Minggu, 07 Agustus 2016

Folklore Enggano


Pendekatan Folklore dalam Menganalisis Nyanyian Rakyat “Kahinoa” Masyarakat Enggano

            Sastra lisan Enggano sampai saat ini belum dikaji secara serius dengan menggunakan metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini wajar terjadi karena penutur masyarakat Enggano dengan bahasa daerahnya hanya berjumlah 2000-an orang saja. Jumlah penduduk yang sedikit ditambah tempatnya yang terpencil kurang menjadi perhatian para peminat folklore dan  kebudayaan. Orang biasanya lebih tertarik meneliti suatu suku bangsa yang besar dengan warisan budaya sedikit lebih maju dan tempatnya mudah dijangkau.
            Masyarakat Enggano dengan segala keterbatasannya ternyata masih menyimpan warisan leluhur nenek moyangnya berupa folklore lisan seperti  sastra lisan berbentuk,  (1) nyanyian rakyat, (2) Ba’aheo suatu dendang pantun bersahut-sahutan baik perorangan maupun kelompok. (3) Pahakedodia’a suatu dendang perumpamaan saling bersahutan dan (4) Paha’ema suatu dendang kiasan seperti menyanyi baik perseorangan maupun beramai-ramai. (5) teka-teki, (6) kutukan , (7) cerita rakyat, dan (8) peribahasa.
            Folklore lisan enggano sebagai kekayaan tradisi, sastra, seni, hukum dan perilaku yang dihasilkan secara kolektif sebagai milik bersama ekspresi masyarakat berbudaya (Endraswara, 2009) dapat ditelusuri dan digali dari hiruk pikuk mobilitas masyarakat Enggano yang hilir mudik Enggano-Bengkulu. Sudah menjadi tradisi orang kaya/elite enggano semacam suatu keharusan memiliki rumah di daratan (kotamadya Bengkulu). Suatu prestise tersendiri bagi mereka yang memiliki rumah di daratan selain tempat anak bersekolah juga tempat istirahat yang nyaman dan tidak usah menyewa hotel. Kondisi itu dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengumpulkan data, cukup dengan menemui mereka di kala singgah di daratan. Peneliti tidak harus direpotkan hilir mudik Bengkulu-Enggano, mungkin sesekali berkunjung untuk konfirmasi data memang diperlukan sekaligus bertamasya di pulau nan indah dengan tempat wisata begitu alami.
Tentu tidak semua orang Enggano yang sering ke daratan “memiliki” pengetahuan tentang tradisi lisan masyarakatnya. Disini penulis menyeleksi, dari pengalaman dan informasi dari berbagai pihak kemana harus mendapatkannya. Bertemu orang yang tepat sangat menguntungkan kedua belah pihak, satu sisi budaya dapat digali, dipahami, dilestarikan dan dimanfaatkan, di lain pihak menghemat biaya penelitian.
Tokoh masyarakat dimaksud beberapa diantaranya Bapak Rafli Kaitora (Pak Imam) kepala suku Kaitora domisili di desa Malakoni, Bapak M.Jafar Kahaoa (Pak Rodi) kepala suku Kahaoa domisili di desa Apoho, Bapak zulkifli Kaharuba, selain  tokoh yang sudah disebutkan, informasi  juga dikonfirmasi dengan beberapa orang-orang enggano sebagai perbandingan diantaranya Amran pemuda dari desa Meok anak kepala suku Kauno, Airin Kahaoa tokoh agama Islam keduanya berdomisili di Bengkulu.
Pada pembahasan pertama ini akan dikaji folklore lisan berupa nyanyian rakyat. Disini dicoba menganalisis menggunakan metodologi kajian folklore modern terhadap sebuah nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa”. James Dananjaya mendefinisikan folklore (dalam Pudentia, 2008:58) “sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat”.Sementara yang dimaksud dengan folklore modern selain memperhatikan folk (kehidupan sosial) tetapi juga lore-nya (tradisi lisan).
Nyanyian rakyat masyarakat Enggano hingga kini masih dipakai pendukungnya. Tradisi bernyanyi hampir merata ada diseantero pulau mulai dari ujung desa Kahyapu sampai Banjarsari. Nyanyian ada yang didendangkan secara bebas perseorangan, berkelompok dan ada yang berkait berkelindan dengan tarian adat. Uniknya di Enggano tidak dikenal sama sekali alat musik, nyanyian semata-mata hanya sebagai kidungan (nyanyian tanpa instrumen musik), lebih spesifik lagi nyanyian justru sebagai latar tarian. Artinya, nyanyian digunakan sebagai pengiring tarian seperti tari perang, tari semut, tari paema dll. Nyanyian sebagai latar tarian salah satu yang sangat populer di Enggano adalah nyanyian yang berjudul “Kahinoa” sebagai pengiring tari semut, teks lagunya sebagai berikut:

