Kamis, 18 Juni 2015



Peran Guru Dalam Era Globalisasi Abad 21 Menyongsong Generasi Emas 2045

A.Pendahuluan
                     Peranan guru dalam bidang pendidikan dalam era globalisasi sekarang ini semakin menuntut peningkatan profesionalisme. Sosok guru sebagai sosok sentral dalam proses belajar mengajar peranannya tak tergantikan dengan komponen lainnya. Hal ini ditegaskan oleh SB Jamarah (2005:31) sebagai berikut :
Guru adalah manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Peranan guru sebagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing/pengganti orang tua, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator jelas sangat menentukan peningkatan pembelajaran di sekolah.
Peranan sebagai inspirator, guru membangkitkan inspirasi anak didik untuk menjadi pribadi yang mandiri, menyadari bahwa proses pembelajaran berlangsung seumur hidup dan berakhlak mulia. Peranan sebagai informator, guru mampu mentranfer ilmu pengetahuan bukan hanya bidang pengetahuan saja akan tetapi juga ketrampilannya sehingga anak bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan tentang tata surya dan matahari sebagai pusat edar tapi juga terampil memanfaatkan sumber energi matahari. Sebagai organisator guru melatih anak didiknya untuk berorganisasi, bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
                        Guru sebagai pengganti orang tua sekaligus pembimbing tumbuhnya budi pekerti, sopan santun, penuh etika. Ki Hajar Dewantoro (dalam BNSP, 2010 : 5) mendefinisikan pendidikan selaras dengan tugas guru sebagai orang tua, demontrator dan korektor sebagai berikut : “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti ( kekuatan batin karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan dunianya”. Peranan ini dipertegas dengan diberlakukannya kurikulum 2013 yang menekankan pada karakter (sikap spritual dan sosial), pengetahuan dan ketrampilan.
                        Masih menurut Ki Hajar Dewantoro, peran guru tersebut diatas dirumuskan dalam sebuah kata mutiara yang sangat terkenal yaitu, “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo bangun karso, Tut wuri handayani”. Guru di depan harus bisa memberi teladan (digugu lan ditiru), di tengah bisa membangkitkan semangat (motivator) dan di belakang sebagai pendorong agar anak didik bisa maju (fungsi evaluator dan supervisor).  Jadi peran guru sangat strategis dalam menghadapi era globalisasi ini.
                        Pada kenyataannya masih banyak guru yang tidak menyadari peranannya yang sangat vital tersebut. Di lapangan masih banyak ditemui guru yang mengajar asal-asalan, tingkat kreativitasnya rendah, jarang membaca apalagi menulis, lebih parah lagi cara mengajarnya tidak pernah berubah sejak pertama mengajar sampai sekarang. Seperti iklan minuman,”apapun makanannya teh botol minumannya” maksudnya kurikulum boleh berubah seribu kali ngajarnya tetap seperti itu. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dikaji bagaimana peran guru yang sebenarnya dalam menghadapi tantangan era globalisasi abad 21 ?

B.Pembahasan          
            Untuk memahami lebih jauh peran guru dalam menghadapi era globalisasi perlu kita ketahui tantangan apa saja yang harus dihadapi oleh seorang guru. Karakteristik tantangan disarikan dalam BNSP (2010 : 21) sebagai berikut :
1.       Perhatian yang semakin besar terhadap masalah lingkungan hidup berikut implikasinya, terutama terhadap pemanasan global energi, pangan, kesehatan, lingkungan binaan, mitigasi.
2.       Dunia kehidupan akan semakin dihubungkan oleh teknologi informasi, berikut implikasinya, terutama terhadap ketahanan dan sistem pertahanan, pendidikan, industri dan komunikasi.
3.       Ilmu pengetahuan akan semakin corveging, berikut implikasinya, terutama terhadap penelitian, filsafat ilmu, paradigma pendidikan, kurikulum.
4.        Kebangkitan pusat ekonomi di belahan Asia Timur dan Tenggara, berikut implikasinya terrhadap politik dan strategi ekonomi, industri pertahanan.
5.       Perubahan dari ekonomi berbasis sumber daya alam serta manusia kearah ekonomi berbasis pengetahuan, berikut implikasinya terhadap kualitas sumber daya insani, pendidikan, lapangan kerja.
6.       Perhatian yang semakin besar pada industri kreatif dan industri budaya, berikut implikasinya, terutama terhadap kekayaan  dan keaneka ragam budaya, pendidikan kreatif, enterprenursip, technoprenursip, rumah produksi.
7.       Budaya akan saling imbas mengimbas dengan teknosains berikut implikasinya, terutama terhadap karakter, kepribadian, etiket, etika, hukum, kriminologi dan media.
8.      Perubahan paradigma universitas, dari menara gading ke mesin penggerak ekonomi. Terdapat kecenderungan semakin meningkatnya investasi yang ditanamkan dari sektor publik ke perguruan tinggi untuk riset ilmu dasar dan terapan serta inovasi teknologi/desain yang memberikan dampak pada pengembangan industri dan pembangunan ekonomi dalam arti luas.
Tantangan diatas adalah suatu yang harus diterjemahkan oleh guru dalam mendidik anak muridnya, tentu guru harus merubah “pola berpikir” secara radikal kalau tidak ingin hanya jadi penonton dan terpinggirkan. Demikian beratnya tantangan itu memacu dan memicu guru untuk membenahi diri menghadapinya. Dalam istilah populernya adalah menjadi guru profesional,  kreatif, produktif dan mencintai tugasnya.
                        Guru menurut SB Djamarah (2005 : 32) adalah orang yang berwenang dan bertanggung jawab dan membina anak didik baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah. Selaras dengan pendapat itu, M Uzer Usman (2002 : 6) guru mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas. Sardiman (1992 : 123) mengemukakan bahwa guru bukan hanya semata-mata sebagai “pengajar” yang tranfer knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang tranfer values dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah seorang pengajar, pendidik, pembimbing yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah.
                        Setakat itu profesional dalam kamus bahasa Indonesia (WJS Purwadarminta) profesional artinya kompetensi (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Mc Leod (dalam M.U Usman, 2002 : 14) mendefinisikan kompetensi adalah merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
            Profesional berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian, maksudnya orang yang menjadikan keahliannya sebagai mata pencaharian hidupnya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain. Jadi pekerjaan  profesional menuntut persyaratan seperti yang dikemukakan oleh Moh.Ali (dalam M.U Usman, 2002 : 15) sebagai berikut :
1.      Menuntut adanya ketrampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2.      Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3.      Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai.
4.      Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
5.      Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
6.      Memiliki kode etik, sebagai acuan melaksanakan tugas dan fungsinya.
7.      Memiliki klien obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya.
8.      Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Sementara itu Wolmer dan Mills (dalam Sardiman, 1992 : 131-132) mengemukakan ukuran-ukuran bahwa pekerjaan itu dikatakan sebagai profesional, antara lain :
1.      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, yakni pengetahuan umum dan keahlian khusus yang mendalam.
2.      Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, adanya keterikatan dengan organisasi profesional, memiliki otonomi jabatan, memiliki kode etik jabatan dan merupakan karya bakti seumur hidup.
3.      Diakui oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional, memperoleh dukungan masyarakat, mendapat pengesahan dan perlindungan hukum, memiliki persyaratan kerja yang sehat dan memiliki jaminan hidup yang layak.
                        MU Usman (2002 : 15) mendefinisikan guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Secara garis besar Sardiman (1992 : 133-134) ada tiga tingkatan kualifikasi guru profesional sebagai tenaga profesional pendidikan yaitu :
1.      Guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif.
2.      Tenaga pendidikan yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi sebagai penyebar ide pembaharuan secara efektif.
3.      Guru harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya, dalam arti mampu dan mau melihat jauh ke depan dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas guru profesional adalah tenaga pendidikan dengan keahlian khusus yang mendalam di bidang keguruan yang mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif, komitmen terhadap perubahan dan mau menjawab tantangan yang dihadapi dunia pendidikan.
                        Guru profesional inilah yang diharapkan mampu mencetak sumber daya manusia berkualitas. Berdasarkan “21” Century partnership learning framework (dalam BNSP, 2010 : 44-45) beberapa kompetensi/keahlian yang harus dimiliki SDM abad XXI, yaitu:
9.       Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical-thinking and problem solving skills) mampu berpikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah.
10.    Kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama (communication and collaboration skills) mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak.
11.    Kemampuan mencipta dan membaharui (cretivity and innovation skills) mampu mengembangkan kreativitas yang dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif.
12.    Literasi teknologi informasi dan komunikasi (information and communications technology literacy) mampu memanfaakan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitas sehari-hari.
13.    Kemampuan belajar kontekstual (contextual learning skills) mampu menjalani aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan pribadi.
14.  Kemampuan informasi dan literasi media (information and media literacy skills) mampu memahami dan menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan dan melaksanakan aktivitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak.   

Disinilah peran guru sebagai fasilitator karena siswa tidak lagi hanya mendapatkan ilmu pengetahuan di dalam kelas saja tapi bisa dimana saja. Siswa sekarang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi hampir di setiap kesempatan. Pembelajaran bisa dilakukan melalui berbagai media , dunia seisinya menjadi tempat manusia belajar. Siswa pada abad 21 ini menjadi manusia unik dan memiliki talenta sendiri-sendiri. Oleh karena itu, guru dalam mentransfer pengetahuan tidak lagi bersifat informatif akan tetapi melalui metode belajar yang memperhatikan keberagaman, metode tersebut antara lain:  Problem based learning, discovered based learning dan project based learning dll.
            Guru dalam era globalisasi dituntut untuk mampu mengembangkan diri sebagai desain strategi dalam mengatasi segala tantangan. Pengembangan diri pada sikap dan karakter yang harus melekat pada dirinya yaitu :
1.      Sebagai adaptor (menyesuaikan diri dengan perkembangan) khususnya teknologi yang ada.
2.      Mencintai pekerjaan yang ada.
3.      Berpikir ke depan
4.      Harus memahami/mengerti cara/gaya mengajar yang berbeda
5.      Mempunyai visi
6.      Punya imajinasi di masa datang
7.      Kolaborator (mampu bekerja sama dalam berbagai bidang)
8.      Berani mengambil resiko
9.      Belajar seumur hidup
Kecerdasan emosi guru terus harus dikembangkan, ada pepatah mengatakan kita tidak akan pernah mengalahkan musuh di medan perang dengan kekuatan fisik, tetapi akan menang dengan kekuatan mental. Kompetensi guru menjadi suatu keharusan, dan kemampuan ini hanya bisa dicapai melalui “belajar mandiri” dengan semboyan “Long life education” atau seperti yang dikatakan Nabi Muhammad, “Belajar mulai dari buaian hingga ke liang kubur”.

C.Kesimpulan
            Peran guru di abad XXI akan bisa dilakukan kalau guru-guru memahami apa saja tantangan yang harus dihadapi. Strategi mengatasi tantangan itu tidak lain dari dalam diri pribadi guru itu sendiri yang punya keinginan berubah. Guru yang tidak mau berubah ia akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Ingat kata Reinald Kasali, ”Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri”. Artinya perubahan itu suatu kepastian, hukum alam yang tidak bisa dihindari kecuali kita beradaptasi dengannya. Siapa saja yang menentang hukum alam di dunia ini ia akan dikalahkannya.
                        Direkomendasikan selain pedoman perubahan tersebut diatas guru-guru yang mendapatkan sertifikasi untuk melanjutkan sekolah lagi agar mendapatkan pencerahan. Dengan lingkungan belajar, kita akan kembali memulai membuka wawasan, banyak membaca dan menulis. Secara otomatis kita dituntut menguasai teknologi karena akan mempresentasikan tulisan yang kita buat, berpikir kritis, kerja kelompok dll. Bagi guru yang mengabdi di pelosok-pelosok bekerjalah dengan apa yang ada, dengan apa saja dimanapun anda berada. Kreativitas tidak pernah bisa dibunuh oleh cara apapun ingat kisah seorang Ibnu Taimiyah,”kala aku diasingkan tanpa bekal apapun aku bisa merenung/berpikir dan berkalwat kepada Tuhanku dengan khusyuk, saat aku dipenjara aku bisa menulis buku berlembar-lembar tanpa ada yang mengganggu, saat aku di tempat ramai banyak yang bisa kupelajari dari mereka”. Guru kreatif lebih bisa berperan besar mencetak generasi emas 2045 dibanding guru pintar tapi tidak kreatif.

Daftar Pustaka
AM, Sadirman. 1992. Interaksi dan Motivasi Belajar mengajar. Jakarta : Rajawali Press.
BNSP Vol.1. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Jakarta : Depdikbud
Djamarah, SB. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan teoritis Psikologis. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Emzir. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan : Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta : PT Grafindo Persada.
Richards,Jack dan Thomas S.C Farerel. Profesional Development for Language Teacheres. New York : Camridge University Press.
Usman, Muh.Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Tirtaraharja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Minggu, 07 Juni 2015



Artikel
Pengajaran Sastra Berbasis Otak dan Budaya Lokal

Pengajaran sastra dengan pengguliran kurikulum 2013 bukan semakin eksis justru sebaliknya semakin terpinggirkan. Materi sastra  diajarkan oleh guru cenderung yang kompetensi dasarnya (KD) tercantum dalam silabus. Jika mengacu pada silabus, pengajaran sastra dalam satu semester hanya beberapa kali dipelajari. Kondisi ini tentu bukan yang dimaksud dari ruh  kurikulum baru dalam pembentukan karakter siswa. Ada pemahaman yang perlu diluruskan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra pada kurikulum K13 harus dipahami sesuai dengan ruh kurikulum yaitu merujuk pada teks. Artinya, anak belajar sastra di setiap bahasan yang bersifat mengungkapkan gagasan berupa teks yang dihadapi anak sehari-hari yaitu (1) teks berita (melalui koran, televisi, internet dll), (2) teks sastra (rubrik sastra dalam koran/majalah, buku sastra, pentas seni (baca puisi, drama), sinetron dll), dan (3) bahasa sehari-hari (ceramah, pidato, laporan ilmiah, artikel dll).
Setakat itu,  sebagai contoh disini dikemukakan bahasan ekplanasi dengan metode pembelajaran sastra berbasis otak, produk yang dihasilkan harus berbentuk tiga teks yaitu sastra itu sendiri sebagai stresing pelajaran, diikuti bentuk teks berita dan teks eksplanasi sehari-hari. Inovasi yang harus dilakukakan adalah (1) pendekatannya/metodenya, (2) evaluasinya dari bersifat konvergen ke divergen, dan (3) langkah-langkah pembelajarannya. Dalam pembelajaran bahasan eksplanasi pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran sastra berbasis otak. Otak manusia agar cerdas dan kreatif perlu rangsangan dan latihan secara terus menerus. Salah satu perangsang kecerdasan otak yang cukup efektif dan sudah terbukti secara ilmiah adalah membaca karya sastra. Membaca karya sastra dapat merangsang empat titik jaringan yang ada di otak kanan maupun kiri, bandingkan dengan menonton film yang diambil dari karya sastra yang sama, hanya merangsang satu titik. Kalau hal ini (membaca karya sastra) terus dibiasakan dan menjadi kebutuhan maka jaringan otak akan membuat sambungan-sambungan satu dengan yang lain semakin banyak dan kuat. Kondisi olah raga otak seperti ini sama dengan kita melatih fisik dengan olah raga tertentu. Otak semakin kuat dan terampil dalam berfikir sama halnya dengan fisik yang terlatih semakin kuat, sehat, dan terampil. Oleh karena itu, setiap anak berkewajiban untuk membaca karya sastra yang akan dibahas secara individual. Selain itu, di akhir pembelajaran selalu diikuti dengan tugas membaca karya sastra baik cerpen, novel dll. sebulan sekali dan hasilnya masuk portofolio anak.
                Terkait dengan masalah evaluasi dalam pembelajaran sastra hendaknya jangan hanya yang bersifat konvergen (pengetahuan dalam teks) akan tetapi harus merangsang kecerdasan otak dan imajinasi yaitu pertanyaan bersifat divergen (diluar teks tapi masih berkait dengan teks).    Sebaiknya siswa diberi pertanyaan mengapa anda memilih tokoh tertentu, apa alasannya? Apakah anda setuju dengan latar cerita, kalau setuju apa alasannya dan kalau tidak buatlah latar yang cocok menurut anda? (pertanyaan divergen). Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, harus mencakup prinsip-prinsip pengajaran sastra berbasis otak dengan obyek/ materi budaya lokal.
                Berkenaan dengan pembelajaran sastra berbasis otak ada beberapa prinsip yang harus ada dalam proses belajar mengajar yaitu :
1.       Mempertajam memori, menurut Madigan (2007:275-276) “bahwa memori-memori dapat disimpan dalam molekul protein”. Maksudnya, pengalaman-pengalaman belajar melalui latihan akan tersimpan dalam otak dan berhasil dikeluarkan dalam tindakan di saat dibutuhkan. Baik itu memori hafalan, memori fotografi, memori umum ketiganya diperoleh melalui pembiasaan/kebiasaan. Sebagai contoh memori hafalan, seseorang ada yang mampu menghafal teks kitab suci tebal-tebal karena membiasakan diri secara disiplin melakukannya dan mampu mengungkapkannya saat diperlukan waktu sembahyang atau kepentingan lain. Dalam pembelajaran sastra, anak harus dibiasakan untuk mengingat memori yang sudah ada pada dirinya sebagai apersepsi (misal tema dongeng) banyak cara untuk mengungkap memori anak sebelum pembelajaran dimulai.
a.       Siapa orang tuanya yang sering mendongeng di rumah?
b.      Dongeng apa yang masih kamu ingat secara utuh?
c.       Siapa yang sudah tahu dongeng berjudul “...” dipersilahkan untuk bercerita di depan?
d.      Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain bersifat memancing memori.
2.       Mengembangkan imajinasi, anak dibiasakan berpikir bebas tanpa takut salah. Dalam pembelajaran sastra tidak ada benar salah yang ada logis dan inovatif. Disinilah fungsi pertanyaan-pertanyaan divergen seperti tersebut di atas diperlukan. Kita hanya sebagai fasilitator, mengarahkan anak agar kebebasan itu dibingkai dengan nilai dan norma masyarakat lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan divergen yang berperan mengembangkan imajinasi sebagai berikut :
a.       Siapa tokoh dalam dongeng tersebut yang paling kamu sukai, mengapa demikian?
b.      Selain tokoh, unsur intrinsik/ekstrinsik lainnya bisa dieksplor dengan pertanyaan seperti nomor satu.
c.       Bisakah anda membuat dongeng dengan kreasi-kreasi baru, baik menggunakan gambar, atau alat/alam lingkungan yang ada di sekitarmu!
d.      Dan lain-lain pertanyaan imajinatif.
3.       Diselingi atau divariasi dengan olah raga/musik, Semboyan dalam tubuh yang kuat tumbuh jiwa yang sehat masih sangat relevan dalam pembelajaran berbasis otak. Rileksasi yang paling tepat dalam proses belajar mengajar di setiap 1x45 menit anak-anak berolahraga sejenak berkisar 5 menit untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Eric Jensen (2008:252-253) mengemukakan sebagai berikut :
Bahwa salah satu bentuk olah raga yang paling sederhana, tetapi mungkin paling penting bagi pembelajaran yang optimal adalah sesuatu yang terasa mulai menghilang dari kehidupan anak-anak sekarang ini—permainan dan gerakan yang menstimulasi sistem vestibuler.  Semua bayi, anak-anak dan remaja dapat menerima manfaat dari permainan yang menggerakkan anggota tubuh yang menuntun mereka untuk berputar dan berbalik. Pada kelas yang lebih tinggi, partisipasi dalam olah raga dan mengejar sesuatu yang menuntut tindakan fisik yang energik (misalnya berenang, menyelam, menari, atletik) dapat menunjang pembelajaran.
Tak kalah dengan olah raga, musik juga sangat mendukung rangsangan otak untuk belajar. Eric Jensen lebih lanjut mengatakan (2008:385) “kita mungkin kurang memanfaatkan musik dalam konteks pembelajaran. Kita terlalu mengandalkan suara kita sendiri dalam menyampaikan makna, namun musik adalah pembawa informasi yang sangat baik ke dalam otak”. Dalam prakteknya musik bukan dibunyikan selama pembelajaran atau belajar sambil mendengar musik, tidak, ia digunakan di saat yang diperlukan. Pembelajaran puisi misalnya, lagu-lagu Ebiet G Ade bisa digunakan sebagai wahana pembelajaran yang cukup menarik minat sekaligus mengapresiasi isi syairnya. Anak dibawa dalam suasana menyenangkan, rileks, nyaman, dan tujuan pembelajaran tercapai.
4.       Mencerdaskan emosi, pengajaran sastra hendaknya mendewasakan, menghaluskan budi, menajamkan nurani, peduli pada sesama akan tetapi lebih dari itu kecerdasan emosional (EQ) seperti yang dikatakan Daniel Golemann (dalam Anthony, 2003:37) “bahwa hanya 20% pengaruh IQ (kecerdasan intelektual) pada kesuksesan seseorang, sementara 80% sisanya ditentukan oleh faktor EQ (kecerdasan emosi). Sastra  mengajarkan pada anak untuk (1) obyektif dalam berpikir/berpikir jernih, (2) menjaga kesehatan emosi, dan (3) memilih tindakan yang pantas untuk setiap situasi. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam membaca dan mengapresiasi karya sastra arahnya jelas bukan sekedar hiburan tetapi lebih dari itu. Seperti yang didefinisikan Golemann (2003:512) Emotional Intelegence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Jadi yang dimaksud lebih dari itu dalam pembelajaran sastra tersebut diatas adalah karya sastra yang diajarkan mampu mengolah rasa dalam membentuk kepribadian sukses. Anthony DM (2003 :22) lima besar karakteristik kepribadian (big five personality characteristic) penentu kesuksesan sebagai berikut :

1.       Kemampuan beradaptasi dengan berbagai hirarki sosial (termasuk kesadaran hukum).
2.       Keinginan bekerja sama.
3.       Kapasitas untuk dipercaya dan bertahan pada komitmen.
4.       Kemampuan untuk bertahan menghadapi stres dan berbagai tekanan.
5.       Keterbukaan diri menghadapi masalah dan berpikir inovatif, serta kecerdikan menghadapi masalah.
5.       Kreativitas,  Sudarma (2013:18) “kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu obyek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru”. Pembelajaran sastra juga harus menumbuhkan kecerdasan kreatif, anak diajarkan berani berbuat sesuatu tanpa takut dinilai buruk atau salah. (1) kreativitas atas dasar kombinasi, yaitu anak diajak untuk mengkombinasikan bahan pelajaran yang ada dengan mengubahnya sedikit sesuai kebutuhan dan keinginannya. (2) eksplorasi kemampuan anak, anak diajak untuk menciptakan puisi, cerpen, novel dll. (3) tranformasional, anak diajarkan mengubah gagasan-gagasan dalam karya sastra dalam bentuk tindakan praktis, nyata, tentu yang bersifat positif. Contoh : anak membaca karya sastra “Berkeliling di Bawah Laut” karya Yules Verne, disana ada gagasan memasak makanan-makanan yang hanya ada di bawah laut baik sayur-sayuran dan lauk pauk serta membuat roti dengan bahan dasar dari sumber yang sama. Gagasan nyleneh ini jikalau anak mempraktekannya maka anak tersebut kreatif. Namun demikian perlu ada pancingan dan rangsangan ke arah sana, pembelajaran sastra salah satu wahananya.

Kaitannya dengan budaya lokal maka kurikulum 2013 lebih menekankan pada pendekatan alamiah. Pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa pada kurikulum K13, memandang bahasa dari sisi teks dan konteks sesuai fakta nyata pemakaian bahasa yang dihadapi anak sehari-hari. Sebagai contoh : menyajikan KD (kompetensi dasar) cerita rakyat/dongeng dengan metode CLIL (content language integrated learning), maka langkah-langkah pembelajarannya adalah materi yang dipelajari dicari dongeng yang ada di dan berkembang di tengah warga sekolah (budaya lokal) dan anak menulis kembali cerita rakyat yang sudah didapat. Ada dua kelebihan langkah pertama ini (1) mempertajam memori, karena anak akan mengingat-ingat kembali dongeng yang pernah mereka dengar atau ketahui dari lingkungannya (2) sesuai konteks (budaya) masyarakat dimana anak tumbuh. Langkah kedua, masuk KI 3 (kompetensi inti pengetahuan) yakni pengetahuan tentang analisis struktural unsur-unsur yang membangun sebuah dongeng (unsur intrinsik seperti tema, amanat, tokoh, latar ) disini guru tidak ceramah, tapi sharing dengan anak dengan teknik probying (memancing dengan pertanyaan-pertanyaan terarah) pertanyaan membimbing siswa untuk menemukan unsur intrinsik yang menjadi tujuan pembelajaran. Langkah ketiga, anak disodori teks dongeng setempat yang lain diluar pengetahuan anak (skemata + 1), anak mulai melakukan langkah-langkah discovery based learning, yaitu menemukan sendiri unsur intrinsik dalam dongeng yang dipelajari. Langkah ketiga, mengekplor imajinasi dan kecerdasan emosi anak dengan pertanyaan-pertanyaan divergen dari unsur intrinsik yang sudah ditemukan anak dalam dongeng sebagai berikut :
a.       Dalam dongeng tersebut mana tokoh yang kamu senangi, mengapa, sebutkan alasannya!
b.      Mengapa kamu memilih rumusan tema dan amanat seperti yang kamu tulis, apa dasar pemikirannya?
c.       Setujukah anda dengan latar cerita, kalau setuju atau tidak, jelaskan alasannya!
Kelebihan langkah ketiga ini (1) pelajaran jadi menyenangkan, (2) mengembangkan imajinasi dan mencerdaskan emosi, anak cerdas emosi ditandai dengan memilih tokoh dengan alasan logis, penalaran ilmiah. Langkah terakhir, pemberian tugas KI 4 (ketrampilan) pemberian tugas terstruktur  dan dimasukkan dalam portofolio siswa.
Pengajaran sastra berbasis budaya lokal memiliki keunggulan sebagai berikut :
1.      Internalisasi nilai budaya lebih mudah karena nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat sesuai dengan alam lingkungan dan alam bawah sadar anak.
2.      Nilai budaya sendiri lebih cocok dibanding dengan budaya luar/asing yang belum tentu lebih baik.
3.      Anak akan merasa bangga dengan khazanah budaya sendiri yang ternyata tidak kalah dibanding budaya asing.
4.      Pelestarian budaya daerah, salah satunya melalui pengajaran formal maupun non formal secara intensif.
Pengajaran berbasis otak dan budaya lokal hendaknya menjadi perhatian serius para guru Bahasa Indonesia dalam rangka menuju Indonesia emas tahun 2045 yang akan datang. Generasi emas yang dicanangkan akan sia-sia apabila setiap komponen tidak turut andil memberi sumbang sihnya. Peran guru bahasa menjadi penting karena dengan pengajaran yang benar dan kreatif akan ikut menyumbang membentuk karakter anak di kemudian hari yaitu karakter yang selaras dengan budaya kita sendiri. Ingat hasil penelitian Munandar  (2002:155) ia mengatakan “guru mempunyai dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak tetapi juga sikap anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Guru dapat melumpuhkan kemelitan (rasa ingin tahu) alamiah, merusak motivasi, harga diri dan kreativitas anak”. Sebaliknya guru dapat menggali rasa ingin tahu anak, menumbuhkan motivasi, harga diri dan kreativitas.






Daftar Pustaka
Goleman Daniel. 2003. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jensen, Eric.2008. Brain-Based Learning. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Qualitify Management, Refleksi, Revisi dan revitalisasi hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta : Penerbit Arga.
Madigan, Sthepen A. 2007. Memory The key to Consciousness, Mengungkap Rahasia Otak dalam Menerima dan Menyimpan Memori. Jakarta : Trans Media.
Munandar, SC Utami.2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.