan Tuhan yang lengkap dan sempurna dan tak bercacat.
Manusia kemungkinannya hanyalah meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak, baik dan
indah (the Great model). Hikmah pelajaran dari kehidupan semut yang dapat
dipetik dari pernyataan tersebut di atas adalah :
a.Pekerja keras
Makhluk kecil tapi memiliki
kemampuan memikul beban lima puluh kali lipat berat/besar tubuhnya. Dalam
mencari rezeki, tak perduli medannya berat barangnya berat secara gotong royong
mereka akan membawa makanan itu sampai ke sarangnya. Semut tidak ada yang
menganggur, semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing tanpa kenal lelah.
Alam mengajarkan kepada manusia
model kesempurnaan dalam etos kerja. Salah satunya terpancar pada koloni semut,
disana semua terpampang seperti dunia kaca. Transparan, apa adanya, asli tanpa
dibuat-buat dan direkayasa. Semakin anda mengamati, anda akan mendapatkan dunia
nyata tanpa bedak dan gincu, lugu, telanjang. Etos kerja tinggi adalah suatu
syarat untuk tetap bertahan hidup ditengah rimba kehidupan. Perilaku ini sangat
dianjurkan oleh Alloh SWT seperti dalam firman-Nya dalam Al Qur’an (9:105),”Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu maka Alloh dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan”. Perintah bekerja ini juga tercantum pada Al
Insyiqaaq ayat 6-16, al Jumu’ah ayat 10, Al Qosas ayat 77, Ar-Radu ayat 11 dan
ditegaskan dalam hadist dari Miqdam ra
berkata, Nabi Muhammad saw bersabda,”Tidak satu pun makanan yang dimakan
seseorang lebih baik dari kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari
hasil kerja tangannya”.(HR. Bukhari).
Masyarakat enggano pada umumnya
bekerja dengan hasil tangan mereka yaitu sebagai nelayan dan petani. Kebiasaan
bekerja keras ini disebabkan ditempa oleh alam yang tak kenal kompromi. Siapa
yang tidak bekerja maka ia tidak dapat makanan. Sifat dasar kerja keras
masyarakat enggano apabila diarahkan pada kerja cerdas mampu mengolah bahan
dasar menjadi olahan tentu akan lebih meningkatkan kesejahteraan mereka. Juga
dilatih kerja tuntas yakni fokus pada keahlian yang diminati bukan berdasarkan
musim semata. Misalnya budi daya ikan keramba, udang lobster, kepiting bakau
dll jangan hanya mencari bahan mentah saja. Biasanya nelayan atau petani
mencari atau menanam seseuatu berdasarkan keberhasilan seseorang. Seseorang
berhasil mencari lolak maka semua beramai-ramai mencari lolak begitu juga
seseorang berhasil menanam cabe maka semua ikut-ikutan menanam cabe.
b.Dispilin
Semut sangat disiplin dalam menata
kehidupan koloninya. Ciri khas, seperti pembagian kerja secara terinci. Semut
pekerja, misalnya, mereka mencari makanan dan membawanya ke sarang, uniknya
mereka tidak mau makan sedikitpun sebelum makanan itu dibagi sesuai dengan
jatah masing-masing. Induk semut kerjanya khusus hanya untuk bertelur, semut
penjaga bekerja menjaga dan menata telur-telur hingga menetas dst.
Organisasi
kemasyarakatan dapat berjalan harmonis dan tertib jikalau aturan dipatuhi para
anggotanya. Disiplin, karakter yang perlu dan wajib dimiliki setiap
anggota/suku. Warga kesukuan menyadari pentingnya kedisiplinan dalam menegakkan
aturan adat, konsistensi pelaksanaan di kondisi nyata sangat mendukung
terjaganya keharmonisan di tengah masyarakat. Hal ini terbukti, jarang atau
dapat dikatakan tidak ada perselisihan sampai ke polisi apalagi pengadilan.
Mereka dengan kearifan lokalnya mampu menyelesaikan permasalahan dengan aturan
adat yang berlaku. Ini suatu modal dasar penunjang pembangunan ke depan, nilai
budaya patuh pada ketentuan adat istiadat dapat dijadikan sebagai acuan
orang-orang pendatang untuk berdaptasi.
c.Hidup hemat
Hidup hemat adalah salah satu ciri
mental bangsa Jepang yang patut diteladani, disana setiap warga rajin
menabung. Setiap yen yang didapat
sebagian pasti disisihkan, tidak dihabiskan semua. Apalagi kalau mendapat rupiah
diluar gaji yang diterima wajib hukumnya ditabung. Itulah karakter bangsa
Jepang.
Ternyata semut berdasarkan
instingnya selalu menyisihkan dan menyimpan makanannya sebagai persiapan
menghadapi masa paceklik. Setiap makanan yang masuk ke sarang disortir secara
ketat, kalau terlalu besar akan dibelah-belah sebagiannya disimpan, jikalau
basah makanan tersebut dijemur dipintu sarang agar kering dan awet. Jadi,
rombongan semut dalam koloninya ada gudang makanan lebih dari cukup untuk
menghadapi musim kemarau yang sangat panjang sekalipun.
Budaya hidup hemat ini sayang tidak
ditemui di masyarakat Enggano, mereka masih terbiasa dengan mencari hari ini
dimakan hari ini juga. Yang ditemui di tengah masyarakat adalah kebiasaan
berbagi di kala paceklik. Mereka merumuskan dalam mitos kutukan yang dikenal
sebagai “Perihei”, barang siapa di masa paceklik tidak mau berbagi maka akan
terkena kutukan sakit perut. Kutukan ini sangat ditakuti oleh seluruh warga
penghuni pulau juga para pendatang yang kurang memahami adat istiadat setempat.
Padahal “Perihei” ini adalah local genius masyarakat Enggano membangun
solidaritas sosial dalam menghadapi situasi sulit, utamanya masalah paceklik
pangan. Mereka meyakini bagi siapa saja yang masih punya sedikit makanan di
saat paceklik hendaknya membagi dengan yang lainnya. Bahkan kalau tidak ada
lagi yang bisa dibagi memakannya harus secara sembunyi-sembunyi.
d.Silahturami
Semut juga dikenal sebagai makhluk
sosial, satu dengan lainnya selalu saling berhubungan. Setiap semut berpapasan
dengan temannya ia akan memberi salam dan bertasbih. Kerukunan antar anggota
dibarengi dengan saling tegur, menyapa, bersilaturahmi. Oleh karena itu, semut
tidak pernah kehabisan rezeki karena mengamalkan silaturahmi. Selain itu semut
selalu bertasbih dengan mengangkat kedua tangannya (kaki depan) juga dengan
caranya yang tidak kita ketahui selalu sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti yang diinformasikan Alloh dalam Al Qur’an (24:41) sebagai berikut,
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Alloh, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit
dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing
telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Alloh Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan”. Efek dari pelajaran baik itu hingga kini masyarakat
Enggano sangat kompak dalam melakukan aktivitas apa saja dan bila berpapasan
selalu menegur satu sama lain.
Kekompakan itu akan tampak tatkala
ada kegiatan yang melibatkan warga suku seperti perkawinan. Semua warga tapa
disuruh akan melibatkan diri mualai dari awal tegak tarub hingga acara usai.
Uniknya acara perkawinan dikatakan selesai apabila ditutup dengan atraksi
tarian semut dengan lagu “Kahinoa” nya. Mereka muncul satu persatu mendatangi
tempat acara pada malam hari sambil
menari seperti ular-ularan dan bernyanyi “Kahinoa” hingga seluruh warga seluruh
kaudar (kampung) ikut serta. Apabila dirasa seluruh warga sudah keluar semua
maka tuan rumah membubarkan mereka dengan mengacung-acungkan obor terarah ke
para penari hingga mereka kocar-kacir. Akhirnya, semua penari pulang ke rumah
masing-masing barulah pesta dianggap selesai dan tuan rumah bisa istirahat.
e.Taat
Semut
memiliki insting untuk selalu taat pada sistem koloni yang dibangun. Ketaatan
pada peraturan itulah keunggulan koloni semut dibanding dengan kelompok hewan
lainnya. Pelajaran ini oleh nenek moyang orang Enggano dijadikan pedoman dalam
menegakkan peraturan adat. Dalam hal ini masyarakat Enggano dikenal sebagai
masyarakat kesukuan dan keadatan. Masyarakat kesukuan adalah suatu sistem
kekerabatan terdiri dari satu keturunan berdasarkan garis ibu (matrilinial).
Saat ini ada 6 suku terdiri 5 suku asli dan satu pendatang. Struktur organisasi
masyarakat Enggano bisa dilihat dalam buku saya berjudul “Mengenal Budaya
Enggano”, disana dijelaskan bagan serta fungsi masing-masing suku.
Untuk
memastikan sekaligus menjaga kesatuan adat maka para pendatang dari luar pulau
diwajibkan untuk masuk suku. Sistem masuk suku ada dua cara yaitu (1) kaum
pendatang dijadikan satu suku yang disebut suku Kamay, dengan adanya wadah
tersebut secara otomatis seluruh kaum pendatang masuk dalam suku tersebut, (2)
memilih masuk salah satu suku asli Enggano dengan upacara adat. Keduanya
mempunyai tujuan yang sama agar para pendatang langsung beradaptasi pada adat
istiadat setempat. Baik penduduk asli maupun pendatang sama di mata hukum adat.
C.Kesimpulan
Pendekatan folklore pada
nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa” dari sisi lore-nya menunjukkan bahwa
kesatuan, keharmonisan, kerukunan menjadi cita-cita masyarakat enggano. Untuk
mewujudkan itu, mereka menyusun suatu tata aturan adat sebagai pedoman/acuan
dalam menyelesaikan persengketaan yang timbul di tengah masyarakat. Sedangkan
dari sisi folk-nya tercermin dari kehidupan sosial masyarakat enggano yang taat
pada aturan adat istiadat yang hingga kini masih eksis di tengah masyarakat
kesukuan.
Pendekatan
folklore dapat menjawab mengapa masyarakat begitu kuat memegang adat? Karena
mereka masih kuat memegang falsafah semut. Pewarisan nilai-nilai
ditranformasikan melalui tarian dengan latar tembang “Kahinoa”, dan terus
menerus mereka munculkan disetiap kegiatan/upacara utamanya pada upacara
perkawinan. Tanpa terasa enkulturasi berjalan secara alamiah, selain suri
teladan dari para tokoh adat dalam mengeja-wantahkan kekompakan koloni semut
dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai
budaya dalam kehidupan semut yang dapat masyarakat Enggano pertahankan hingga
kini adalah : kegotongroyongan, kepatuhan pada tradisi nenek moyang,
keharmonisan. Gotong royong masyarakat Enggano boleh dikatakan menonjol
dibanding wilayah lain di propinsi Bengkulu, nilai budaya ini tentu sangat
menunjang pembangunan di segala bidang kalau diberdayakan. Ada kearifan lokal
dalam menjaga keharmonisan yaitu setiap pendatang diwajibkan masuk suku kamay
dan boleh yang lainnya. Peristiwa masuk suku ini suatu momen mempersatukan
darah sebagai tali persaudaraan, jika pemangku kepentingan jeli kearifan lokal
ini dapat dijadikan sarana mencegah terjadinya konflik penduduk asli dengan
kaum pendatang (transmigrasi). Sebelum mereka di tempatkan di lahannya
masing-masing diadakan upacara masuk suku terlebih dahulu secara adat. Tali
persaudaraan kesukuan ini peletak dasar keharmonisan karena kaum pendatang
sudah dianggap warga pulau bukan orang lain.
Daftar Pustaka
Ekorusyono, YY. 2013. Mengenal Budaya Enggano.
Yogyakarta : Buku Litera.
Endraswara,
Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.
Hamidy, Zainudin dkk (penterjemah). 1992. Shahih
Bukhari jilid I – IV. Jakarta : Wijaya.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan.
Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Teeuw. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka.
Yayasan Penterjemah Al
Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al Madinah An Nabawiyah.
Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifain Raja
Fahd.
eko wa kanika Enggano...
BalasHapusApa Kabar pak eko? Semoga sehat selalu. Alhamdulillah blog bapak sangat informatif.