         Kahinoa
           
Beda-beda kahinoa dobahaya hayya-hayya
Apapude kude-kude, kaudada dada dada
Papu aha aha haha pai pede pede-pede
Eparuru kipuena, kipuena yak a’uwa uwa-uwa
Kaudada dada dada eyyu mu’u mu’a-mu’u eneaha aha-aha
Ediyuwa uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha
eabeha beha-beha waite’e waite’e edudiya dududia ummumu’a nuka-nuka hai pakoba koba-koba, edeika ika-ika, ene aha aha-aha
Ediyuwa e kahinoa noa dobuhayya hayya-hayya
Eabeha beha-beha o bukkiyya kiyya-kiyya kahinoa dobuhayya hayya-hayya ene aha aha..haha
Adukiyya ummunu’a nuka-nuka hai pakoba koba-koba
Edeika ika-ika kahinoa noa dobuhayya hayya oooooook..
(dikutip dari buku “Mengenal Budaya Enggano” )
A.Kata-kata kunci dan terjemahan.
Kahinoa         = semut beriringan
Beda-beda    = berbeda/datang
Dobahayya   = bersatu
Hayya             = satu
Apapude        = darimana
Kaudada        = kampung
papuaha        = tengok/lihat
paipede          = rapat berbaris
eparuru                      = pesta
kipuena                     = tengok hajat kami
yak                  = datang
a’uwa             = kemari
eyyu mu’u     = mau pesta besar
mu’a mu’u     = besar-besaran
eneaha                      = singkirkan perbedaan
eabeha                      = sudah
waite’e                       = bikin gara-gara
ummumu’a    = menganiaya
adukiyya        = sudah (stop) peperangan
nuka haipakoba = dalam satu pertemuan
edeika                        = menginjak bumi
ediyuwa’e      = dengarkan kata
o bukiyya       = peperangan
ummunu’a    = bertemu disini

            Semut beriringan
berbeda-beda  rombongan semut bersatu, satu..satu
dari mana-mana, kampung mana-mana (sebut nama kaudarnya)
tengok ( lihat) lihat, lihat rombongan semut rapat beriringan
pesta, kami sedang punya hajat datanglah kemari mari-mari
kampung mau pesta besar, besar-besaran maka singkirkan perbedaan.
Kata-kata kotor yang menyakitkan
Sudahlah bikin gara-gara peperangan dalam satu pertemuan, kita sama-sama menginjak bumi (satu tempat hidup) maka singkirkanlah, singkir-nyingkir.
Dengarkan kata (nasehat) seperti rombongan semut bersatu, satu
Sudahlah sudah-sudah peperangan perang-perang, contohlah rombongan semut bersatu satu-satu maka menyingkirlah.
Berhentilah perang, kita sudah bertemu disini dalam pertemuan ini
Menginjak bumi (sama-sama) maka bersatulah kita semua.

B. Sejarah lagu tercipta.
Asal-usul lagu “Kahinoa” bermula dari kisah zaman dahulu kala seorang kepala suku yang akan menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda dari anak sukunya sendiri. Secara adat perkawinan seperti itu diperbolehkan, yang dilarang kalau nikah masih satu periuk dan satu suku. Sementara itu, si gadis sudah ada yang mengincarnya dari suku lain. Mendengar gadis pujaannya mau dinikahkan maka pemuda tadi tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, ia bersekongkol dengan suku-suku lainnya untuk menggagalkan pesta perkawinan itu.
Pada saat pesta perkawinan akan dilaksanakan suku-suku lain tadi menyerang dan menghadang agar perkawinan dibatalkan. Maka terjadilah peperangan tidak berimbang, kepala suku dan anak gadisnya terkepung oleh penyerang. Akan tetapi dengan sigap dan cekatan perempuan-perempuan melindungi kepala sukunya dengan cara mengelilinginya sehingga pasukan penyerang tidak bisa mendekatinya. Dalam kondisi kebingungan pasukan penyerang termangu mau diserang perempuan, tidak diserang bagaimana. Kondisi stagnan inilah dimanfaatkan oleh ketua suku untuk mengingatkan pasukan penyerang agar mengurungkan niatnya dengan membaca mantra yang diilhami dari melihat rombongan semut yang beriringan dekat lokasi peperangan. Ucapannya itulah menyebabkan peperangan berhenti dan pasukan penyerang menyadari pentingnya persatuan. Ucapan kepala suku itu sekarang jadi lagu “Kahinoa” sebagai pengiring tarian semut di setiap pesta perkawinan masyarakat Enggano.
Tarian semut ini biasanya dilaksanakan pada malam hari sebagai penutup sekaligus tanda bahwa pesta dianggap sukses. Paginya tanpa dikomando seluruh warga akan datang bergotong royong membongkar tarub dan menyelesaikan seluruh sarana prasarana sehingga tuan rumah hanya tahu bersih. Layaknya koloni semut bekerja, mereka mengambil tugas masing-masing sesuai kemampuan dan fungsi dalam keadatan.

1.Kajian strukturalisme
            Penekanan dimulai dari sign (tanda) sebagai judul yaitu “Kahinoa”. Kata ini berulang sampai lima kali yang menggambarkan persatuan, walaupun semut itu beragam fungsi dalam kelompoknya dan berbeda pula bentuk tubuhnya. Ada yang kecil kuat sebagai pencari mangsa, ada yang bertubuh raksasa sebagai induk semut dan ada yang sedang sebagai pekerja dll. masing-masing memiliki tanggung jawab untuk satu tujuan kelangsungan hidup mereka.
              Kahinoa mengacu pada sifat kesempurnaan kehidupan manusia yaitu persatuan, keharmonisan, keterpaduan  maka dibalik idealisme itu, ada ketidak sempurnaan, dalam teks diberi tanda tersirat pada kata “bukiyya” yang artinya perang atau perpecahan. Kata peperangan berulang sampai dua kali dan didahului dengan penyebabnya tampak pada bait “Ediyuwa uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha”. Kata-kata kotor yang menyinggung perasaan, juga perbedaan-perbedaan paham agar disingkirkan. Ditegaskan, jikalau ingin hidup damai menuju pada persatuan  hendaknya manusia sadar bahwa kita sama-sama “menginjak bumi”. Kita sama-sama makan makanan yang sama, minum air yang sama, bertempat tinggal pada tanah yang sama.
              Istilah “menginjak bumi” memiliki makna menyiratkan satu tanah air yaitu pulau Enggano, sama-sama mencari hidup di pulau yang sama kenapa harus bertengkar. Kata ini menyadarkan semua penghuni pulau bahwa semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kenapa harus menonjolkan diri masing-masing kalau itu justru mendorong pada perpecahan, kenapa tidak saling beriringan seperti kehidupan semut. Saling mengisi, menutupi satu kekurangan dengan kelebihan yang lainnya.
            Oposisi binner terlihat pada baris pertama kata “beda-beda pada rombongan semut tapi satu” yang dimaksud berbeda-beda dijelaskan pada kalimat kedua yaitu beda suku, beda kampung, beda asal, beda paham, beda pendapat. Perbedaan itu dipertegas pada baris ke sembilan sebagai berikut,” Sudahlah... sudah...sudah peperangan... perang...perang, rombongan semut bersatu... satu...satu maka menyingkirlah”. Maksud kalimat tersebut manusia harus belajar pada kehidupan rombongan semut, kompak menjalankan tugas sesuai kemampuannya masing-masing. Peperangan bukan tabiat rombongan semut, alam mengajarkan manusia agar arif dalam mengatasi perbedaan. Perang bukan cara penyelesaian masalah, kita ditakdirkan hidup dan bertemu disini (pulau Enggano) lebih baik bersatu.
            Pemahaman kata Kahinoa tidak terbatas pada kehidupan semut semata. Dibalik keharmonisan itu tentu ada tata tertib aturan yang ditaati. Kesadaran inilah yang menggugah para kepala suku agar tidak selalu terjadi konflik/perang perlu adanya organisasi yang didalamnya ada tata aturannya. Kahinoa mengacu pada organisasi yang tertata rapi, pengertian inilah yang melahirkan adat istiadat masyarakat Enggano hingga kini.
Kesepakatan itu ditulis dalam sebuah naskah yang diberi judul “ Pedoman Tata Upacara-Upacara dan Adat Istiadat Masyarakat Enggano” yang ditanda tangani pada tahun 2003 oleh seluruh kepala suku di Enggano.
1.Yusak Kaahowao : Kepala suku Kaahowao
2.Azis Kauno                        : Kepala suku Kauno
3.Justhin Kaarubi    : kepala suku Kaarubi
4.A.Walet Kaitora     : Kepala suku Kaitora
5.Zulkifli Kaharuba  : Kepala suku Kaharuba
6.Abdullah Ko’may  : Kepala suku Ko’may

Tata aturan adat istiadat disusun terdiri dari 7 bab dan 41 pasal, mengatur tentang segala sesuatu dalam rangka menjaga  tata tertib agar tidak lagi timbul konflik/perang antar suku. Dengan kesepakatan tersebut organisasi kemasyarakatan Enggano berjalan harmonis hingga sekarang ini dan terhindar dari perang berkepanjangan. Konflik tetap ada, akan tetapi dapat diselesaikan dengan musyawarah adat sesuai aturan yang telah disepakati.

2.Kajian Antropologi sastra

            Mengapa  lagu di atas diberi judul “Kahinoa” ini tentu ada falsafah yang ingin disampaikan oleh nenek moyang kepada anak cucunya di kemudian hari. Seperti yang dikemukakan Endraswara (2009:195-196) sebagai berikut :
Unsur-unsur filsafat dalam folklore sudah tidak perlu diragukan lagi karena pada hakekatnya folklore adalah endapan pengalaman hidup. Sebagai renungan hidup, tentu folklore memiliki sumbangan penting dalam wilayah filsafat. Falsafah hidup manusia tentu berbeda-beda. Keanekaragaman falsafah hidup ini, juga akan terkandung dalam bermacam-macam folklore.
Begitu juga folklore lisan enggano dalam lagu “Kahinoa” tersebut diatas mengandung ajaran filsafat yang digali dari kehidupan semut. Semut termasuk jenis serangga kelas insekta hidup dalam koloni dengan ribuan anggotanya. Satu koloni bisa sampai puluhan ribu semut terdiri dari ratu semut, pejantan, pekerja, penjaga dll. Sarang semut tertata rapi, setiap semut mempunyai tugas masing-masing dan ada ruangannya sendiri. Semua anggota tidak ada yang menganggur, semua bekerja saling topang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, semut disebut serangga sosial  dalam satu kesatuan koloni.
            Keunggulan makhluk ini keberadaannya tercantum dalam kitab suci agama-agama samawi. Dalam agama Kristen/Katolik termaktub pada kitab Amsal (6 : 6-11), “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak : biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah kamu akan bangun dari tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring. Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang tak bersenjata. Juga tercantum dalam Al Qur’an dalam surat An Naml (27 : 18-19) Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berbicaralah seekor semut, hai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.
            Tuhan menciptakan semut ada hikmah tersembunyi dibalik keberadaannya. Alam menurut pandangan kaum mimetik Teeuw (2013 : 171) Semesta ciptaan Tuhan yang lengkap dan sempurna dan tak bercacat. Manusia kemungkinannya hanyalah meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak, baik dan indah (the Great model). Hikmah pelajaran dari kehidupan semut yang dapat dipetik dari pernyataan tersebut di atas adalah :
a.Pekerja keras
            Makhluk kecil tapi memiliki kemampuan memikul beban lima puluh kali lipat berat/besar tubuhnya. Dalam mencari rezeki, tak perduli medannya berat barangnya berat secara gotong royong mereka akan membawa makanan itu sampai ke sarangnya. Semut tidak ada yang menganggur, semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing tanpa kenal lelah.
            Alam mengajarkan kepada manusia model kesempurnaan dalam etos kerja. Salah satunya terpancar pada koloni semut, disana semua terpampang seperti dunia kaca. Transparan, apa adanya, asli tanpa dibuat-buat dan direkayasa. Semakin anda mengamati, anda akan mendapatkan dunia nyata tanpa bedak dan gincu, lugu, telanjang. Etos kerja tinggi adalah suatu syarat untuk tetap bertahan hidup ditengah rimba kehidupan. Perilaku ini sangat dianjurkan oleh Alloh SWT seperti dalam firman-Nya dalam Al Qur’an (9:105),”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu maka Alloh dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Perintah bekerja ini juga tercantum pada Al Insyiqaaq ayat 6-16, al Jumu’ah ayat 10, Al Qosas ayat 77, Ar-Radu ayat 11 dan ditegaskan dalam hadist  dari Miqdam ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda,”Tidak satu pun makanan yang dimakan seseorang lebih baik dari kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil kerja tangannya”.(HR. Bukhari).
            Masyarakat enggano pada umumnya bekerja dengan hasil tangan mereka yaitu sebagai nelayan dan petani. Kebiasaan bekerja keras ini disebabkan ditempa oleh alam yang tak kenal kompromi. Siapa yang tidak bekerja maka ia tidak dapat makanan. Sifat dasar kerja keras masyarakat enggano apabila diarahkan pada kerja cerdas mampu mengolah bahan dasar menjadi olahan tentu akan lebih meningkatkan kesejahteraan mereka. Juga dilatih kerja tuntas yakni fokus pada keahlian yang diminati bukan berdasarkan musim semata. Misalnya budi daya ikan keramba, udang lobster, kepiting bakau dll jangan hanya mencari bahan mentah saja. Biasanya nelayan atau petani mencari atau menanam seseuatu berdasarkan keberhasilan seseorang. Seseorang berhasil mencari lolak maka semua beramai-ramai mencari lolak begitu juga seseorang berhasil menanam cabe maka semua ikut-ikutan menanam cabe.
b.Dispilin
            Semut sangat disiplin dalam menata kehidupan koloninya. Ciri khas, seperti pembagian kerja secara terinci. Semut pekerja, misalnya, mereka mencari makanan dan membawanya ke sarang, uniknya mereka tidak mau makan sedikitpun sebelum makanan itu dibagi sesuai dengan jatah masing-masing. Induk semut kerjanya khusus hanya untuk bertelur, semut penjaga bekerja menjaga dan menata telur-telur hingga menetas dst.
Organisasi kemasyarakatan dapat berjalan harmonis dan tertib jikalau aturan dipatuhi para anggotanya. Disiplin, karakter yang perlu dan wajib dimiliki setiap anggota/suku. Warga kesukuan menyadari pentingnya kedisiplinan dalam menegakkan aturan adat, konsistensi pelaksanaan di kondisi nyata sangat mendukung terjaganya keharmonisan di tengah masyarakat. Hal ini terbukti, jarang atau dapat dikatakan tidak ada perselisihan sampai ke polisi apalagi pengadilan. Mereka dengan kearifan lokalnya mampu menyelesaikan permasalahan dengan aturan adat yang berlaku. Ini suatu modal dasar penunjang pembangunan ke depan, nilai budaya patuh pada ketentuan adat istiadat dapat dijadikan sebagai acuan orang-orang pendatang untuk berdaptasi.
c.Hidup hemat
            Hidup hemat adalah salah satu ciri mental bangsa Jepang yang patut diteladani, disana setiap warga rajin menabung.  Setiap yen yang didapat sebagian pasti disisihkan, tidak dihabiskan semua. Apalagi kalau mendapat rupiah diluar gaji yang diterima wajib hukumnya ditabung. Itulah karakter bangsa Jepang.
            Ternyata semut berdasarkan instingnya selalu menyisihkan dan menyimpan makanannya sebagai persiapan menghadapi masa paceklik. Setiap makanan yang masuk ke sarang disortir secara ketat, kalau terlalu besar akan dibelah-belah sebagiannya disimpan, jikalau basah makanan tersebut dijemur dipintu sarang agar kering dan awet. Jadi, rombongan semut dalam koloninya ada gudang makanan lebih dari cukup untuk menghadapi musim kemarau yang sangat panjang sekalipun.
            Budaya hidup hemat ini sayang tidak ditemui di masyarakat Enggano, mereka masih terbiasa dengan mencari hari ini dimakan hari ini juga. Yang ditemui di tengah masyarakat adalah kebiasaan berbagi di kala paceklik. Mereka merumuskan dalam mitos kutukan yang dikenal sebagai “Perihei”, barang siapa di masa paceklik tidak mau berbagi maka akan terkena kutukan sakit perut. Kutukan ini sangat ditakuti oleh seluruh warga penghuni pulau juga para pendatang yang kurang memahami adat istiadat setempat. Padahal “Perihei” ini adalah local genius masyarakat Enggano membangun solidaritas sosial dalam menghadapi situasi sulit, utamanya masalah paceklik pangan. Mereka meyakini bagi siapa saja yang masih punya sedikit makanan di saat paceklik hendaknya membagi dengan yang lainnya. Bahkan kalau tidak ada lagi yang bisa dibagi memakannya harus secara sembunyi-sembunyi.


d.Silahturami
            Semut juga dikenal sebagai makhluk sosial, satu dengan lainnya selalu saling berhubungan. Setiap semut berpapasan dengan temannya ia akan memberi salam dan bertasbih. Kerukunan antar anggota dibarengi dengan saling tegur, menyapa, bersilaturahmi. Oleh karena itu, semut tidak pernah kehabisan rezeki karena mengamalkan silaturahmi. Selain itu semut selalu bertasbih dengan mengangkat kedua tangannya (kaki depan) juga dengan caranya yang tidak kita ketahui selalu sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang diinformasikan Alloh dalam Al Qur’an (24:41) sebagai berikut, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Alloh, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Efek dari pelajaran baik itu hingga kini masyarakat Enggano sangat kompak dalam melakukan aktivitas apa saja dan bila berpapasan selalu menegur satu sama lain.
            Kekompakan itu akan tampak tatkala ada kegiatan yang melibatkan warga suku seperti perkawinan. Semua warga tapa disuruh akan melibatkan diri mualai dari awal tegak tarub hingga acara usai. Uniknya acara perkawinan dikatakan selesai apabila ditutup dengan atraksi tarian semut dengan lagu “Kahinoa” nya. Mereka muncul satu persatu mendatangi tempat acara pada malam hari  sambil menari seperti ular-ularan dan bernyanyi “Kahinoa” hingga seluruh warga seluruh kaudar (kampung) ikut serta. Apabila dirasa seluruh warga sudah keluar semua maka tuan rumah membubarkan mereka dengan mengacung-acungkan obor terarah ke para penari hingga mereka kocar-kacir. Akhirnya, semua penari pulang ke rumah masing-masing barulah pesta dianggap selesai dan tuan rumah bisa istirahat.            
e.Taat
              Semut memiliki insting untuk selalu taat pada sistem koloni yang dibangun. Ketaatan pada peraturan itulah keunggulan koloni semut dibanding dengan kelompok hewan lainnya. Pelajaran ini oleh nenek moyang orang Enggano dijadikan pedoman dalam menegakkan peraturan adat. Dalam hal ini masyarakat Enggano dikenal sebagai masyarakat kesukuan dan keadatan. Masyarakat kesukuan adalah suatu sistem kekerabatan terdiri dari satu keturunan berdasarkan garis ibu (matrilinial). Saat ini ada 6 suku terdiri 5 suku asli dan satu pendatang. Struktur organisasi masyarakat Enggano bisa dilihat dalam buku saya berjudul “Mengenal Budaya Enggano”, disana dijelaskan bagan serta fungsi masing-masing suku.
              Untuk memastikan sekaligus menjaga kesatuan adat maka para pendatang dari luar pulau diwajibkan untuk masuk suku. Sistem masuk suku ada dua cara yaitu (1) kaum pendatang dijadikan satu suku yang disebut suku Kamay, dengan adanya wadah tersebut secara otomatis seluruh kaum pendatang masuk dalam suku tersebut, (2) memilih masuk salah satu suku asli Enggano dengan upacara adat. Keduanya mempunyai tujuan yang sama agar para pendatang langsung beradaptasi pada adat istiadat setempat. Baik penduduk asli maupun pendatang sama di mata hukum adat.

C.Kesimpulan
               Pendekatan folklore pada nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa” dari sisi lore-nya menunjukkan bahwa kesatuan, keharmonisan, kerukunan menjadi cita-cita masyarakat enggano. Untuk mewujudkan itu, mereka menyusun suatu tata aturan adat sebagai pedoman/acuan dalam menyelesaikan persengketaan yang timbul di tengah masyarakat. Sedangkan dari sisi folk-nya tercermin dari kehidupan sosial masyarakat enggano yang taat pada aturan adat istiadat yang hingga kini masih eksis di tengah masyarakat kesukuan.
              Pendekatan folklore dapat menjawab mengapa masyarakat begitu kuat memegang adat? Karena mereka masih kuat memegang falsafah semut. Pewarisan nilai-nilai ditranformasikan melalui tarian dengan latar tembang “Kahinoa”, dan terus menerus mereka munculkan disetiap kegiatan/upacara utamanya pada upacara perkawinan. Tanpa terasa enkulturasi berjalan secara alamiah, selain suri teladan dari para tokoh adat dalam mengeja-wantahkan kekompakan koloni semut dalam kehidupan sehari-hari.
              Nilai budaya dalam kehidupan semut yang dapat masyarakat Enggano pertahankan hingga kini adalah : kegotongroyongan, kepatuhan pada tradisi nenek moyang, keharmonisan. Gotong royong masyarakat Enggano boleh dikatakan menonjol dibanding wilayah lain di propinsi Bengkulu, nilai budaya ini tentu sangat menunjang pembangunan di segala bidang kalau diberdayakan. Ada kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan yaitu setiap pendatang diwajibkan masuk suku kamay dan boleh yang lainnya. Peristiwa masuk suku ini suatu momen mempersatukan darah sebagai tali persaudaraan, jika pemangku kepentingan jeli kearifan lokal ini dapat dijadikan sarana mencegah terjadinya konflik penduduk asli dengan kaum pendatang (transmigrasi). Sebelum mereka di tempatkan di lahannya masing-masing diadakan upacara masuk suku terlebih dahulu secara adat. Tali persaudaraan kesukuan ini peletak dasar keharmonisan karena kaum pendatang sudah dianggap warga pulau bukan orang lain.

Daftar Pustaka
Ekorusyono, YY. 2013. Mengenal Budaya Enggano. Yogyakarta : Buku Litera.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.

Hamidy, Zainudin dkk (penterjemah). 1992. Shahih Bukhari jilid I – IV. Jakarta : Wijaya.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Teeuw. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra.  Jakarta : Pustaka.
Yayasan Penterjemah Al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al Madinah An Nabawiyah. Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifain Raja Fahd.

1 komentar:

  1. eko wa kanika Enggano...
    Apa Kabar pak eko? Semoga sehat selalu. Alhamdulillah blog bapak sangat informatif.

    BalasHapus