Minggu, 07 Juni 2015



Artikel
Pengajaran Sastra Berbasis Otak dan Budaya Lokal

Pengajaran sastra dengan pengguliran kurikulum 2013 bukan semakin eksis justru sebaliknya semakin terpinggirkan. Materi sastra  diajarkan oleh guru cenderung yang kompetensi dasarnya (KD) tercantum dalam silabus. Jika mengacu pada silabus, pengajaran sastra dalam satu semester hanya beberapa kali dipelajari. Kondisi ini tentu bukan yang dimaksud dari ruh  kurikulum baru dalam pembentukan karakter siswa. Ada pemahaman yang perlu diluruskan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra pada kurikulum K13 harus dipahami sesuai dengan ruh kurikulum yaitu merujuk pada teks. Artinya, anak belajar sastra di setiap bahasan yang bersifat mengungkapkan gagasan berupa teks yang dihadapi anak sehari-hari yaitu (1) teks berita (melalui koran, televisi, internet dll), (2) teks sastra (rubrik sastra dalam koran/majalah, buku sastra, pentas seni (baca puisi, drama), sinetron dll), dan (3) bahasa sehari-hari (ceramah, pidato, laporan ilmiah, artikel dll).
Setakat itu,  sebagai contoh disini dikemukakan bahasan ekplanasi dengan metode pembelajaran sastra berbasis otak, produk yang dihasilkan harus berbentuk tiga teks yaitu sastra itu sendiri sebagai stresing pelajaran, diikuti bentuk teks berita dan teks eksplanasi sehari-hari. Inovasi yang harus dilakukakan adalah (1) pendekatannya/metodenya, (2) evaluasinya dari bersifat konvergen ke divergen, dan (3) langkah-langkah pembelajarannya. Dalam pembelajaran bahasan eksplanasi pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran sastra berbasis otak. Otak manusia agar cerdas dan kreatif perlu rangsangan dan latihan secara terus menerus. Salah satu perangsang kecerdasan otak yang cukup efektif dan sudah terbukti secara ilmiah adalah membaca karya sastra. Membaca karya sastra dapat merangsang empat titik jaringan yang ada di otak kanan maupun kiri, bandingkan dengan menonton film yang diambil dari karya sastra yang sama, hanya merangsang satu titik. Kalau hal ini (membaca karya sastra) terus dibiasakan dan menjadi kebutuhan maka jaringan otak akan membuat sambungan-sambungan satu dengan yang lain semakin banyak dan kuat. Kondisi olah raga otak seperti ini sama dengan kita melatih fisik dengan olah raga tertentu. Otak semakin kuat dan terampil dalam berfikir sama halnya dengan fisik yang terlatih semakin kuat, sehat, dan terampil. Oleh karena itu, setiap anak berkewajiban untuk membaca karya sastra yang akan dibahas secara individual. Selain itu, di akhir pembelajaran selalu diikuti dengan tugas membaca karya sastra baik cerpen, novel dll. sebulan sekali dan hasilnya masuk portofolio anak.
                Terkait dengan masalah evaluasi dalam pembelajaran sastra hendaknya jangan hanya yang bersifat konvergen (pengetahuan dalam teks) akan tetapi harus merangsang kecerdasan otak dan imajinasi yaitu pertanyaan bersifat divergen (diluar teks tapi masih berkait dengan teks).    Sebaiknya siswa diberi pertanyaan mengapa anda memilih tokoh tertentu, apa alasannya? Apakah anda setuju dengan latar cerita, kalau setuju apa alasannya dan kalau tidak buatlah latar yang cocok menurut anda? (pertanyaan divergen). Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, harus mencakup prinsip-prinsip pengajaran sastra berbasis otak dengan obyek/ materi budaya lokal.
                Berkenaan dengan pembelajaran sastra berbasis otak ada beberapa prinsip yang harus ada dalam proses belajar mengajar yaitu :
1.       Mempertajam memori, menurut Madigan (2007:275-276) “bahwa memori-memori dapat disimpan dalam molekul protein”. Maksudnya, pengalaman-pengalaman belajar melalui latihan akan tersimpan dalam otak dan berhasil dikeluarkan dalam tindakan di saat dibutuhkan. Baik itu memori hafalan, memori fotografi, memori umum ketiganya diperoleh melalui pembiasaan/kebiasaan. Sebagai contoh memori hafalan, seseorang ada yang mampu menghafal teks kitab suci tebal-tebal karena membiasakan diri secara disiplin melakukannya dan mampu mengungkapkannya saat diperlukan waktu sembahyang atau kepentingan lain. Dalam pembelajaran sastra, anak harus dibiasakan untuk mengingat memori yang sudah ada pada dirinya sebagai apersepsi (misal tema dongeng) banyak cara untuk mengungkap memori anak sebelum pembelajaran dimulai.
a.       Siapa orang tuanya yang sering mendongeng di rumah?
b.      Dongeng apa yang masih kamu ingat secara utuh?
c.       Siapa yang sudah tahu dongeng berjudul “...” dipersilahkan untuk bercerita di depan?
d.      Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain bersifat memancing memori.
2.       Mengembangkan imajinasi, anak dibiasakan berpikir bebas tanpa takut salah. Dalam pembelajaran sastra tidak ada benar salah yang ada logis dan inovatif. Disinilah fungsi pertanyaan-pertanyaan divergen seperti tersebut di atas diperlukan. Kita hanya sebagai fasilitator, mengarahkan anak agar kebebasan itu dibingkai dengan nilai dan norma masyarakat lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan divergen yang berperan mengembangkan imajinasi sebagai berikut :
a.       Siapa tokoh dalam dongeng tersebut yang paling kamu sukai, mengapa demikian?
b.      Selain tokoh, unsur intrinsik/ekstrinsik lainnya bisa dieksplor dengan pertanyaan seperti nomor satu.
c.       Bisakah anda membuat dongeng dengan kreasi-kreasi baru, baik menggunakan gambar, atau alat/alam lingkungan yang ada di sekitarmu!
d.      Dan lain-lain pertanyaan imajinatif.
3.       Diselingi atau divariasi dengan olah raga/musik, Semboyan dalam tubuh yang kuat tumbuh jiwa yang sehat masih sangat relevan dalam pembelajaran berbasis otak. Rileksasi yang paling tepat dalam proses belajar mengajar di setiap 1x45 menit anak-anak berolahraga sejenak berkisar 5 menit untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Eric Jensen (2008:252-253) mengemukakan sebagai berikut :
Bahwa salah satu bentuk olah raga yang paling sederhana, tetapi mungkin paling penting bagi pembelajaran yang optimal adalah sesuatu yang terasa mulai menghilang dari kehidupan anak-anak sekarang ini—permainan dan gerakan yang menstimulasi sistem vestibuler.  Semua bayi, anak-anak dan remaja dapat menerima manfaat dari permainan yang menggerakkan anggota tubuh yang menuntun mereka untuk berputar dan berbalik. Pada kelas yang lebih tinggi, partisipasi dalam olah raga dan mengejar sesuatu yang menuntut tindakan fisik yang energik (misalnya berenang, menyelam, menari, atletik) dapat menunjang pembelajaran.
Tak kalah dengan olah raga, musik juga sangat mendukung rangsangan otak untuk belajar. Eric Jensen lebih lanjut mengatakan (2008:385) “kita mungkin kurang memanfaatkan musik dalam konteks pembelajaran. Kita terlalu mengandalkan suara kita sendiri dalam menyampaikan makna, namun musik adalah pembawa informasi yang sangat baik ke dalam otak”. Dalam prakteknya musik bukan dibunyikan selama pembelajaran atau belajar sambil mendengar musik, tidak, ia digunakan di saat yang diperlukan. Pembelajaran puisi misalnya, lagu-lagu Ebiet G Ade bisa digunakan sebagai wahana pembelajaran yang cukup menarik minat sekaligus mengapresiasi isi syairnya. Anak dibawa dalam suasana menyenangkan, rileks, nyaman, dan tujuan pembelajaran tercapai.
4.       Mencerdaskan emosi, pengajaran sastra hendaknya mendewasakan, menghaluskan budi, menajamkan nurani, peduli pada sesama akan tetapi lebih dari itu kecerdasan emosional (EQ) seperti yang dikatakan Daniel Golemann (dalam Anthony, 2003:37) “bahwa hanya 20% pengaruh IQ (kecerdasan intelektual) pada kesuksesan seseorang, sementara 80% sisanya ditentukan oleh faktor EQ (kecerdasan emosi). Sastra  mengajarkan pada anak untuk (1) obyektif dalam berpikir/berpikir jernih, (2) menjaga kesehatan emosi, dan (3) memilih tindakan yang pantas untuk setiap situasi. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam membaca dan mengapresiasi karya sastra arahnya jelas bukan sekedar hiburan tetapi lebih dari itu. Seperti yang didefinisikan Golemann (2003:512) Emotional Intelegence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Jadi yang dimaksud lebih dari itu dalam pembelajaran sastra tersebut diatas adalah karya sastra yang diajarkan mampu mengolah rasa dalam membentuk kepribadian sukses. Anthony DM (2003 :22) lima besar karakteristik kepribadian (big five personality characteristic) penentu kesuksesan sebagai berikut :

1.       Kemampuan beradaptasi dengan berbagai hirarki sosial (termasuk kesadaran hukum).
2.       Keinginan bekerja sama.
3.       Kapasitas untuk dipercaya dan bertahan pada komitmen.
4.       Kemampuan untuk bertahan menghadapi stres dan berbagai tekanan.
5.       Keterbukaan diri menghadapi masalah dan berpikir inovatif, serta kecerdikan menghadapi masalah.
5.       Kreativitas,  Sudarma (2013:18) “kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu obyek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru”. Pembelajaran sastra juga harus menumbuhkan kecerdasan kreatif, anak diajarkan berani berbuat sesuatu tanpa takut dinilai buruk atau salah. (1) kreativitas atas dasar kombinasi, yaitu anak diajak untuk mengkombinasikan bahan pelajaran yang ada dengan mengubahnya sedikit sesuai kebutuhan dan keinginannya. (2) eksplorasi kemampuan anak, anak diajak untuk menciptakan puisi, cerpen, novel dll. (3) tranformasional, anak diajarkan mengubah gagasan-gagasan dalam karya sastra dalam bentuk tindakan praktis, nyata, tentu yang bersifat positif. Contoh : anak membaca karya sastra “Berkeliling di Bawah Laut” karya Yules Verne, disana ada gagasan memasak makanan-makanan yang hanya ada di bawah laut baik sayur-sayuran dan lauk pauk serta membuat roti dengan bahan dasar dari sumber yang sama. Gagasan nyleneh ini jikalau anak mempraktekannya maka anak tersebut kreatif. Namun demikian perlu ada pancingan dan rangsangan ke arah sana, pembelajaran sastra salah satu wahananya.

Kaitannya dengan budaya lokal maka kurikulum 2013 lebih menekankan pada pendekatan alamiah. Pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa pada kurikulum K13, memandang bahasa dari sisi teks dan konteks sesuai fakta nyata pemakaian bahasa yang dihadapi anak sehari-hari. Sebagai contoh : menyajikan KD (kompetensi dasar) cerita rakyat/dongeng dengan metode CLIL (content language integrated learning), maka langkah-langkah pembelajarannya adalah materi yang dipelajari dicari dongeng yang ada di dan berkembang di tengah warga sekolah (budaya lokal) dan anak menulis kembali cerita rakyat yang sudah didapat. Ada dua kelebihan langkah pertama ini (1) mempertajam memori, karena anak akan mengingat-ingat kembali dongeng yang pernah mereka dengar atau ketahui dari lingkungannya (2) sesuai konteks (budaya) masyarakat dimana anak tumbuh. Langkah kedua, masuk KI 3 (kompetensi inti pengetahuan) yakni pengetahuan tentang analisis struktural unsur-unsur yang membangun sebuah dongeng (unsur intrinsik seperti tema, amanat, tokoh, latar ) disini guru tidak ceramah, tapi sharing dengan anak dengan teknik probying (memancing dengan pertanyaan-pertanyaan terarah) pertanyaan membimbing siswa untuk menemukan unsur intrinsik yang menjadi tujuan pembelajaran. Langkah ketiga, anak disodori teks dongeng setempat yang lain diluar pengetahuan anak (skemata + 1), anak mulai melakukan langkah-langkah discovery based learning, yaitu menemukan sendiri unsur intrinsik dalam dongeng yang dipelajari. Langkah ketiga, mengekplor imajinasi dan kecerdasan emosi anak dengan pertanyaan-pertanyaan divergen dari unsur intrinsik yang sudah ditemukan anak dalam dongeng sebagai berikut :
a.       Dalam dongeng tersebut mana tokoh yang kamu senangi, mengapa, sebutkan alasannya!
b.      Mengapa kamu memilih rumusan tema dan amanat seperti yang kamu tulis, apa dasar pemikirannya?
c.       Setujukah anda dengan latar cerita, kalau setuju atau tidak, jelaskan alasannya!
Kelebihan langkah ketiga ini (1) pelajaran jadi menyenangkan, (2) mengembangkan imajinasi dan mencerdaskan emosi, anak cerdas emosi ditandai dengan memilih tokoh dengan alasan logis, penalaran ilmiah. Langkah terakhir, pemberian tugas KI 4 (ketrampilan) pemberian tugas terstruktur  dan dimasukkan dalam portofolio siswa.
Pengajaran sastra berbasis budaya lokal memiliki keunggulan sebagai berikut :
1.      Internalisasi nilai budaya lebih mudah karena nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat sesuai dengan alam lingkungan dan alam bawah sadar anak.
2.      Nilai budaya sendiri lebih cocok dibanding dengan budaya luar/asing yang belum tentu lebih baik.
3.      Anak akan merasa bangga dengan khazanah budaya sendiri yang ternyata tidak kalah dibanding budaya asing.
4.      Pelestarian budaya daerah, salah satunya melalui pengajaran formal maupun non formal secara intensif.
Pengajaran berbasis otak dan budaya lokal hendaknya menjadi perhatian serius para guru Bahasa Indonesia dalam rangka menuju Indonesia emas tahun 2045 yang akan datang. Generasi emas yang dicanangkan akan sia-sia apabila setiap komponen tidak turut andil memberi sumbang sihnya. Peran guru bahasa menjadi penting karena dengan pengajaran yang benar dan kreatif akan ikut menyumbang membentuk karakter anak di kemudian hari yaitu karakter yang selaras dengan budaya kita sendiri. Ingat hasil penelitian Munandar  (2002:155) ia mengatakan “guru mempunyai dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak tetapi juga sikap anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Guru dapat melumpuhkan kemelitan (rasa ingin tahu) alamiah, merusak motivasi, harga diri dan kreativitas anak”. Sebaliknya guru dapat menggali rasa ingin tahu anak, menumbuhkan motivasi, harga diri dan kreativitas.






Daftar Pustaka
Goleman Daniel. 2003. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jensen, Eric.2008. Brain-Based Learning. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Qualitify Management, Refleksi, Revisi dan revitalisasi hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta : Penerbit Arga.
Madigan, Sthepen A. 2007. Memory The key to Consciousness, Mengungkap Rahasia Otak dalam Menerima dan Menyimpan Memori. Jakarta : Trans Media.
Munandar, SC Utami.2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar