Artikel
Pengajaran Sastra Berbasis Otak dan Budaya
Lokal
Pengajaran sastra dengan pengguliran
kurikulum 2013 bukan semakin eksis justru sebaliknya semakin terpinggirkan.
Materi sastra diajarkan oleh guru
cenderung yang kompetensi dasarnya (KD) tercantum dalam silabus. Jika mengacu
pada silabus, pengajaran sastra dalam satu semester hanya beberapa kali
dipelajari. Kondisi ini tentu bukan yang dimaksud dari ruh kurikulum baru dalam pembentukan karakter
siswa. Ada pemahaman yang perlu diluruskan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra pada
kurikulum K13 harus dipahami sesuai dengan ruh kurikulum yaitu merujuk pada
teks. Artinya, anak belajar sastra di setiap bahasan yang bersifat
mengungkapkan gagasan berupa teks yang dihadapi anak sehari-hari yaitu (1)
teks berita (melalui koran, televisi, internet dll), (2) teks sastra (rubrik
sastra dalam koran/majalah, buku sastra, pentas seni (baca puisi, drama),
sinetron dll), dan (3) bahasa sehari-hari (ceramah, pidato, laporan ilmiah,
artikel dll).
Setakat itu, sebagai contoh disini dikemukakan bahasan
ekplanasi dengan metode pembelajaran sastra berbasis otak, produk yang
dihasilkan harus berbentuk tiga teks yaitu sastra itu sendiri sebagai stresing
pelajaran, diikuti bentuk teks berita dan teks eksplanasi sehari-hari. Inovasi
yang harus dilakukakan adalah (1) pendekatannya/metodenya, (2) evaluasinya dari
bersifat konvergen ke divergen, dan (3) langkah-langkah pembelajarannya. Dalam pembelajaran
bahasan eksplanasi pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran sastra
berbasis otak. Otak manusia agar cerdas dan kreatif perlu rangsangan dan
latihan secara terus menerus. Salah satu perangsang kecerdasan otak yang cukup
efektif dan sudah terbukti secara ilmiah adalah membaca karya sastra. Membaca
karya sastra dapat merangsang empat titik jaringan yang ada di otak kanan
maupun kiri, bandingkan dengan menonton film yang diambil dari karya sastra
yang sama, hanya merangsang satu titik. Kalau hal ini (membaca karya sastra)
terus dibiasakan dan menjadi kebutuhan maka jaringan otak akan membuat
sambungan-sambungan satu dengan yang lain semakin banyak dan kuat. Kondisi olah
raga otak seperti ini sama dengan kita melatih fisik dengan olah raga tertentu.
Otak semakin kuat dan terampil dalam berfikir sama halnya dengan fisik yang
terlatih semakin kuat, sehat, dan terampil. Oleh karena itu, setiap anak
berkewajiban untuk membaca karya sastra yang akan dibahas secara individual.
Selain itu, di akhir pembelajaran selalu diikuti dengan tugas membaca karya
sastra baik cerpen, novel dll. sebulan sekali dan hasilnya masuk portofolio
anak.
Terkait dengan masalah evaluasi
dalam pembelajaran sastra hendaknya jangan hanya yang bersifat konvergen
(pengetahuan dalam teks) akan tetapi harus merangsang kecerdasan otak dan
imajinasi yaitu pertanyaan bersifat divergen (diluar teks tapi masih berkait
dengan teks). Sebaiknya siswa diberi pertanyaan mengapa anda
memilih tokoh tertentu, apa alasannya? Apakah anda setuju dengan latar cerita,
kalau setuju apa alasannya dan kalau tidak buatlah latar yang cocok menurut
anda? (pertanyaan divergen). Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, harus
mencakup prinsip-prinsip pengajaran sastra berbasis otak dengan obyek/ materi
budaya lokal.
Berkenaan dengan pembelajaran
sastra berbasis otak ada beberapa prinsip yang harus ada dalam proses belajar
mengajar yaitu :
1.
Mempertajam memori, menurut Madigan
(2007:275-276) “bahwa memori-memori dapat disimpan dalam molekul protein”.
Maksudnya, pengalaman-pengalaman belajar melalui latihan akan tersimpan dalam
otak dan berhasil dikeluarkan dalam tindakan di saat dibutuhkan. Baik itu
memori hafalan, memori fotografi, memori umum ketiganya diperoleh melalui
pembiasaan/kebiasaan. Sebagai contoh memori hafalan, seseorang ada yang mampu
menghafal teks kitab suci tebal-tebal karena membiasakan diri secara disiplin
melakukannya dan mampu mengungkapkannya saat diperlukan waktu sembahyang atau
kepentingan lain. Dalam pembelajaran sastra, anak harus dibiasakan untuk
mengingat memori yang sudah ada pada dirinya sebagai apersepsi (misal tema
dongeng) banyak cara untuk mengungkap memori anak sebelum pembelajaran dimulai.
a.
Siapa orang tuanya yang sering mendongeng di
rumah?
b.
Dongeng apa yang masih kamu ingat secara utuh?
c.
Siapa yang sudah tahu dongeng berjudul “...”
dipersilahkan untuk bercerita di depan?
d.
Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain bersifat
memancing memori.
2.
Mengembangkan imajinasi, anak dibiasakan
berpikir bebas tanpa takut salah. Dalam pembelajaran sastra tidak ada benar
salah yang ada logis dan inovatif. Disinilah fungsi pertanyaan-pertanyaan
divergen seperti tersebut di atas diperlukan. Kita hanya sebagai fasilitator,
mengarahkan anak agar kebebasan itu dibingkai dengan nilai dan norma masyarakat
lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan divergen yang berperan mengembangkan
imajinasi sebagai berikut :
a.
Siapa tokoh dalam dongeng tersebut yang paling
kamu sukai, mengapa demikian?
b.
Selain tokoh, unsur intrinsik/ekstrinsik lainnya
bisa dieksplor dengan pertanyaan seperti nomor satu.
c.
Bisakah anda membuat dongeng dengan
kreasi-kreasi baru, baik menggunakan gambar, atau alat/alam lingkungan yang ada
di sekitarmu!
d.
Dan lain-lain pertanyaan imajinatif.
3.
Diselingi atau divariasi dengan olah raga/musik,
Semboyan dalam tubuh yang kuat tumbuh jiwa yang sehat masih sangat relevan
dalam pembelajaran berbasis otak. Rileksasi yang paling tepat dalam proses
belajar mengajar di setiap 1x45 menit anak-anak berolahraga sejenak berkisar 5
menit untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Eric Jensen (2008:252-253)
mengemukakan sebagai berikut :
Bahwa salah satu bentuk olah
raga yang paling sederhana, tetapi mungkin paling penting bagi pembelajaran
yang optimal adalah sesuatu yang terasa mulai menghilang dari kehidupan
anak-anak sekarang ini—permainan dan gerakan yang menstimulasi sistem vestibuler. Semua bayi, anak-anak dan remaja dapat
menerima manfaat dari permainan yang menggerakkan anggota tubuh yang menuntun
mereka untuk berputar dan berbalik. Pada kelas yang lebih tinggi, partisipasi
dalam olah raga dan mengejar sesuatu yang menuntut tindakan fisik yang energik
(misalnya berenang, menyelam, menari, atletik) dapat menunjang pembelajaran.
Tak kalah dengan olah raga, musik juga
sangat mendukung rangsangan otak untuk belajar. Eric Jensen lebih lanjut
mengatakan (2008:385) “kita mungkin kurang memanfaatkan musik dalam konteks
pembelajaran. Kita terlalu mengandalkan suara kita sendiri dalam menyampaikan
makna, namun musik adalah pembawa informasi yang sangat baik ke dalam otak”.
Dalam prakteknya musik bukan dibunyikan selama pembelajaran atau belajar sambil
mendengar musik, tidak, ia digunakan di saat yang diperlukan. Pembelajaran
puisi misalnya, lagu-lagu Ebiet G Ade bisa digunakan sebagai wahana
pembelajaran yang cukup menarik minat sekaligus mengapresiasi isi syairnya.
Anak dibawa dalam suasana menyenangkan, rileks, nyaman, dan tujuan pembelajaran
tercapai.
4.
Mencerdaskan emosi, pengajaran sastra hendaknya
mendewasakan, menghaluskan budi, menajamkan nurani, peduli pada sesama akan
tetapi lebih dari itu kecerdasan emosional (EQ) seperti yang dikatakan Daniel
Golemann (dalam Anthony, 2003:37) “bahwa hanya 20% pengaruh IQ (kecerdasan
intelektual) pada kesuksesan seseorang, sementara 80% sisanya ditentukan oleh
faktor EQ (kecerdasan emosi). Sastra
mengajarkan pada anak untuk (1) obyektif dalam berpikir/berpikir jernih,
(2) menjaga kesehatan emosi, dan (3) memilih tindakan yang pantas untuk setiap
situasi. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam membaca dan mengapresiasi
karya sastra arahnya jelas bukan sekedar hiburan tetapi lebih dari itu. Seperti
yang didefinisikan Golemann (2003:512) Emotional Intelegence merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Jadi yang dimaksud lebih dari itu
dalam pembelajaran sastra tersebut diatas adalah karya sastra yang diajarkan
mampu mengolah rasa dalam membentuk kepribadian sukses. Anthony DM (2003 :22)
lima besar karakteristik kepribadian (big five personality characteristic)
penentu kesuksesan sebagai berikut :
1.
Kemampuan
beradaptasi dengan berbagai hirarki sosial (termasuk kesadaran hukum).
2.
Keinginan bekerja
sama.
3.
Kapasitas untuk
dipercaya dan bertahan pada komitmen.
4.
Kemampuan untuk
bertahan menghadapi stres dan berbagai tekanan.
5.
Keterbukaan diri
menghadapi masalah dan berpikir inovatif, serta kecerdikan menghadapi masalah.
5.
Kreativitas,
Sudarma (2013:18) “kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan
sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu obyek dalam suatu bentuk
atau susunan yang baru”. Pembelajaran sastra juga harus menumbuhkan kecerdasan
kreatif, anak diajarkan berani berbuat sesuatu tanpa takut dinilai buruk atau
salah. (1) kreativitas atas dasar kombinasi, yaitu anak diajak untuk
mengkombinasikan bahan pelajaran yang ada dengan mengubahnya sedikit sesuai
kebutuhan dan keinginannya. (2) eksplorasi kemampuan anak, anak diajak untuk
menciptakan puisi, cerpen, novel dll. (3) tranformasional, anak diajarkan
mengubah gagasan-gagasan dalam karya sastra dalam bentuk tindakan praktis,
nyata, tentu yang bersifat positif. Contoh : anak membaca karya sastra
“Berkeliling di Bawah Laut” karya Yules Verne, disana ada gagasan memasak
makanan-makanan yang hanya ada di bawah laut baik sayur-sayuran dan lauk pauk
serta membuat roti dengan bahan dasar dari sumber yang sama. Gagasan nyleneh
ini jikalau anak mempraktekannya maka anak tersebut kreatif. Namun demikian
perlu ada pancingan dan rangsangan ke arah sana, pembelajaran sastra salah satu
wahananya.
Kaitannya dengan budaya lokal maka kurikulum 2013 lebih menekankan pada
pendekatan alamiah. Pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa pada kurikulum
K13, memandang bahasa dari sisi teks dan konteks sesuai fakta nyata pemakaian
bahasa yang dihadapi anak sehari-hari. Sebagai contoh : menyajikan KD
(kompetensi dasar) cerita rakyat/dongeng dengan metode CLIL (content language
integrated learning), maka langkah-langkah pembelajarannya adalah materi yang
dipelajari dicari dongeng yang ada di dan berkembang di tengah warga sekolah
(budaya lokal) dan anak menulis kembali cerita rakyat yang sudah didapat. Ada
dua kelebihan langkah pertama ini (1) mempertajam memori, karena anak akan
mengingat-ingat kembali dongeng yang pernah mereka dengar atau ketahui dari lingkungannya
(2) sesuai konteks (budaya) masyarakat dimana anak tumbuh. Langkah kedua, masuk
KI 3 (kompetensi inti pengetahuan) yakni pengetahuan tentang analisis
struktural unsur-unsur yang membangun sebuah dongeng (unsur intrinsik seperti
tema, amanat, tokoh, latar ) disini guru tidak ceramah, tapi sharing dengan
anak dengan teknik probying (memancing dengan pertanyaan-pertanyaan terarah)
pertanyaan membimbing siswa untuk menemukan unsur intrinsik yang menjadi tujuan
pembelajaran. Langkah ketiga, anak disodori teks dongeng setempat yang lain
diluar pengetahuan anak (skemata + 1), anak mulai melakukan langkah-langkah
discovery based learning, yaitu menemukan sendiri unsur intrinsik dalam dongeng
yang dipelajari. Langkah ketiga, mengekplor imajinasi dan kecerdasan emosi anak
dengan pertanyaan-pertanyaan divergen dari unsur intrinsik yang sudah ditemukan
anak dalam dongeng sebagai berikut :
a. Dalam
dongeng tersebut mana tokoh yang kamu senangi, mengapa, sebutkan alasannya!
b. Mengapa
kamu memilih rumusan tema dan amanat seperti yang kamu tulis, apa dasar
pemikirannya?
c. Setujukah
anda dengan latar cerita, kalau setuju atau tidak, jelaskan alasannya!
Kelebihan langkah ketiga ini (1) pelajaran jadi menyenangkan, (2)
mengembangkan imajinasi dan mencerdaskan emosi, anak cerdas emosi ditandai
dengan memilih tokoh dengan alasan logis, penalaran ilmiah. Langkah terakhir,
pemberian tugas KI 4 (ketrampilan) pemberian tugas terstruktur dan dimasukkan dalam portofolio siswa.
Pengajaran sastra berbasis budaya lokal memiliki keunggulan sebagai
berikut :
1. Internalisasi
nilai budaya lebih mudah karena nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat sesuai
dengan alam lingkungan dan alam bawah sadar anak.
2. Nilai
budaya sendiri lebih cocok dibanding dengan budaya luar/asing yang belum tentu lebih
baik.
3. Anak
akan merasa bangga dengan khazanah budaya sendiri yang ternyata tidak kalah
dibanding budaya asing.
4. Pelestarian
budaya daerah, salah satunya melalui pengajaran formal maupun non formal secara
intensif.
Pengajaran berbasis otak dan budaya lokal hendaknya menjadi
perhatian serius para guru Bahasa Indonesia dalam rangka menuju Indonesia emas
tahun 2045 yang akan datang. Generasi emas yang dicanangkan akan sia-sia
apabila setiap komponen tidak turut andil memberi sumbang sihnya. Peran guru bahasa
menjadi penting karena dengan pengajaran yang benar dan kreatif akan ikut
menyumbang membentuk karakter anak di kemudian hari yaitu karakter yang selaras
dengan budaya kita sendiri. Ingat hasil penelitian Munandar (2002:155) ia mengatakan “guru mempunyai
dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak tetapi juga sikap
anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Guru dapat melumpuhkan
kemelitan (rasa ingin tahu) alamiah, merusak motivasi, harga diri dan
kreativitas anak”. Sebaliknya guru dapat menggali rasa ingin tahu anak,
menumbuhkan motivasi, harga diri dan kreativitas.
Daftar Pustaka
Goleman Daniel. 2003. Kecerdasan Emosi
untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jensen, Eric.2008. Brain-Based Learning. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional
Qualitify Management, Refleksi, Revisi dan revitalisasi hidup Melalui Kekuatan
Emosi. Jakarta : Penerbit Arga.
Madigan, Sthepen A. 2007. Memory The key
to Consciousness, Mengungkap Rahasia Otak dalam Menerima dan Menyimpan Memori. Jakarta
: Trans Media.
Munandar, SC Utami.2002. Kreativitas dan
Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar