Analisis Nilai Budaya dan Kearifan
Lokal Cerita Rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” Kajian Antropologi Sastra
YY.Ekorusyono
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis nilai budaya dan kearifan
lokal yang terkandung dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-cerito Jang Pesisia”
Suku bangsa Rejang di Bengkulu. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif
dan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data
dan (3) penyajian hasil analisis data. Pada tahap pengumpulan data, menggunakan
metode kualitatif dengan teknik penelusuran kepustakaan. Selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan teori postrukturalisme yaitu Semiotika dan hermeneutika.
Hasil penelitian dilakukan dengan pendekatan Antropologi sastra, sehingga
peneliti dapat menemukan nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam
kumpulan cerita rakyat “Cerito-cerito ejang Pesisia” Suku bangsa Rejang.
Berdasarkan analisis semiotika dan hermeneutika kumpulan cerita rakyat
“Cerito-Cerito Ejang Pesisia” ditemukan nilai
budaya dan kearifan lokal yang dapat digunakan dalam menghadapi problematika
kehidupan. Implikasi nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam
“Cerito-Cerito Ejang Pesisia” adalah (1) Nilai yang terkandung (relijius,
moral, sosial budaya, cinta lingkungan, pengetahuan dan edukatif) relevan
dengan kurikulum pendidikan nasional, (2) kearifan lokal yang ada dalam
kumpulan cerita dapat digunakan untuk memecahkan persoalan suku bangsa Rejang
masa kini, (3) Nilai budaya dan kearifan lokal dalam kumpulan cerita
“Cerito-Cerito Ejang Pesisia” dapat digunakan untuk membentuk
karakter/kepribadian suku bangsa Rejang melalui pendidikan formal dan non
formal, (4) Kumpulan 8 cerita rakyat “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” dapat
digunakan sebagai bahan ajar di sekolah berbasis budaya lokal dan menggali
potensi peserta didik sesuai dengan budaya sendiri di komunitas masyarakat Rejang.
Kata kunci : Analisis, nilai budaya dan kearifan lokal, kumpulan cerita rakyat
“Cerito-Cerito Ejang Pesisia” ,
Antropologi sastra.
Pendahuluan
Suku bangsa
Rejang di provinsi Bengkulu menisbatkan
pada istilah Jang Pat Petulai. Istilah ini seperti yang dikemukakan, Sidik
(1980 : 44) “maka sejak saat itu pula Renah Sekalawi bernama Lebong dan
tercipta Rejang empat Petulai (Jang Pat Petulai) yang menjadi intisari dari
suku bangsa Rejang”. Suku bangsa Rejang adalah suku tertua tentu memiliki ragam
sastra lisan, Ekorusyono (2013 : 127-128) seperti mantra, pantun, sambai andak,
geritan, nyanyian rakyat dan cerita rakyat. Utamanya cerita rakyat sangat
banyak sekali jumlahnya dan setiap daerah baik Jang Belek Tebo maupun Jang
Pesisia mempunyai cerita rakyat berbentuk mite, legenda, dan fabel. Cerita rakyat atau dongeng adalah karya fiksi yang
di dalamnya juga terkandung ajaran
moral, nilai-nilai budaya dan pandangan-pandangan yang relevan dengan persoalan
konkrit yang ada pada masyarakat pendukungnya. Pendapat di atas didukung oleh
Sumardjo dan Saini (1991 : 8) yang mengatakan bahwa salah satu manfaat karya
sastra adalah “memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang
kebenaran-kebenaran hidup ini, kita juga memperoleh pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan”.
Manfaat secara
khusus bagi masyarakat Rejang adalah (1) agar masyarakat Rejang dapat memahami
dan menghayati warisan-warisan luhur hasil karya nenek moyangnya, (2) dapat
memperkaya khazanah dan bahan ajar apresiasi sastra daerah di lembaga
pendidikan, (3) sebagai sarana pelestarian dan pengembangan sastra daerah. Setakat
itu, manfaat secara teori mencoba mengkorelasikan kebudayaan dengan pendidikan
guna membangun pendidikan berbasis budaya lokal. Kebudayaan lokal mengandung
kearifan lokal menjadi isu utama dalam teori kotemporer, Ratna (2011:90)
mengemukakan :
Berbagai bentuk kebijaksanaan lokal,
pengetahuan tradisional, dan berbagai bentuk kebudayaan setempat yang lain,
sebagai sesuatu yang pernah dipinggirkan, dimarginalisasikan, sebagai
“perempuan” diangkat kembali ke permukaan, dijadikan sebagai isu utama, bahkan
ditempatkan pada posisi pusat. Dalam banyak hal kebijakasanaan lokal ini mampu
mengantisipasi berbagai permasalahan, termasuk yang terjadi di dunia kotemporer.
Akhir-akhir
ini dengan semakin meningkat dan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang
pendidikan, pelaku di bidang pendidikan sangat menyadari kecerdasan tidak hanya
intelektual saja melainkan ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual.
Berangkat dari kenyataan itulah pemerintah menggulirkan kurikulum 2013 untuk mengakomodasi pendidikan berkarakter
(kecerdasan emosi) agar dapat diajarkan bersamaan dengan kecerdasan
intelektual. Pembentukan karakter
berkait erat dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya, nilai-nilai budaya
masyarakat bersangkutan diharapkan berfungsi dan mampu membentuk karakter
anggota-anggotanya. Pada kenyataannya perkembangan cerita rakyat khususnya suku
bangsa Rejang sekarang ini sangat memprihatinkan. Minat masyarakat terhadap cerita rakyat
semakin berkurang karena derasnya arus kemajuan zaman yang menjanjikan tontonan
lebih menarik baik dari sisi penyajian maupun kemasannya.
Berdasarkan uraian diatas maka cerita
rakyat Rejang perlu dikaji secara mendalam sebagai objek penelitian . Cerita
rakyat akan lebih menarik jika dikaji
secara ilmiah dengan pendekatan antropologi sastra sehingga kelebihan-kelebihan
cerita rakyat ini dapat diangkat dan
diambil hikmah ajarannya. Seperti yang ditegaskan Wellek dan Austin Warren
(2014:174) “karya sastra mempunyai kehidupan, ia lahir dari suatu waktu
tertentu, bersifat historis mengalami perubahan dan dapat musnah, hanya abadi
kalau dipertahankan”. Berdasarkan
latar belakang di atas maka masalah pokok yang akan diteliti dapat dirumuskan
sebagai berikut : “Bagaimanakah nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung
dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” yang berguna dalam membangun karakter
komunitas Rejang?
Metodologi
Jenis
penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan antropologi sastra.
Teori sastra yang digunakan untuk menemukan nilai budaya dan kearifan lokal
adalah teori postrukturalisme (Ratna, 2011) yaitu menggunakan teknik (1)
semiotika (Endraswara, 2008), De Saussure (dalam Teuuw, 2013), Pierce (dalam Endraswara,
2008) dan (2) hermeneutika Palmer (dalam Endraswara, 2009), (Endraswara, 2009),
(Teuuw, 2013). Keunggulan metode ini peneliti dapat mengungkap nilai budaya dan
kearifan lokal dalam teks cerita yang tersembunyi dengan menggunakan para teks
dan konteks sesuai budaya komunitas Rejang sebagai pemilik cerita. Sumber data
diambil dari kumpulan cerita berjudul “Cerito-Cerito Jang Pesisia” yang
dihimpun oleh Prof.Mc Ginn. Data diperoleh dari teks yang ada dalam cerita
kemudian dikonfirmasi dengan kebudayaan dimana cerita itu tumbuh dan
berkembang.
Analisis data
dilakukan dengan langkah-langkah (1) studi pustaka, membaca berulang-ulang
kumpulan cerita “Cerito-Cerito Jang Pesisia, (2) membuat tabulasi data dengan
analisis unit kalimat, (3) mengklasifikasi hasil tabulasi nilai budaya dan
kearifan lokal, (4) menginterpretasikan, (5) penyajian data atas dasar tabulasi
data dan klasifikasi dan (6) penyimpulan. Uji verifikasi dilakukan dengan cara
(1) ketekunan pengamatan, (2) check
members, (3) Konsisten dan menggunakan konsep dalam menginterpretasi data.
Hasil Penelitian dan Bahasan
1. Nilai Budaya
Berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan terhadap objek penelitian yaitu delapan
cerita rakyat Rejang dalam “Cerito-cerito Ejang Pesisia” dapat ditemukan unsur nilai
budaya sebagai berikut : dalam cerita “ Lalan” terkandung nilai mandiri,
tanggung jawab, rasa ingin tahu, dalam cerita “Kancil Si Tukang Bohong”
terkandung nilai relijius dan kreatif, dalam cerita “Kepiting dan Beruk”
terkandung nilai relijius, peduli lingkungan dan peduli sosial, dalam cerita “Putri”
terkandung nilai jujur dan bersahabat , dalam cerita “Kancil dan Raksasa”
terkandung nilai kerja keras, kreatif dan bersahabat, dalam cerita “Ketinuak”
terkandung nilai peduli sosial, dalam cerita “ Beruk dan Kura-kura” terkandung
nilai bersahabat dan peduli sosial sedangkan dalam cerita “Tiga saudara”
terkandung nilai budaya mandiri, tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli
lingkungan dan gemar membaca.
Unsur nilai
budaya yang ditemukan dalam “Cerito-Cerito Ejang Pesisia apabila dimasukkan
dalam kerangka Kluckhohn, akan tampak pada tabel dibawah ini.
Tabel.8.
Kerangka Kluckhohn dan Indikator nilai budaya yang ditemukan.
N No
|
Variabel orientasi
nilai Budaya
|
Nilai Budaya yg
ditemukan
|
Cerita rakyat Rejang
|
1
|
Hakikat Hidup (HK)
|
Relijius
Jujur
|
1.Lalan
2.KancilsiTukang bohong
3.Kepiting dan beruk
4.Putri
5.Kancil dan raksasa
6.Ketinuak
7.Beruk dan kura-kura
8.Tiga bersaudara
|
2
|
Hakikat karya (HK)
|
Kerja keras
Kreatif
Mandiri
|
|
3
|
Persepsi manusia
tentang waktu (MW)
|
Gemar membaca
|
|
4
|
Pandangan manusia
terhadap alam (MA)
|
Rasa ingin tahu
Peduli lingkungan
bersahabat
|
|
5
|
Hakikat hubungan
manusia dengan sesamanya (MM)
|
Peduli sosial
|
2. Kearifan Lokal
Dalam kumpulan
cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia”
setelah dianalisis dapat ditemukan kearifan lokal sebagai berikut :
dalam cerita berjudul “Lalan” mengandung kearifan lokal alat tradisional.
Cerita rakyat berjudul Kancil si Tukang Bohong mengandung kearifan lokal
tentang ilmu pengetahuan sedangkan pada cerita berjudul Kepiting dan Beruk
tidak ditemukan. Cerita rakyat berjudul Putri mengandung kearifan lokal makanan
tradisional dan ilmu pengetahuan sedangkan pada cerita yang berjudul Kancil dan
Raksasa tidak ditemukan. Cerita rakyat berjudul Ketindung mengandung kearifan
lokal obat tradisional sedangkan cerita yang berjudul Beruk dan Kura-kura tidak
ditemukan. Terakhir pada cerita rakyat berjudul Tiga Bersaudara mengandung
kearifan lokal ilmu pengetahuan, arsitektur rumah dan kesenian. Berikut
uraiannya :
a.
Alat tradisional
Alat
tradisional masyarakat Rejang berupa pancing tanpa senar dan umpan, “kewea” ini
terkandung dalam cerita rakyat yang berjudul “Lalan”, kutipannya sebagai
berikut.
Ktpn.1
Ade do bilai si alau mengewea
mai bioa gik coa uak kunei sadui ne.(hal.1). Ada suatu hari ia pergi memancing di sungai tidak jauh dari desanya.
Alat
tradisional memancing (khusus) ikan mukus yaitu ikan yang hidupnya di sungai
air deras dan menempel di batu. Ikan ini tidak bisa dipancing dengan
menggunakan umpan, ia harus dikait dengan mata pancing tanpa umpan yang disebut
oleh masyarakat Rejang “kewea”. Alat tradisional ini, penggunaannya dibantu
dengan kaca bening selebar 10 cm dan panjang 15 cm, kaca ini alat bantu untuk
melihat ikan di dalam air atau menggunakan kaca mata anti air yang bisa dibuat
sendiri atau beli di toko-toko.
Budaya
mengewea sekarang hampir ditinggalkan dengan adanya alat-alat baru yang lebih
modern seperti setrum dengan accu, Padahal dengan mengewea kelestarian ikan dan
habitatnya terjaga karena kemampuan seseorang mencari ikan mukus seharian
kurang lebih 50-an ekor sedangkan alat setrum bisa tiga atau empat kali lipat.
Eksploitasi penangkapan ikan mukus dengan alat modern selain tidak memberi
kesempatan ikan berkembang biak juga anak-anaknya yang kecil disekitar induknya
ikut kesetrum hingga tidak sempat besar dan melanjutkan keturunan. Alat “kewea”
termasuk kearifan lokal masyarakat Rejang dalam menjaga keseimbangan habitat
ikan, utamanya ikan mukus.
b.
Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan tentang menjaga kelestarian hutan ada terkandung dalam cerita
berjudul “ Kancil si Tukang Bohong” kutipan peristiwanya sebagai berikut.
Ktpn.2
Nadeak kacea samo temunjuk sa’ang
medau nak das pun o.(hal.9). Kata
kancil sambil menunjuk sarang Tawon madu di atas pohon itu.
Pohon-pohon
tempat tawon madu bersarang masyarakat Rejang menyebutnya pohon Sialang.
Pohonnya bisa apa saja, seperti pohon benuwang (Octomeles sumaterana), pohon
menggris/tapang (K. Excelsa), pohon tualang (Koompassia Parvifalia), pohon
cempedak air (Artocarpus Maingayi) dll apapun pohonnya asal sering ditempati
lebah madu bersarang dan lebih dari satu sarang bahkan bisa ratusan maka mereka
menyebutnya pohon Sialang.
Dalam adat
istiadat masyarakat Rejang pohon sialang tidak boleh ditebang sembarangan. Ada
aturan adat bahwa pohon sialang yang dihuni ratusan sarang lebah adalah milik
bersama. Pada kenyataannya pohon sialang rata-rata sangat tinggi berkisar 50
meteran dengan batang besar berdiameter mencapai 2 meteran. Pohon sebesar itu
jika ditebang jelas akan merusak lingkungan sekitarnya dan juga menghilangkan
mata pencaharian mereka sendiri. Oleh karena itu, jikalau seseorang mau
menenbang pohon sialang harus seizin tokoh masyarakat setempat.
Ada kearifan
lokal yang terpancar dari aturan adat tersebut, (1) kelestarian alam lingkungan
terjaga, utamanya sumber air di sekitarnya, (2) mata pencaharian masyarakat
setempat tetap berkesinambungan tanpa merusak hutan. Dalam menjaga kelestarian
hutan juga tampak pada cerita rakyat berjudul “Putri”, disana disebutkan
melintasi “rimba dalam” atau juga disebut hutan larangan. Ilmu pengetahuan
betapa pentingnya akan kelestarian hutan, hutan larangan kayunya tidak boleh
ditebang walau yang kecil sekalipun. Dalam hutan larangan hanya boleh diambil
rotan, madu, getah damar dan yang berupa sayur mayur seperti unji, pakis,
rebung dll. dan jarang orang yang berani melintas atau masuk didalamnya. Akan
tetapi memang ada yang nekat melintas karena sesuatu dan lain hal yang sangat
mendesak. Contohnya seperti dalam kutipan berikut.
Ktpn.3
Neletak ne Putri nak das pungung
ne, sudo nemin ne Putri mai sadui ne, sembe;ang bioa, melitas imbo
lem.(hal.31). Diletakkannya Putri
di atas punggungnya, sudah itu dibawa Putri menuju desanya, menyeberang sungai,
melintasi hutan dalam (larangan).
Kearifan yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan juga terdapat dalam cerita rakyat berjudul “Tiga Saudara”
seperti kutipan berikut.
Ktpn.4
Lem bukau tiak tun telau
basuak ade ba rajo.(hal.89). Dalam buku
itu ayah dari tiga bersaudara adalah raja.
Kata “bukau”
kalau diterjemahkan secara harfiah artinya buku, tetapi disini penafsiran
berdasarkan kebudayaan masyarakat dimana cerita ini tumbuh dan berkembang bukan
berbentuk buku seperti yang kita pahami sekarang ini. Jadi, kata buku faktanya
adalah lembaran-lembaran kulit kayu, gelumpai bambu dan tanduk baik sapi atau
kerbau.
Masyarakat
rejang sudah mempunyai aksara tersendiri yang disebut aksara ka, ga, nga atau
serat ulu. Tiga bersaudara dalam cerita itu jelas bisa baca tulis huruf
rencong/ka,ga,nga. Ilmu pengetahuan kakek mereka tentang pentingnya silsilah
keluarga ditulis sudah membudaya di lingkungan elit kerajaan. Berkat ilmu
pengetahuan tentang silsilah itulah pencarian tiga bersaudara menjadi mudah
karena ada fakta tertulis yang tak terbantahkan.
c.
Makanan tradisional
Kemampuan
masyarakat pada masa panen berlebih dan mengolahnya menjadi suatu yang
bermanfaat juga di temui dalam cerita rakyat berjudul “Putri”. Dalam cerita itu
disebutkan ada seorang ayah dan anak gadisnya pergi kedalam hutan membawa nasi
dan sayur dalam ruas bambu seperti dalam kutipan berikut.
Ktpn. 5
Kabuk-kabuk nien bi alau embin
moi lem ibet ngan sayur lem buluak.(hal.27). Pagi-pagi sekali sudah pergi membawa makanan dan sayur dalam ruas
bambu.
Dalam
kebudayaan masyarakat Rejang, ibet itu sama dengan nasi bungkus yang sudah ada
lauk di dalamnya sedangkan sayur dalam ruas bambu berisi tempoyak atau lemea.
Darimana kita mengetahui bahwa yang dimaksud sayur itu adalah tempoyak atau
lemea, pertama, dari perilaku keseharian mereka, kedua, dari kebiasaan
masyarakat yang mayoritas petani apabila pergi ke ladang/sawah membawa bekal
sayur dalam ruas bambu. Sesampai di pondok sayur tadi dimasak dengan cara bambu
itu dibakar sampai sayur tempoyak/lemea dalam ruas bambu hingga mendidih.
Tempoyak
termasuk makanan tradisional dibuat dari bahan daging buah durian yang
diawetkan bisa bertahan sampai bertahun-tahun tanpa bahan pengawet buatan dan
lemea dibuat dari bahan rebung (tunas bambu) diiris kecil-kecil kemudian
dicampur dengan ikan mukus mentah atau ikan air tawar lainnya yang jeroannya
sudah dibersihkan kemudian dicampur dimasukkan dalam toples besar dengan
dilapisi daun pisang ditutup rapat-rapat sampai ikan hancur karena fermentasi.
Proses fermentasi paling cepat tiga hari baru bisa dimanfaatkan dan lemea ini
bisa bertahan berbulan-bulan tanpa bahan pengawet.
Keduanya
sebagai bahan dasar untuk masakan sayur khas daerah seperti pepes tempoyak ikan
patin, gulai tempoyak kepala ikan mas/ikan putih, sambal tempoyak
udang/ikanlaut dll sementara lemea dimasak menjadi sambal lemea, sayur keladi
ikan mukus, santan pedas ikan laut, gulai ikan mas dll.
Makananan
tradisional ini tercipta karena kearifan lokal yang mampu mengolah panen yang
berlimpah, dalam hal ini panen durian dan juga kreativitas mengolah sumber daya
alam melimpah yaitu rebung dan ikan mukus atau ikan tawar lainnya. Hasil olahan
tradisional khususnya lemea banyak diminati bukan hanya masyarakat Rejang tapi
sudah diekspor ke Jepang dalam bentuk kemasan kaleng.
d.
Pengobatan Tradisional
Setiap suku
bangsa rata-rata memiliki cara pengobatan tradisional yang diolah dari
bahan-bahan alam sekitar suku tersebut menetap. Begitu juga suku bangsa Rejang,
mereka memiliki ramuan obat tradisional berbagai macam ragam sesuai dengan
diagnosa penyakitnya. Adanya pengobatan tradisional tampak pada kutipan
berikut.
Ktpn.6
Tun kute renyeng meker ne. Bi dau
ubet
nesoa, tapi Bujang Kurung coa baik kune.(hal.53). Orang semua pusing memikirkannya. Sudah bermacam-macam obat diberikan,
tapi Bujang Kurung tidak juga membaik keadaannya.
Pada masa itu
memang belum ada dokter, perawat, dan mantri yang ada adalah tabib atau dukun
(saman). Tabib pada waktu itu obat andalannya adalah kemampuannya meracik
bahan-bahan alami yang ada dilingkungannya sebagai dasar resep pengobatan.
Sampai sekarang pun obat tradisional masih menjadi alternatif pilihan
masyarakat Rejang.
Setakat itu,
penyakit malaria misalnya, mereka mengobatinya dengan rebusan akar ali-ali yang
diminum setiap terasa mau minum dan tidak boleh meminum yang lain sampai nyamuk
tidak mau lagi menggigit baru berhenti minum. Rata-rata pengobatan akar ali-ali
berkisar tiga sampai 7 hari penyakit berangsur-angsur sembuh.
Ada ramuan air
liur burung but-but untuk pengobatan patah tulang, ramuan ini diambil dari
sarang burung but-but di tengah hutan. Caranya, disaat anak-anak burung
ditinggal induknya pergi mencari makanan maka pemburu segera mematahkan kaki
anak-anak burung tersebut. Induk burung begitu mengetahui anak-anaknya celaka
maka ia segera mengobati dengan air liurnya hingga sembuh. Disini dibutuhkan
kesabaran tinggi karena harus menunggu sampai anak-anak burung itu sembuh
kadang perlu waktu berminggu-minggu. Selanjutnya, sarang tersebut diambil
dengan mengganti sarang burung yang baru agar anak burung tetap lestari. Sarang
burung yang tercampur air liur but-but langka inilah sebagai bahan dasar ramuan
minyak pengobat patah tulang yang dikenal dengan minyak “sangkal putung”.
Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil saja dari berbagai ramuan
tradisional Rejang.
Disini perlu
dikemukakan ramuan pencegah penyakit kanker nenek moyang masyarakat Rejang.
Mengingat sekarang penyakit ini banyak menimpa seseorang dan sangat mematikan.
Masyarakat memiliki kebiasaan kalau pagi minum kopi, rebusan air sebelum
dicucurkan ke dalam gelas kopi pada waktu merebus dicampuri dengan daun sirsak,
pegagan, dan daun salam. Air rebusan itulah yang dijadikan air panas pembuat
minuman kopi, ternyata menurut penelitian modern daun sirsak dapat menyembuhkan
kanker dan daun salam menurunkan kadar gula.
e.
Arsitektur rumah
Dalam cerita
rakyat berjudul “Tiga Saudara” ada kata
“pondok” yang didirikan tiga saudara perempuan untuk bertahan hidup setelah
mereka jatuh miskin sepeninggal kedua orang tuanya. Kutipannya sebagai berikut.
Ktpn. 7
Sudo o tobo o menea ponog
ne nak lem imbo.(hal.3 jilid 2). Setelah
itu mereka mendirikan pondok di dalam rimba.
Penafsiran
kata “pondok” sesuai dengan budaya Rejang adalah semacam rumah kecil ukuran 2 x
3 m yang didirikan di atas tanah (pille divelling) dengan penopang tiang
penyangga setinggi manusia tegak lebih
sedikit. Bentuknya persegi, bahan dari bambu atau kayu bulat sebesar lengan
manusia untuk lantai dan dinding. Atap berbentuk meranjat terbalik dengan
cucuran air ke depan dan belakang, walau pada perkembangannya arsitektur atap berubah
meranjat dengan air cucuran disamping pondok. Semua menggunakan ikatan rotan
cacing dengan atap dari ilalang atau daun rumbia. Untuk lebih jelasnya lihat foto
di bawah ini, arsitektur rumah adat Rejang masa lampau.
Arsitektur
dasar rumah adat masyarakat Rejang terlampir pada lampiran 10, mengandung
kearifan lokal (1) terhindar dari gangguan binatang buas, (2) bangunan anti
gempa dan sudah terbukti berkali-kali waktu gempa melanda wilayah suku Rejang,
rumah mereka masih utuh atau paling bergeser sedikit dan tidak ada korban sama
sekali.
Dokumen
Ekorusyono
f.
Kesenian Tradsional
Dalam cerita
rakyat “Tiga Saudara” disebutkan dengan jelas adanya tari kejai sebagai cara
untuk merayakan pesta perkawinan. Tari kejai ini ternyata pada zaman dahulu sudah
menjadi tradisi yang harus ditampilkan disaat “Bimbang Kejai” (pesta besar)
maupun pesta biasa (pesta kecil). Gambaran itu terlihat pada kutipan berikut.
Ktpn. 8
Makui ta’ai kejai, aui yo tun
merayo biaso ne.(hal.9). Memakai tari
kejai, begitulah biasanya orang merayakannya.
Tari kejai
adalah tari-tarian yang ditampilkan disaat “bimbang kejai”. Ada tiga unsur yang
harus ada dalam tari kejai yaitu (1) instrumental alat musik seperti redap,
gong, kelintang dan serunai (suling), (2) lagu sambai andak berupa pantun
bersahutan antara bujang-gadis. dan (3) gerak tari ambet, andak dan kipas yang
dibawakan oleh sepasang penari 5, 7 dan 9 (selalu ganjil).
Tari kejai
termasuk lokal jenius masyarakat Rejang dalam mengekspresikan diri dengan
kekhasannya. Kearifan lokal di bidang kesenian ini khas daerah yang perlu
dilestarikan dan dikembangkan sebagai modal kesadaran lokal dalam pembangunan
tanpa meninggalkan jati diri.
3. Buku “Cerito-Cerito Jang Pesisia” termasuk
karya sastra.
Cerita rakyat
baik itu berbentuk legenda, mite maupun fabel ternyata mengandung ajaran moral
dan gagasan-gagasan masyarakat pendukungnya. Ia bukan sekedar dongeng pengantar
tidur yang hanya bersifat hiburan, tetapi dibalik itu ada tersembunyi
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang bersifat pendidikan. Cerita rakyat
juga menggambarkan pemecahan masalah-masalah lokal bersifat universal seperti
dalam cerita berjudul “Tiga Saudara”, disana digambarkan bagaimana pentingnya
tulis baca bagi generasi muda. Kepandaian tokoh-tokohnya dalam hal menulis dan
membaca, akhirnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan mereka.
Cerita rakyat
juga wahana pendidikan yang menghibur, dongeng bukan cerita khayal semata di
dalamnya ada ajaran filsafat moral tentang nilai-nilai kehidupan yang dapat
digunakan sebagai sarana mengenal sesama manusia dan memecahkan problematika
kehidupan sesuai lingkungannya. Tema-tema cerita yang diangkat masih relevan
dengan kehidupan zaman sekarang dan nyata terjadi di masyarakat. Cerita rakyat
berjudul “Lalan” yang mengangkat kisah rakyat kecil (Bujang Kurung) menikah
dengan bidadari (Lalan, anak pejabat tinggi). Cerita rakyat yang berjudul
“Kancil si Tukang Bohong” yang intinya mengisahkan Kancil (kita semua) dalam
kondisi terdesak baru muncul kreativitasnya dan biasanya seseorang timbul
ide/gagasannya yang brilian disaat terdesak. Begitu juga cerita yang berjudul
“Beruk dan Kura-Kura” mewakili kita semua siapa pun orangnya kalau
bermalas-malasan tidak mau bekerja, pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhannya
ia melakukan perbuatan tercela. Sebaliknya dalam cerita “Tiga Saudara”
mengisahkan siapa saja yang tekun belajar dan bekerja keras maka akan tercapai
cita-citanya.
Dari
pembahasan diatas nilai relijius dan jujur termasuk Hakikat hidup (HK) dalam
kerangka Kluckhohn yang mengkonsepsikan masalah-masalah universal mengenai cara
pandang terhadap hakikat manusia baik atau buruk. Masyarakat Rejang dalam
memandang hahikat hidup manusia di dunia ini selalu baik. Hal ini dibuktikan
dengan gagasan-gagasan bahwa hewan bisa berbicara seperti manusia seperti dalam
tokoh Kancil, Beruk, ular dll. Tokoh hewan-hewan tersebut adalah mewakili
kita-kita dan ternyata dalam cerita bagaimana ular menolong putri yang dibuang
orang tuanya, juga kecerdikan kancil dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup
dan kehidupan.
Juga ditemukan
ide tentang hakikat dari karya manusia yang tercermin dalam nilai budaya kerja
keras, kreatif, dan mandiri. Masyarakat Rejang memandang bahwa hidup harus
dijalani dan untuk itu harus bekerja secara mandiri dan kreatif agar lebih
banyak menghasilkan karya. Yang mengejutkan peneleti adalah ditemukannnya ide
tentang Persepsi manusia tentang waktu yang tercermin dalam nilai budaya gemar
membaca. Tradisi tulis baca ternyata sudah berkembang pesat sejak dahulu kala.
Artinya masyarakat rejang mempunyai pandangan ke masa depan. Hal ini dibuktikan
dengan ditulisnya silsilah keluarga
tentang tiga saudara sehingga mereka dapat menemukan kedua orang tuanya
dengan petunjuk tertulis tersebut.
Ide tentang
Pandangan manusia terhadap alam tercermin dalam nilai budaya rasa ingin tahu,
peduli lingkungan dan bersahabat.
Masyarakat rejang memandang alam adalah sahabat, maka mereka berusaha
mencari keselarasan dengan alam. Kondisi ini di kisahkan secara utuh dalam
cerita rakyat berjudul Tiga saudara, disana disebutkan bagaimana mereka hidup
berburu dan menanam berbagai tanaman. Hidup mereka menyatu dengan alam
lingkungan yang mereka tempati.
Ide hakikat
hubungan antara manusia dengan sesam juga ditemukan dalam kumpulan cerita
rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” yang tercermin dalam nilai budaya peduli
sosial. Orientasi masyarakat rejang bersifat horizontal adanya ketergantungan
dengan sesamanya seperti tetangga, gotong royong. Seperti yang dikisahkan dalam
cerita rakyat berjudul Beruk dan Kura-kura, disana kura-kura meminta
tetangganya yang lain yakni kepiting untuk menyelesaikan persoalannya dengan
beruk yang juga tetangganya.
Berdasarkan
uraian di atas, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta pesan kearifan
lokal yang masih relevan dengan kehidupan masa kini, maka dapat disimpulkan
bahwa kumpulan cerita rakyat berjudul “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” memenuhi
kriteria sastra yang dapat dijadikan referensi dan bahan ajar pendidikan sastra
di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan terhadap objek penelitian yaitu delapan cerita
rakyat dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” dapat diambil
kesimpulan secara umum bahwa dalam cerita rakyat tersebut diatas ditemukan 11
unsur nilai budaya yang tersebar di lima kerangka Kluckhohn dan 6 unsur kearifan lokal.
Secara khusus dapat dirincikan sebagai
berikut :
1. Ada 11 unsur nilai budaya yang berguna membentuk
karakater bangsa yaitu relijius, jujur, kerja keras, kreatif, mandiri, gemar
membaca, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, bersahabat, peduli sosial dan
tanggung jawab.
2. Dalam
kumpulan cerita di atas ditemukan
ide tentang (a) Hakikat hidup (HK), (b)
Hakikat karya (HK), (c) Persepsi manusia tentang waktu (MW), (d) Pandangan
manusia terhadap alam, (e) Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
3. Ada 6 aspek kearifan lokal yaitu alat tradisional,
makanan, pengobatan, kesenian, arsitektur dan ilmu pengetahuan.
4. Kumpulan cerita berjudul “Cerito-Cerito Jang
Pesisia” termasuk karya sastra bermutu dan dapat digunakan sebagai bahan ajar di
sekolah maupun di masyarakat.
. DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra
Lisan Indonesia. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Badudu, JS. 1980. Sari
Kesusastraan Indonesia Jilid 1. Bandung : Pustaka prima.
Dio, AM. 2003. Emotional Quality Management, Refleksi,
Revisi dan Revitalisasi Hidup melalui kekuatan Emosi. Jakarta : Penerbit
Arga.
Ekorusyono, YY. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta :
Penerbit Buku Litera.
Echols dan Hasan Shadily.2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta :
PT Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi
Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta
: Media Presindo.
---------------------------.
2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.
Jacob Sumarjo dan Saini KM.1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta : PT. Gramedia.
------------------------. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta
: PT Rineka Cipta.
McGinn dan Arbi. 2007. Cerito-Cerito Jang Pesisia. Ohio
University All rights reserved.
Nazir, Muhamaad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
----------------------------------. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses
Kreatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahyono, FX. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta
: Wedatama Widyasastra.
Sarwono dkk.(penyunting). 2004. Bunga Rampai Melayu Bengkulu. Dinas
Pariwisata Bengkulu.
Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Siswanto, Wahyudi.2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta :
Penerbit PT Grasindo.
Soumelina, Nicol. Pengertian Kearifan Lokal. File:///E:/pengertian kearifan lokal.
Academia.edu.htm.(akses 18 Desember 2014).
Sudaryat dan Hanapi Kartasasmita. 1987. Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung : Ganeca Exact.
Ponidin. 2011. Analisis Nilai Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa Kumpulan Cerpen “Darah” Karya Putu Wijaya. (tesis)
Bengkulu : FKIP Unib.
Teeuw. 2013. Sastra dan ilmu Sastra. Jakarta :
Pustaka Jaya.
Trianto, Agus. 2014. Pembentukan Karakter dalam Kurikulum.
Makalah pada seminar FKIP Unib.
Wikipedia Bahasa Indonesia. Sejarah, Budaya, Peradaban, bahasa.
Id.wikipedia.org/wiki/suku rejang (akses 20 April 2013).
Wikipedia Bahasa Indonesia. Nilai-nilai Budaya.
Id.wikipedia.org/wiki/nilai-nilai budaya (diakses Kamis, 18 Desember 2014).
Wellek, Rene dan Austin
Warren.2014. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar