Selasa, 09 Agustus 2016

Ringkasan Tesis


Analisis Nilai Budaya dan Kearifan Lokal Cerita Rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” Kajian Antropologi Sastra
YY.Ekorusyono
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis  nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-cerito Jang Pesisia” Suku bangsa Rejang di Bengkulu. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data dan (3) penyajian hasil analisis data. Pada tahap pengumpulan data, menggunakan metode kualitatif dengan teknik penelusuran kepustakaan. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori postrukturalisme yaitu Semiotika dan hermeneutika. Hasil penelitian dilakukan dengan pendekatan Antropologi sastra, sehingga peneliti dapat menemukan nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-cerito ejang Pesisia” Suku bangsa Rejang. Berdasarkan analisis semiotika dan hermeneutika kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Ejang Pesisia”  ditemukan nilai budaya dan kearifan lokal yang dapat digunakan dalam menghadapi problematika kehidupan. Implikasi nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” adalah (1) Nilai yang terkandung (relijius, moral, sosial budaya, cinta lingkungan, pengetahuan dan edukatif) relevan dengan kurikulum pendidikan nasional, (2) kearifan lokal yang ada dalam kumpulan cerita dapat digunakan untuk memecahkan persoalan suku bangsa Rejang masa kini, (3) Nilai budaya dan kearifan lokal dalam kumpulan cerita “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” dapat digunakan untuk membentuk karakter/kepribadian suku bangsa Rejang melalui pendidikan formal dan non formal, (4) Kumpulan 8 cerita rakyat “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” dapat digunakan sebagai bahan ajar di sekolah berbasis budaya lokal dan menggali potensi peserta didik sesuai dengan budaya sendiri di komunitas masyarakat Rejang. Kata kunci : Analisis, nilai budaya dan kearifan lokal, kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” ,  Antropologi sastra.
Pendahuluan
Suku bangsa Rejang  di provinsi Bengkulu menisbatkan pada istilah Jang Pat Petulai. Istilah ini seperti yang dikemukakan, Sidik (1980 : 44) “maka sejak saat itu pula Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang empat Petulai (Jang Pat Petulai) yang menjadi intisari dari suku bangsa Rejang”. Suku bangsa Rejang adalah suku tertua tentu memiliki ragam sastra lisan, Ekorusyono (2013 : 127-128) seperti mantra, pantun, sambai andak, geritan, nyanyian rakyat dan cerita rakyat. Utamanya cerita rakyat sangat banyak sekali jumlahnya dan setiap daerah baik Jang Belek Tebo maupun Jang Pesisia mempunyai cerita rakyat berbentuk mite, legenda, dan fabel.  Cerita rakyat atau dongeng adalah karya fiksi yang di dalamnya juga terkandung  ajaran moral, nilai-nilai budaya dan pandangan-pandangan yang relevan dengan persoalan konkrit yang ada pada masyarakat pendukungnya. Pendapat di atas didukung oleh Sumardjo dan Saini (1991 : 8) yang mengatakan bahwa salah satu manfaat karya sastra adalah “memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, kita juga memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan”.
Manfaat secara khusus bagi masyarakat Rejang adalah (1) agar masyarakat Rejang dapat memahami dan menghayati warisan-warisan luhur hasil karya nenek moyangnya, (2) dapat memperkaya khazanah dan bahan ajar apresiasi sastra daerah di lembaga pendidikan, (3) sebagai sarana pelestarian dan pengembangan sastra daerah. Setakat itu, manfaat secara teori mencoba mengkorelasikan kebudayaan dengan pendidikan guna membangun pendidikan berbasis budaya lokal. Kebudayaan lokal mengandung kearifan lokal menjadi isu utama dalam teori kotemporer, Ratna (2011:90) mengemukakan :
Berbagai bentuk kebijaksanaan lokal, pengetahuan tradisional, dan berbagai bentuk kebudayaan setempat yang lain, sebagai sesuatu yang pernah dipinggirkan, dimarginalisasikan, sebagai “perempuan” diangkat kembali ke permukaan, dijadikan sebagai isu utama, bahkan ditempatkan pada posisi pusat. Dalam banyak hal kebijakasanaan lokal ini mampu mengantisipasi berbagai permasalahan, termasuk yang terjadi di dunia kotemporer.
Akhir-akhir ini dengan semakin meningkat dan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang pendidikan, pelaku di bidang pendidikan sangat menyadari kecerdasan tidak hanya intelektual saja melainkan ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual. Berangkat dari kenyataan itulah pemerintah menggulirkan kurikulum 2013  untuk mengakomodasi pendidikan berkarakter (kecerdasan emosi) agar dapat diajarkan bersamaan dengan kecerdasan intelektual.  Pembentukan karakter berkait erat dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya, nilai-nilai budaya masyarakat bersangkutan diharapkan berfungsi dan mampu membentuk karakter anggota-anggotanya. Pada kenyataannya perkembangan cerita rakyat khususnya suku bangsa Rejang sekarang ini sangat memprihatinkan.  Minat masyarakat terhadap cerita rakyat semakin berkurang karena derasnya arus kemajuan zaman yang menjanjikan tontonan lebih menarik baik dari sisi penyajian maupun kemasannya.
        Berdasarkan uraian diatas maka cerita rakyat Rejang perlu dikaji secara mendalam sebagai objek penelitian . Cerita rakyat  akan lebih menarik jika dikaji secara ilmiah dengan pendekatan antropologi sastra sehingga kelebihan-kelebihan cerita rakyat  ini dapat diangkat dan diambil hikmah ajarannya. Seperti yang ditegaskan Wellek dan Austin Warren (2014:174) “karya sastra mempunyai kehidupan, ia lahir dari suatu waktu tertentu, bersifat historis mengalami perubahan dan dapat musnah, hanya abadi kalau dipertahankan”. Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah pokok yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia”  yang berguna dalam membangun karakter komunitas Rejang?
Metodologi
Jenis penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan antropologi sastra. Teori sastra yang digunakan untuk menemukan nilai budaya dan kearifan lokal adalah teori postrukturalisme (Ratna, 2011) yaitu menggunakan teknik (1) semiotika (Endraswara, 2008), De Saussure (dalam Teuuw, 2013), Pierce (dalam Endraswara, 2008) dan (2) hermeneutika Palmer (dalam Endraswara, 2009), (Endraswara, 2009), (Teuuw, 2013). Keunggulan metode ini peneliti dapat mengungkap nilai budaya dan kearifan lokal dalam teks cerita yang tersembunyi dengan menggunakan para teks dan konteks sesuai budaya komunitas Rejang sebagai pemilik cerita. Sumber data diambil dari kumpulan cerita berjudul “Cerito-Cerito Jang Pesisia” yang dihimpun oleh Prof.Mc Ginn. Data diperoleh dari teks yang ada dalam cerita kemudian dikonfirmasi dengan kebudayaan dimana cerita itu tumbuh dan berkembang.
Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah (1) studi pustaka, membaca berulang-ulang kumpulan cerita “Cerito-Cerito Jang Pesisia, (2) membuat tabulasi data dengan analisis unit kalimat, (3) mengklasifikasi hasil tabulasi nilai budaya dan kearifan lokal, (4) menginterpretasikan, (5) penyajian data atas dasar tabulasi data dan klasifikasi dan (6) penyimpulan. Uji verifikasi dilakukan dengan cara (1) ketekunan pengamatan, (2) check members, (3) Konsisten dan menggunakan konsep dalam menginterpretasi data.
Hasil Penelitian dan Bahasan
1.       Nilai Budaya
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap objek penelitian yaitu delapan cerita rakyat Rejang dalam “Cerito-cerito Ejang Pesisia”  dapat ditemukan unsur nilai budaya sebagai berikut : dalam cerita “ Lalan” terkandung nilai mandiri, tanggung jawab, rasa ingin tahu, dalam cerita “Kancil Si Tukang Bohong” terkandung nilai relijius dan kreatif, dalam cerita “Kepiting dan Beruk” terkandung nilai relijius, peduli lingkungan dan peduli sosial, dalam cerita “Putri” terkandung nilai jujur dan bersahabat , dalam cerita “Kancil dan Raksasa” terkandung nilai kerja keras, kreatif dan bersahabat, dalam cerita “Ketinuak” terkandung nilai peduli sosial, dalam cerita “ Beruk dan Kura-kura” terkandung nilai bersahabat dan peduli sosial sedangkan dalam cerita “Tiga saudara” terkandung nilai budaya mandiri, tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan gemar membaca.
Unsur nilai budaya yang ditemukan dalam “Cerito-Cerito Ejang Pesisia apabila dimasukkan dalam kerangka Kluckhohn, akan tampak pada tabel dibawah ini.
Tabel.8. Kerangka Kluckhohn dan Indikator nilai budaya yang ditemukan.
N No
Variabel orientasi nilai Budaya
Nilai Budaya yg ditemukan
Cerita rakyat Rejang
1
Hakikat Hidup (HK)
Relijius
Jujur

1.Lalan
 2.KancilsiTukang bohong
 3.Kepiting dan beruk
4.Putri
5.Kancil dan raksasa
6.Ketinuak
 7.Beruk dan kura-kura
8.Tiga bersaudara
2
Hakikat karya (HK)
Kerja keras
Kreatif
Mandiri

3
Persepsi manusia tentang waktu (MW)

Gemar membaca

4
Pandangan manusia terhadap alam (MA)
Rasa ingin tahu
Peduli lingkungan
bersahabat
5
Hakikat hubungan manusia dengan  sesamanya (MM)
Peduli sosial


2.       Kearifan Lokal
Dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia”  setelah dianalisis dapat ditemukan kearifan lokal sebagai berikut : dalam cerita berjudul “Lalan” mengandung kearifan lokal alat tradisional. Cerita rakyat berjudul Kancil si Tukang Bohong mengandung kearifan lokal tentang ilmu pengetahuan sedangkan pada cerita berjudul Kepiting dan Beruk tidak ditemukan. Cerita rakyat berjudul Putri mengandung kearifan lokal makanan tradisional dan ilmu pengetahuan sedangkan pada cerita yang berjudul Kancil dan Raksasa tidak ditemukan. Cerita rakyat berjudul Ketindung mengandung kearifan lokal obat tradisional sedangkan cerita yang berjudul Beruk dan Kura-kura tidak ditemukan. Terakhir pada cerita rakyat berjudul Tiga Bersaudara mengandung kearifan lokal ilmu pengetahuan, arsitektur rumah dan kesenian. Berikut uraiannya :
a.       Alat tradisional
Alat tradisional masyarakat Rejang berupa pancing tanpa senar dan umpan, “kewea” ini terkandung dalam cerita rakyat yang berjudul “Lalan”, kutipannya sebagai berikut.
Ktpn.1
Ade do bilai si alau mengewea mai bioa gik coa uak kunei sadui ne.(hal.1). Ada suatu hari ia pergi memancing di sungai tidak jauh dari desanya.
Alat tradisional memancing (khusus) ikan mukus yaitu ikan yang hidupnya di sungai air deras dan menempel di batu. Ikan ini tidak bisa dipancing dengan menggunakan umpan, ia harus dikait dengan mata pancing tanpa umpan yang disebut oleh masyarakat Rejang “kewea”. Alat tradisional ini, penggunaannya dibantu dengan kaca bening selebar 10 cm dan panjang 15 cm, kaca ini alat bantu untuk melihat ikan di dalam air atau menggunakan kaca mata anti air yang bisa dibuat sendiri atau beli di toko-toko.
Budaya mengewea sekarang hampir ditinggalkan dengan adanya alat-alat baru yang lebih modern seperti setrum dengan accu, Padahal dengan mengewea kelestarian ikan dan habitatnya terjaga karena kemampuan seseorang mencari ikan mukus seharian kurang lebih 50-an ekor sedangkan alat setrum bisa tiga atau empat kali lipat. Eksploitasi penangkapan ikan mukus dengan alat modern selain tidak memberi kesempatan ikan berkembang biak juga anak-anaknya yang kecil disekitar induknya ikut kesetrum hingga tidak sempat besar dan melanjutkan keturunan. Alat “kewea” termasuk kearifan lokal masyarakat Rejang dalam menjaga keseimbangan habitat ikan, utamanya ikan mukus.
b.      Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tentang menjaga kelestarian hutan ada terkandung dalam cerita berjudul “ Kancil si Tukang Bohong” kutipan peristiwanya sebagai berikut.
Ktpn.2
Nadeak kacea samo temunjuk sa’ang medau nak das pun o.(hal.9). Kata kancil sambil menunjuk sarang Tawon madu di atas pohon itu.
Pohon-pohon tempat tawon madu bersarang masyarakat Rejang menyebutnya pohon Sialang. Pohonnya bisa apa saja, seperti pohon benuwang (Octomeles sumaterana), pohon menggris/tapang (K. Excelsa), pohon tualang (Koompassia Parvifalia), pohon cempedak air (Artocarpus Maingayi) dll apapun pohonnya asal sering ditempati lebah madu bersarang dan lebih dari satu sarang bahkan bisa ratusan maka mereka menyebutnya pohon Sialang.
Dalam adat istiadat masyarakat Rejang pohon sialang tidak boleh ditebang sembarangan. Ada aturan adat bahwa pohon sialang yang dihuni ratusan sarang lebah adalah milik bersama. Pada kenyataannya pohon sialang rata-rata sangat tinggi berkisar 50 meteran dengan batang besar berdiameter mencapai 2 meteran. Pohon sebesar itu jika ditebang jelas akan merusak lingkungan sekitarnya dan juga menghilangkan mata pencaharian mereka sendiri. Oleh karena itu, jikalau seseorang mau menenbang pohon sialang harus seizin tokoh masyarakat setempat.
Ada kearifan lokal yang terpancar dari aturan adat tersebut, (1) kelestarian alam lingkungan terjaga, utamanya sumber air di sekitarnya, (2) mata pencaharian masyarakat setempat tetap berkesinambungan tanpa merusak hutan. Dalam menjaga kelestarian hutan juga tampak pada cerita rakyat berjudul “Putri”, disana disebutkan melintasi “rimba dalam” atau juga disebut hutan larangan. Ilmu pengetahuan betapa pentingnya akan kelestarian hutan, hutan larangan kayunya tidak boleh ditebang walau yang kecil sekalipun. Dalam hutan larangan hanya boleh diambil rotan, madu, getah damar dan yang berupa sayur mayur seperti unji, pakis, rebung dll. dan jarang orang yang berani melintas atau masuk didalamnya. Akan tetapi memang ada yang nekat melintas karena sesuatu dan lain hal yang sangat mendesak. Contohnya seperti dalam kutipan berikut.
Ktpn.3
Neletak ne Putri nak das pungung ne, sudo nemin ne Putri mai sadui ne, sembe;ang bioa, melitas imbo lem.(hal.31). Diletakkannya Putri di atas punggungnya, sudah itu dibawa Putri menuju desanya, menyeberang sungai, melintasi hutan dalam (larangan).
Kearifan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan juga terdapat dalam cerita rakyat berjudul “Tiga Saudara” seperti kutipan berikut.
Ktpn.4
Lem bukau tiak tun telau basuak ade ba rajo.(hal.89). Dalam buku itu ayah dari tiga bersaudara adalah raja.
Kata “bukau” kalau diterjemahkan secara harfiah artinya buku, tetapi disini penafsiran berdasarkan kebudayaan masyarakat dimana cerita ini tumbuh dan berkembang bukan berbentuk buku seperti yang kita pahami sekarang ini. Jadi, kata buku faktanya adalah lembaran-lembaran kulit kayu, gelumpai bambu dan tanduk baik sapi atau kerbau.
Masyarakat rejang sudah mempunyai aksara tersendiri yang disebut aksara ka, ga, nga atau serat ulu. Tiga bersaudara dalam cerita itu jelas bisa baca tulis huruf rencong/ka,ga,nga. Ilmu pengetahuan kakek mereka tentang pentingnya silsilah keluarga ditulis sudah membudaya di lingkungan elit kerajaan. Berkat ilmu pengetahuan tentang silsilah itulah pencarian tiga bersaudara menjadi mudah karena ada fakta tertulis yang tak terbantahkan.
c.       Makanan tradisional
Kemampuan masyarakat pada masa panen berlebih dan mengolahnya menjadi suatu yang bermanfaat juga di temui dalam cerita rakyat berjudul “Putri”. Dalam cerita itu disebutkan ada seorang ayah dan anak gadisnya pergi kedalam hutan membawa nasi dan sayur dalam ruas bambu seperti dalam kutipan berikut.
Ktpn. 5
Kabuk-kabuk nien bi alau embin moi lem ibet ngan sayur lem buluak.(hal.27). Pagi-pagi sekali sudah pergi membawa makanan dan sayur dalam ruas bambu.
Dalam kebudayaan masyarakat Rejang, ibet itu sama dengan nasi bungkus yang sudah ada lauk di dalamnya sedangkan sayur dalam ruas bambu berisi tempoyak atau lemea. Darimana kita mengetahui bahwa yang dimaksud sayur itu adalah tempoyak atau lemea, pertama, dari perilaku keseharian mereka, kedua, dari kebiasaan masyarakat yang mayoritas petani apabila pergi ke ladang/sawah membawa bekal sayur dalam ruas bambu. Sesampai di pondok sayur tadi dimasak dengan cara bambu itu dibakar sampai sayur tempoyak/lemea dalam ruas bambu hingga mendidih.
Tempoyak termasuk makanan tradisional dibuat dari bahan daging buah durian yang diawetkan bisa bertahan sampai bertahun-tahun tanpa bahan pengawet buatan dan lemea dibuat dari bahan rebung (tunas bambu) diiris kecil-kecil kemudian dicampur dengan ikan mukus mentah atau ikan air tawar lainnya yang jeroannya sudah dibersihkan kemudian dicampur dimasukkan dalam toples besar dengan dilapisi daun pisang ditutup rapat-rapat sampai ikan hancur karena fermentasi. Proses fermentasi paling cepat tiga hari baru bisa dimanfaatkan dan lemea ini bisa bertahan berbulan-bulan tanpa bahan pengawet.
Keduanya sebagai bahan dasar untuk masakan sayur khas daerah seperti pepes tempoyak ikan patin, gulai tempoyak kepala ikan mas/ikan putih, sambal tempoyak udang/ikanlaut dll sementara lemea dimasak menjadi sambal lemea, sayur keladi ikan mukus, santan pedas ikan laut, gulai ikan mas dll.
Makananan tradisional ini tercipta karena kearifan lokal yang mampu mengolah panen yang berlimpah, dalam hal ini panen durian dan juga kreativitas mengolah sumber daya alam melimpah yaitu rebung dan ikan mukus atau ikan tawar lainnya. Hasil olahan tradisional khususnya lemea banyak diminati bukan hanya masyarakat Rejang tapi sudah diekspor ke Jepang dalam bentuk kemasan kaleng.
d.      Pengobatan Tradisional
Setiap suku bangsa rata-rata memiliki cara pengobatan tradisional yang diolah dari bahan-bahan alam sekitar suku tersebut menetap. Begitu juga suku bangsa Rejang, mereka memiliki ramuan obat tradisional berbagai macam ragam sesuai dengan diagnosa penyakitnya. Adanya pengobatan tradisional tampak pada kutipan berikut.
Ktpn.6
Tun kute renyeng meker ne. Bi dau ubet nesoa, tapi Bujang Kurung coa baik kune.(hal.53). Orang semua pusing memikirkannya. Sudah bermacam-macam obat diberikan, tapi Bujang Kurung tidak juga membaik keadaannya.
Pada masa itu memang belum ada dokter, perawat, dan mantri yang ada adalah tabib atau dukun (saman). Tabib pada waktu itu obat andalannya adalah kemampuannya meracik bahan-bahan alami yang ada dilingkungannya sebagai dasar resep pengobatan. Sampai sekarang pun obat tradisional masih menjadi alternatif pilihan masyarakat Rejang.
Setakat itu, penyakit malaria misalnya, mereka mengobatinya dengan rebusan akar ali-ali yang diminum setiap terasa mau minum dan tidak boleh meminum yang lain sampai nyamuk tidak mau lagi menggigit baru berhenti minum. Rata-rata pengobatan akar ali-ali berkisar tiga sampai 7 hari penyakit berangsur-angsur sembuh.
Ada ramuan air liur burung but-but untuk pengobatan patah tulang, ramuan ini diambil dari sarang burung but-but di tengah hutan. Caranya, disaat anak-anak burung ditinggal induknya pergi mencari makanan maka pemburu segera mematahkan kaki anak-anak burung tersebut. Induk burung begitu mengetahui anak-anaknya celaka maka ia segera mengobati dengan air liurnya hingga sembuh. Disini dibutuhkan kesabaran tinggi karena harus menunggu sampai anak-anak burung itu sembuh kadang perlu waktu berminggu-minggu. Selanjutnya, sarang tersebut diambil dengan mengganti sarang burung yang baru agar anak burung tetap lestari. Sarang burung yang tercampur air liur but-but langka inilah sebagai bahan dasar ramuan minyak pengobat patah tulang yang dikenal dengan minyak “sangkal putung”. Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil saja dari berbagai ramuan tradisional Rejang.
Disini perlu dikemukakan ramuan pencegah penyakit kanker nenek moyang masyarakat Rejang. Mengingat sekarang penyakit ini banyak menimpa seseorang dan sangat mematikan. Masyarakat memiliki kebiasaan kalau pagi minum kopi, rebusan air sebelum dicucurkan ke dalam gelas kopi pada waktu merebus dicampuri dengan daun sirsak, pegagan, dan daun salam. Air rebusan itulah yang dijadikan air panas pembuat minuman kopi, ternyata menurut penelitian modern daun sirsak dapat menyembuhkan kanker dan daun salam menurunkan kadar gula.
e.      Arsitektur rumah
Dalam cerita rakyat  berjudul “Tiga Saudara” ada kata “pondok” yang didirikan tiga saudara perempuan untuk bertahan hidup setelah mereka jatuh miskin sepeninggal kedua orang tuanya. Kutipannya sebagai berikut.
Ktpn. 7
Sudo o tobo o menea ponog ne nak lem imbo.(hal.3 jilid 2). Setelah itu mereka mendirikan pondok di dalam rimba.
Penafsiran kata “pondok” sesuai dengan budaya Rejang adalah semacam rumah kecil ukuran 2 x 3 m yang didirikan di atas tanah (pille divelling) dengan penopang tiang penyangga  setinggi manusia tegak lebih sedikit. Bentuknya persegi, bahan dari bambu atau kayu bulat sebesar lengan manusia untuk lantai dan dinding. Atap berbentuk meranjat terbalik dengan cucuran air ke depan dan belakang, walau pada perkembangannya arsitektur atap berubah meranjat dengan air cucuran disamping pondok. Semua menggunakan ikatan rotan cacing dengan atap dari ilalang atau daun rumbia. Untuk lebih jelasnya lihat foto di bawah ini, arsitektur rumah adat Rejang masa lampau.           
Arsitektur dasar rumah adat masyarakat Rejang terlampir pada lampiran 10, mengandung kearifan lokal (1) terhindar dari gangguan binatang buas, (2) bangunan anti gempa dan sudah terbukti berkali-kali waktu gempa melanda wilayah suku Rejang, rumah mereka masih utuh atau paling bergeser sedikit dan tidak ada korban sama sekali.
Dokumen Ekorusyono
f.        Kesenian Tradsional
Dalam cerita rakyat “Tiga Saudara” disebutkan dengan jelas adanya tari kejai sebagai cara untuk merayakan pesta perkawinan. Tari kejai ini ternyata pada zaman dahulu sudah menjadi tradisi yang harus ditampilkan disaat “Bimbang Kejai” (pesta besar) maupun pesta biasa (pesta kecil). Gambaran itu terlihat pada kutipan berikut.
Ktpn. 8
Makui ta’ai kejai, aui yo tun merayo biaso ne.(hal.9). Memakai tari kejai, begitulah biasanya orang merayakannya.
Tari kejai adalah tari-tarian yang ditampilkan disaat “bimbang kejai”. Ada tiga unsur yang harus ada dalam tari kejai yaitu (1) instrumental alat musik seperti redap, gong, kelintang dan serunai (suling), (2) lagu sambai andak berupa pantun bersahutan antara bujang-gadis. dan (3) gerak tari ambet, andak dan kipas yang dibawakan oleh sepasang penari 5, 7 dan 9 (selalu ganjil).
Tari kejai termasuk lokal jenius masyarakat Rejang dalam mengekspresikan diri dengan kekhasannya. Kearifan lokal di bidang kesenian ini khas daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai modal kesadaran lokal dalam pembangunan tanpa meninggalkan jati diri.

3.       Buku “Cerito-Cerito Jang Pesisia” termasuk karya sastra.
Cerita rakyat baik itu berbentuk legenda, mite maupun fabel ternyata mengandung ajaran moral dan gagasan-gagasan masyarakat pendukungnya. Ia bukan sekedar dongeng pengantar tidur yang hanya bersifat hiburan, tetapi dibalik itu ada tersembunyi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang bersifat pendidikan. Cerita rakyat juga menggambarkan pemecahan masalah-masalah lokal bersifat universal seperti dalam cerita berjudul “Tiga Saudara”, disana digambarkan bagaimana pentingnya tulis baca bagi generasi muda. Kepandaian tokoh-tokohnya dalam hal menulis dan membaca, akhirnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan mereka.
Cerita rakyat juga wahana pendidikan yang menghibur, dongeng bukan cerita khayal semata di dalamnya ada ajaran filsafat moral tentang nilai-nilai kehidupan yang dapat digunakan sebagai sarana mengenal sesama manusia dan memecahkan problematika kehidupan sesuai lingkungannya. Tema-tema cerita yang diangkat masih relevan dengan kehidupan zaman sekarang dan nyata terjadi di masyarakat. Cerita rakyat berjudul “Lalan” yang mengangkat kisah rakyat kecil (Bujang Kurung) menikah dengan bidadari (Lalan, anak pejabat tinggi). Cerita rakyat yang berjudul “Kancil si Tukang Bohong” yang intinya mengisahkan Kancil (kita semua) dalam kondisi terdesak baru muncul kreativitasnya dan biasanya seseorang timbul ide/gagasannya yang brilian disaat terdesak. Begitu juga cerita yang berjudul “Beruk dan Kura-Kura” mewakili kita semua siapa pun orangnya kalau bermalas-malasan tidak mau bekerja, pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhannya ia melakukan perbuatan tercela. Sebaliknya dalam cerita “Tiga Saudara” mengisahkan siapa saja yang tekun belajar dan bekerja keras maka akan tercapai cita-citanya.
Dari pembahasan diatas nilai relijius dan jujur termasuk Hakikat hidup (HK) dalam kerangka Kluckhohn yang mengkonsepsikan masalah-masalah universal mengenai cara pandang terhadap hakikat manusia baik atau buruk. Masyarakat Rejang dalam memandang hahikat hidup manusia di dunia ini selalu baik. Hal ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan bahwa hewan bisa berbicara seperti manusia seperti dalam tokoh Kancil, Beruk, ular dll. Tokoh hewan-hewan tersebut adalah mewakili kita-kita dan ternyata dalam cerita bagaimana ular menolong putri yang dibuang orang tuanya, juga kecerdikan kancil dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup dan kehidupan.
Juga ditemukan ide tentang hakikat dari karya manusia yang tercermin dalam nilai budaya kerja keras, kreatif, dan mandiri. Masyarakat Rejang memandang bahwa hidup harus dijalani dan untuk itu harus bekerja secara mandiri dan kreatif agar lebih banyak menghasilkan karya. Yang mengejutkan peneleti adalah ditemukannnya ide tentang Persepsi manusia tentang waktu yang tercermin dalam nilai budaya gemar membaca. Tradisi tulis baca ternyata sudah berkembang pesat sejak dahulu kala. Artinya masyarakat rejang mempunyai pandangan ke masa depan. Hal ini dibuktikan dengan ditulisnya silsilah keluarga  tentang tiga saudara sehingga mereka dapat menemukan kedua orang tuanya dengan petunjuk tertulis tersebut.
Ide tentang Pandangan manusia terhadap alam tercermin dalam nilai budaya rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan bersahabat.  Masyarakat rejang memandang alam adalah sahabat, maka mereka berusaha mencari keselarasan dengan alam. Kondisi ini di kisahkan secara utuh dalam cerita rakyat berjudul Tiga saudara, disana disebutkan bagaimana mereka hidup berburu dan menanam berbagai tanaman. Hidup mereka menyatu dengan alam lingkungan yang mereka tempati.
Ide hakikat hubungan antara manusia dengan sesam juga ditemukan dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” yang tercermin dalam nilai budaya peduli sosial. Orientasi masyarakat rejang bersifat horizontal adanya ketergantungan dengan sesamanya seperti tetangga, gotong royong. Seperti yang dikisahkan dalam cerita rakyat berjudul Beruk dan Kura-kura, disana kura-kura meminta tetangganya yang lain yakni kepiting untuk menyelesaikan persoalannya dengan beruk yang juga tetangganya.
Berdasarkan uraian di atas, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta pesan kearifan lokal yang masih relevan dengan kehidupan masa kini, maka dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerita rakyat berjudul “Cerito-Cerito Ejang Pesisia” memenuhi kriteria sastra yang dapat dijadikan referensi dan bahan ajar pendidikan sastra di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Penutup
        Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap objek penelitian yaitu delapan cerita rakyat dalam kumpulan cerita rakyat “Cerito-Cerito Jang Pesisia” dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa dalam cerita rakyat tersebut diatas ditemukan 11 unsur nilai budaya yang tersebar di lima kerangka Kluckhohn dan 6 unsur  kearifan lokal.
        Secara khusus dapat dirincikan sebagai berikut :
1. Ada 11 unsur nilai budaya yang berguna membentuk karakater bangsa yaitu relijius, jujur, kerja keras, kreatif, mandiri, gemar membaca, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, bersahabat, peduli sosial dan tanggung jawab.
2. Dalam  kumpulan cerita di atas  ditemukan ide  tentang (a) Hakikat hidup (HK), (b) Hakikat karya (HK), (c) Persepsi manusia tentang waktu (MW), (d) Pandangan manusia terhadap alam, (e) Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
3. Ada 6 aspek kearifan lokal yaitu alat tradisional, makanan, pengobatan, kesenian, arsitektur dan ilmu pengetahuan.
4. Kumpulan cerita berjudul “Cerito-Cerito Jang Pesisia” termasuk karya sastra bermutu dan dapat digunakan sebagai bahan ajar di sekolah maupun di masyarakat.

. DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Badudu, JS. 1980. Sari Kesusastraan Indonesia Jilid 1. Bandung : Pustaka prima.
Dio, AM. 2003. Emotional Quality Management, Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup melalui kekuatan Emosi. Jakarta : Penerbit Arga.
Ekorusyono, YY. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.
Echols dan Hasan Shadily.2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
Endraswara, Suwardi.  2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Presindo.
 ---------------------------. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.
Jacob Sumarjo dan Saini KM.1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia.
------------------------. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
McGinn dan Arbi. 2007. Cerito-Cerito Jang Pesisia. Ohio University All rights reserved.
Nazir, Muhamaad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
----------------------------------. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahyono, FX. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta : Wedatama Widyasastra.
Sarwono dkk.(penyunting). 2004. Bunga Rampai Melayu Bengkulu. Dinas Pariwisata Bengkulu.
Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Siswanto, Wahyudi.2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Penerbit PT Grasindo.
Soumelina, Nicol. Pengertian Kearifan Lokal. File:///E:/pengertian kearifan lokal. Academia.edu.htm.(akses 18 Desember 2014).
Sudaryat dan Hanapi Kartasasmita. 1987. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Ganeca Exact.
Ponidin. 2011. Analisis Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Kumpulan Cerpen “Darah” Karya Putu Wijaya. (tesis) Bengkulu : FKIP Unib.
Teeuw. 2013. Sastra dan ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
Trianto, Agus. 2014. Pembentukan Karakter dalam Kurikulum. Makalah pada seminar FKIP Unib.
Wikipedia Bahasa Indonesia. Sejarah, Budaya, Peradaban, bahasa. Id.wikipedia.org/wiki/suku rejang (akses 20 April 2013).
Wikipedia Bahasa Indonesia. Nilai-nilai Budaya. Id.wikipedia.org/wiki/nilai-nilai budaya (diakses Kamis, 18 Desember 2014).
Wellek, Rene dan Austin Warren.2014. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia

Minggu, 07 Agustus 2016

Folklore Enggano


Pendekatan Folklore dalam Menganalisis Nyanyian Rakyat “Kahinoa” Masyarakat Enggano

            Sastra lisan Enggano sampai saat ini belum dikaji secara serius dengan menggunakan metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini wajar terjadi karena penutur masyarakat Enggano dengan bahasa daerahnya hanya berjumlah 2000-an orang saja. Jumlah penduduk yang sedikit ditambah tempatnya yang terpencil kurang menjadi perhatian para peminat folklore dan  kebudayaan. Orang biasanya lebih tertarik meneliti suatu suku bangsa yang besar dengan warisan budaya sedikit lebih maju dan tempatnya mudah dijangkau.
            Masyarakat Enggano dengan segala keterbatasannya ternyata masih menyimpan warisan leluhur nenek moyangnya berupa folklore lisan seperti  sastra lisan berbentuk,  (1) nyanyian rakyat, (2) Ba’aheo suatu dendang pantun bersahut-sahutan baik perorangan maupun kelompok. (3) Pahakedodia’a suatu dendang perumpamaan saling bersahutan dan (4) Paha’ema suatu dendang kiasan seperti menyanyi baik perseorangan maupun beramai-ramai. (5) teka-teki, (6) kutukan , (7) cerita rakyat, dan (8) peribahasa.
            Folklore lisan enggano sebagai kekayaan tradisi, sastra, seni, hukum dan perilaku yang dihasilkan secara kolektif sebagai milik bersama ekspresi masyarakat berbudaya (Endraswara, 2009) dapat ditelusuri dan digali dari hiruk pikuk mobilitas masyarakat Enggano yang hilir mudik Enggano-Bengkulu. Sudah menjadi tradisi orang kaya/elite enggano semacam suatu keharusan memiliki rumah di daratan (kotamadya Bengkulu). Suatu prestise tersendiri bagi mereka yang memiliki rumah di daratan selain tempat anak bersekolah juga tempat istirahat yang nyaman dan tidak usah menyewa hotel. Kondisi itu dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengumpulkan data, cukup dengan menemui mereka di kala singgah di daratan. Peneliti tidak harus direpotkan hilir mudik Bengkulu-Enggano, mungkin sesekali berkunjung untuk konfirmasi data memang diperlukan sekaligus bertamasya di pulau nan indah dengan tempat wisata begitu alami.
Tentu tidak semua orang Enggano yang sering ke daratan “memiliki” pengetahuan tentang tradisi lisan masyarakatnya. Disini penulis menyeleksi, dari pengalaman dan informasi dari berbagai pihak kemana harus mendapatkannya. Bertemu orang yang tepat sangat menguntungkan kedua belah pihak, satu sisi budaya dapat digali, dipahami, dilestarikan dan dimanfaatkan, di lain pihak menghemat biaya penelitian.
Tokoh masyarakat dimaksud beberapa diantaranya Bapak Rafli Kaitora (Pak Imam) kepala suku Kaitora domisili di desa Malakoni, Bapak M.Jafar Kahaoa (Pak Rodi) kepala suku Kahaoa domisili di desa Apoho, Bapak zulkifli Kaharuba, selain  tokoh yang sudah disebutkan, informasi  juga dikonfirmasi dengan beberapa orang-orang enggano sebagai perbandingan diantaranya Amran pemuda dari desa Meok anak kepala suku Kauno, Airin Kahaoa tokoh agama Islam keduanya berdomisili di Bengkulu.
Pada pembahasan pertama ini akan dikaji folklore lisan berupa nyanyian rakyat. Disini dicoba menganalisis menggunakan metodologi kajian folklore modern terhadap sebuah nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa”. James Dananjaya mendefinisikan folklore (dalam Pudentia, 2008:58) “sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat”.Sementara yang dimaksud dengan folklore modern selain memperhatikan folk (kehidupan sosial) tetapi juga lore-nya (tradisi lisan).
Nyanyian rakyat masyarakat Enggano hingga kini masih dipakai pendukungnya. Tradisi bernyanyi hampir merata ada diseantero pulau mulai dari ujung desa Kahyapu sampai Banjarsari. Nyanyian ada yang didendangkan secara bebas perseorangan, berkelompok dan ada yang berkait berkelindan dengan tarian adat. Uniknya di Enggano tidak dikenal sama sekali alat musik, nyanyian semata-mata hanya sebagai kidungan (nyanyian tanpa instrumen musik), lebih spesifik lagi nyanyian justru sebagai latar tarian. Artinya, nyanyian digunakan sebagai pengiring tarian seperti tari perang, tari semut, tari paema dll. Nyanyian sebagai latar tarian salah satu yang sangat populer di Enggano adalah nyanyian yang berjudul “Kahinoa” sebagai pengiring tari semut, teks lagunya sebagai berikut:

         Kahinoa
           
Beda-beda kahinoa dobahaya hayya-hayya
Apapude kude-kude, kaudada dada dada
Papu aha aha haha pai pede pede-pede
Eparuru kipuena, kipuena yak a’uwa uwa-uwa
Kaudada dada dada eyyu mu’u mu’a-mu’u eneaha aha-aha
Ediyuwa uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha
eabeha beha-beha waite’e waite’e edudiya dududia ummumu’a nuka-nuka hai pakoba koba-koba, edeika ika-ika, ene aha aha-aha
Ediyuwa e kahinoa noa dobuhayya hayya-hayya
Eabeha beha-beha o bukkiyya kiyya-kiyya kahinoa dobuhayya hayya-hayya ene aha aha..haha
Adukiyya ummunu’a nuka-nuka hai pakoba koba-koba
Edeika ika-ika kahinoa noa dobuhayya hayya oooooook..
(dikutip dari buku “Mengenal Budaya Enggano” )
A.Kata-kata kunci dan terjemahan.
Kahinoa         = semut beriringan
Beda-beda    = berbeda/datang
Dobahayya   = bersatu
Hayya             = satu
Apapude        = darimana
Kaudada        = kampung
papuaha        = tengok/lihat
paipede          = rapat berbaris
eparuru                      = pesta
kipuena                     = tengok hajat kami
yak                  = datang
a’uwa             = kemari
eyyu mu’u     = mau pesta besar
mu’a mu’u     = besar-besaran
eneaha                      = singkirkan perbedaan
eabeha                      = sudah
waite’e                       = bikin gara-gara
ummumu’a    = menganiaya
adukiyya        = sudah (stop) peperangan
nuka haipakoba = dalam satu pertemuan
edeika                        = menginjak bumi
ediyuwa’e      = dengarkan kata
o bukiyya       = peperangan
ummunu’a    = bertemu disini

            Semut beriringan
berbeda-beda  rombongan semut bersatu, satu..satu
dari mana-mana, kampung mana-mana (sebut nama kaudarnya)
tengok ( lihat) lihat, lihat rombongan semut rapat beriringan
pesta, kami sedang punya hajat datanglah kemari mari-mari
kampung mau pesta besar, besar-besaran maka singkirkan perbedaan.
Kata-kata kotor yang menyakitkan
Sudahlah bikin gara-gara peperangan dalam satu pertemuan, kita sama-sama menginjak bumi (satu tempat hidup) maka singkirkanlah, singkir-nyingkir.
Dengarkan kata (nasehat) seperti rombongan semut bersatu, satu
Sudahlah sudah-sudah peperangan perang-perang, contohlah rombongan semut bersatu satu-satu maka menyingkirlah.
Berhentilah perang, kita sudah bertemu disini dalam pertemuan ini
Menginjak bumi (sama-sama) maka bersatulah kita semua.

B. Sejarah lagu tercipta.
Asal-usul lagu “Kahinoa” bermula dari kisah zaman dahulu kala seorang kepala suku yang akan menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda dari anak sukunya sendiri. Secara adat perkawinan seperti itu diperbolehkan, yang dilarang kalau nikah masih satu periuk dan satu suku. Sementara itu, si gadis sudah ada yang mengincarnya dari suku lain. Mendengar gadis pujaannya mau dinikahkan maka pemuda tadi tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, ia bersekongkol dengan suku-suku lainnya untuk menggagalkan pesta perkawinan itu.
Pada saat pesta perkawinan akan dilaksanakan suku-suku lain tadi menyerang dan menghadang agar perkawinan dibatalkan. Maka terjadilah peperangan tidak berimbang, kepala suku dan anak gadisnya terkepung oleh penyerang. Akan tetapi dengan sigap dan cekatan perempuan-perempuan melindungi kepala sukunya dengan cara mengelilinginya sehingga pasukan penyerang tidak bisa mendekatinya. Dalam kondisi kebingungan pasukan penyerang termangu mau diserang perempuan, tidak diserang bagaimana. Kondisi stagnan inilah dimanfaatkan oleh ketua suku untuk mengingatkan pasukan penyerang agar mengurungkan niatnya dengan membaca mantra yang diilhami dari melihat rombongan semut yang beriringan dekat lokasi peperangan. Ucapannya itulah menyebabkan peperangan berhenti dan pasukan penyerang menyadari pentingnya persatuan. Ucapan kepala suku itu sekarang jadi lagu “Kahinoa” sebagai pengiring tarian semut di setiap pesta perkawinan masyarakat Enggano.
Tarian semut ini biasanya dilaksanakan pada malam hari sebagai penutup sekaligus tanda bahwa pesta dianggap sukses. Paginya tanpa dikomando seluruh warga akan datang bergotong royong membongkar tarub dan menyelesaikan seluruh sarana prasarana sehingga tuan rumah hanya tahu bersih. Layaknya koloni semut bekerja, mereka mengambil tugas masing-masing sesuai kemampuan dan fungsi dalam keadatan.

1.Kajian strukturalisme
            Penekanan dimulai dari sign (tanda) sebagai judul yaitu “Kahinoa”. Kata ini berulang sampai lima kali yang menggambarkan persatuan, walaupun semut itu beragam fungsi dalam kelompoknya dan berbeda pula bentuk tubuhnya. Ada yang kecil kuat sebagai pencari mangsa, ada yang bertubuh raksasa sebagai induk semut dan ada yang sedang sebagai pekerja dll. masing-masing memiliki tanggung jawab untuk satu tujuan kelangsungan hidup mereka.
              Kahinoa mengacu pada sifat kesempurnaan kehidupan manusia yaitu persatuan, keharmonisan, keterpaduan  maka dibalik idealisme itu, ada ketidak sempurnaan, dalam teks diberi tanda tersirat pada kata “bukiyya” yang artinya perang atau perpecahan. Kata peperangan berulang sampai dua kali dan didahului dengan penyebabnya tampak pada bait “Ediyuwa uwa-uwa, enakapu kapu-kapu, kapu aha aha-aha”. Kata-kata kotor yang menyinggung perasaan, juga perbedaan-perbedaan paham agar disingkirkan. Ditegaskan, jikalau ingin hidup damai menuju pada persatuan  hendaknya manusia sadar bahwa kita sama-sama “menginjak bumi”. Kita sama-sama makan makanan yang sama, minum air yang sama, bertempat tinggal pada tanah yang sama.
              Istilah “menginjak bumi” memiliki makna menyiratkan satu tanah air yaitu pulau Enggano, sama-sama mencari hidup di pulau yang sama kenapa harus bertengkar. Kata ini menyadarkan semua penghuni pulau bahwa semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kenapa harus menonjolkan diri masing-masing kalau itu justru mendorong pada perpecahan, kenapa tidak saling beriringan seperti kehidupan semut. Saling mengisi, menutupi satu kekurangan dengan kelebihan yang lainnya.
            Oposisi binner terlihat pada baris pertama kata “beda-beda pada rombongan semut tapi satu” yang dimaksud berbeda-beda dijelaskan pada kalimat kedua yaitu beda suku, beda kampung, beda asal, beda paham, beda pendapat. Perbedaan itu dipertegas pada baris ke sembilan sebagai berikut,” Sudahlah... sudah...sudah peperangan... perang...perang, rombongan semut bersatu... satu...satu maka menyingkirlah”. Maksud kalimat tersebut manusia harus belajar pada kehidupan rombongan semut, kompak menjalankan tugas sesuai kemampuannya masing-masing. Peperangan bukan tabiat rombongan semut, alam mengajarkan manusia agar arif dalam mengatasi perbedaan. Perang bukan cara penyelesaian masalah, kita ditakdirkan hidup dan bertemu disini (pulau Enggano) lebih baik bersatu.
            Pemahaman kata Kahinoa tidak terbatas pada kehidupan semut semata. Dibalik keharmonisan itu tentu ada tata tertib aturan yang ditaati. Kesadaran inilah yang menggugah para kepala suku agar tidak selalu terjadi konflik/perang perlu adanya organisasi yang didalamnya ada tata aturannya. Kahinoa mengacu pada organisasi yang tertata rapi, pengertian inilah yang melahirkan adat istiadat masyarakat Enggano hingga kini.
Kesepakatan itu ditulis dalam sebuah naskah yang diberi judul “ Pedoman Tata Upacara-Upacara dan Adat Istiadat Masyarakat Enggano” yang ditanda tangani pada tahun 2003 oleh seluruh kepala suku di Enggano.
1.Yusak Kaahowao : Kepala suku Kaahowao
2.Azis Kauno                        : Kepala suku Kauno
3.Justhin Kaarubi    : kepala suku Kaarubi
4.A.Walet Kaitora     : Kepala suku Kaitora
5.Zulkifli Kaharuba  : Kepala suku Kaharuba
6.Abdullah Ko’may  : Kepala suku Ko’may

Tata aturan adat istiadat disusun terdiri dari 7 bab dan 41 pasal, mengatur tentang segala sesuatu dalam rangka menjaga  tata tertib agar tidak lagi timbul konflik/perang antar suku. Dengan kesepakatan tersebut organisasi kemasyarakatan Enggano berjalan harmonis hingga sekarang ini dan terhindar dari perang berkepanjangan. Konflik tetap ada, akan tetapi dapat diselesaikan dengan musyawarah adat sesuai aturan yang telah disepakati.

2.Kajian Antropologi sastra

            Mengapa  lagu di atas diberi judul “Kahinoa” ini tentu ada falsafah yang ingin disampaikan oleh nenek moyang kepada anak cucunya di kemudian hari. Seperti yang dikemukakan Endraswara (2009:195-196) sebagai berikut :
Unsur-unsur filsafat dalam folklore sudah tidak perlu diragukan lagi karena pada hakekatnya folklore adalah endapan pengalaman hidup. Sebagai renungan hidup, tentu folklore memiliki sumbangan penting dalam wilayah filsafat. Falsafah hidup manusia tentu berbeda-beda. Keanekaragaman falsafah hidup ini, juga akan terkandung dalam bermacam-macam folklore.
Begitu juga folklore lisan enggano dalam lagu “Kahinoa” tersebut diatas mengandung ajaran filsafat yang digali dari kehidupan semut. Semut termasuk jenis serangga kelas insekta hidup dalam koloni dengan ribuan anggotanya. Satu koloni bisa sampai puluhan ribu semut terdiri dari ratu semut, pejantan, pekerja, penjaga dll. Sarang semut tertata rapi, setiap semut mempunyai tugas masing-masing dan ada ruangannya sendiri. Semua anggota tidak ada yang menganggur, semua bekerja saling topang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, semut disebut serangga sosial  dalam satu kesatuan koloni.
            Keunggulan makhluk ini keberadaannya tercantum dalam kitab suci agama-agama samawi. Dalam agama Kristen/Katolik termaktub pada kitab Amsal (6 : 6-11), “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak : biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah kamu akan bangun dari tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring. Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang tak bersenjata. Juga tercantum dalam Al Qur’an dalam surat An Naml (27 : 18-19) Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berbicaralah seekor semut, hai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.
            Tuhan menciptakan semut ada hikmah tersembunyi dibalik keberadaannya. Alam menurut pandangan kaum mimetik Teeuw (2013 : 171) Semesta ciptaan Tuhan yang lengkap dan sempurna dan tak bercacat. Manusia kemungkinannya hanyalah meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak, baik dan indah (the Great model). Hikmah pelajaran dari kehidupan semut yang dapat dipetik dari pernyataan tersebut di atas adalah :
a.Pekerja keras
            Makhluk kecil tapi memiliki kemampuan memikul beban lima puluh kali lipat berat/besar tubuhnya. Dalam mencari rezeki, tak perduli medannya berat barangnya berat secara gotong royong mereka akan membawa makanan itu sampai ke sarangnya. Semut tidak ada yang menganggur, semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing tanpa kenal lelah.
            Alam mengajarkan kepada manusia model kesempurnaan dalam etos kerja. Salah satunya terpancar pada koloni semut, disana semua terpampang seperti dunia kaca. Transparan, apa adanya, asli tanpa dibuat-buat dan direkayasa. Semakin anda mengamati, anda akan mendapatkan dunia nyata tanpa bedak dan gincu, lugu, telanjang. Etos kerja tinggi adalah suatu syarat untuk tetap bertahan hidup ditengah rimba kehidupan. Perilaku ini sangat dianjurkan oleh Alloh SWT seperti dalam firman-Nya dalam Al Qur’an (9:105),”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu maka Alloh dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Perintah bekerja ini juga tercantum pada Al Insyiqaaq ayat 6-16, al Jumu’ah ayat 10, Al Qosas ayat 77, Ar-Radu ayat 11 dan ditegaskan dalam hadist  dari Miqdam ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda,”Tidak satu pun makanan yang dimakan seseorang lebih baik dari kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil kerja tangannya”.(HR. Bukhari).
            Masyarakat enggano pada umumnya bekerja dengan hasil tangan mereka yaitu sebagai nelayan dan petani. Kebiasaan bekerja keras ini disebabkan ditempa oleh alam yang tak kenal kompromi. Siapa yang tidak bekerja maka ia tidak dapat makanan. Sifat dasar kerja keras masyarakat enggano apabila diarahkan pada kerja cerdas mampu mengolah bahan dasar menjadi olahan tentu akan lebih meningkatkan kesejahteraan mereka. Juga dilatih kerja tuntas yakni fokus pada keahlian yang diminati bukan berdasarkan musim semata. Misalnya budi daya ikan keramba, udang lobster, kepiting bakau dll jangan hanya mencari bahan mentah saja. Biasanya nelayan atau petani mencari atau menanam seseuatu berdasarkan keberhasilan seseorang. Seseorang berhasil mencari lolak maka semua beramai-ramai mencari lolak begitu juga seseorang berhasil menanam cabe maka semua ikut-ikutan menanam cabe.
b.Dispilin
            Semut sangat disiplin dalam menata kehidupan koloninya. Ciri khas, seperti pembagian kerja secara terinci. Semut pekerja, misalnya, mereka mencari makanan dan membawanya ke sarang, uniknya mereka tidak mau makan sedikitpun sebelum makanan itu dibagi sesuai dengan jatah masing-masing. Induk semut kerjanya khusus hanya untuk bertelur, semut penjaga bekerja menjaga dan menata telur-telur hingga menetas dst.
Organisasi kemasyarakatan dapat berjalan harmonis dan tertib jikalau aturan dipatuhi para anggotanya. Disiplin, karakter yang perlu dan wajib dimiliki setiap anggota/suku. Warga kesukuan menyadari pentingnya kedisiplinan dalam menegakkan aturan adat, konsistensi pelaksanaan di kondisi nyata sangat mendukung terjaganya keharmonisan di tengah masyarakat. Hal ini terbukti, jarang atau dapat dikatakan tidak ada perselisihan sampai ke polisi apalagi pengadilan. Mereka dengan kearifan lokalnya mampu menyelesaikan permasalahan dengan aturan adat yang berlaku. Ini suatu modal dasar penunjang pembangunan ke depan, nilai budaya patuh pada ketentuan adat istiadat dapat dijadikan sebagai acuan orang-orang pendatang untuk berdaptasi.
c.Hidup hemat
            Hidup hemat adalah salah satu ciri mental bangsa Jepang yang patut diteladani, disana setiap warga rajin menabung.  Setiap yen yang didapat sebagian pasti disisihkan, tidak dihabiskan semua. Apalagi kalau mendapat rupiah diluar gaji yang diterima wajib hukumnya ditabung. Itulah karakter bangsa Jepang.
            Ternyata semut berdasarkan instingnya selalu menyisihkan dan menyimpan makanannya sebagai persiapan menghadapi masa paceklik. Setiap makanan yang masuk ke sarang disortir secara ketat, kalau terlalu besar akan dibelah-belah sebagiannya disimpan, jikalau basah makanan tersebut dijemur dipintu sarang agar kering dan awet. Jadi, rombongan semut dalam koloninya ada gudang makanan lebih dari cukup untuk menghadapi musim kemarau yang sangat panjang sekalipun.
            Budaya hidup hemat ini sayang tidak ditemui di masyarakat Enggano, mereka masih terbiasa dengan mencari hari ini dimakan hari ini juga. Yang ditemui di tengah masyarakat adalah kebiasaan berbagi di kala paceklik. Mereka merumuskan dalam mitos kutukan yang dikenal sebagai “Perihei”, barang siapa di masa paceklik tidak mau berbagi maka akan terkena kutukan sakit perut. Kutukan ini sangat ditakuti oleh seluruh warga penghuni pulau juga para pendatang yang kurang memahami adat istiadat setempat. Padahal “Perihei” ini adalah local genius masyarakat Enggano membangun solidaritas sosial dalam menghadapi situasi sulit, utamanya masalah paceklik pangan. Mereka meyakini bagi siapa saja yang masih punya sedikit makanan di saat paceklik hendaknya membagi dengan yang lainnya. Bahkan kalau tidak ada lagi yang bisa dibagi memakannya harus secara sembunyi-sembunyi.


d.Silahturami
            Semut juga dikenal sebagai makhluk sosial, satu dengan lainnya selalu saling berhubungan. Setiap semut berpapasan dengan temannya ia akan memberi salam dan bertasbih. Kerukunan antar anggota dibarengi dengan saling tegur, menyapa, bersilaturahmi. Oleh karena itu, semut tidak pernah kehabisan rezeki karena mengamalkan silaturahmi. Selain itu semut selalu bertasbih dengan mengangkat kedua tangannya (kaki depan) juga dengan caranya yang tidak kita ketahui selalu sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang diinformasikan Alloh dalam Al Qur’an (24:41) sebagai berikut, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Alloh, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Efek dari pelajaran baik itu hingga kini masyarakat Enggano sangat kompak dalam melakukan aktivitas apa saja dan bila berpapasan selalu menegur satu sama lain.
            Kekompakan itu akan tampak tatkala ada kegiatan yang melibatkan warga suku seperti perkawinan. Semua warga tapa disuruh akan melibatkan diri mualai dari awal tegak tarub hingga acara usai. Uniknya acara perkawinan dikatakan selesai apabila ditutup dengan atraksi tarian semut dengan lagu “Kahinoa” nya. Mereka muncul satu persatu mendatangi tempat acara pada malam hari  sambil menari seperti ular-ularan dan bernyanyi “Kahinoa” hingga seluruh warga seluruh kaudar (kampung) ikut serta. Apabila dirasa seluruh warga sudah keluar semua maka tuan rumah membubarkan mereka dengan mengacung-acungkan obor terarah ke para penari hingga mereka kocar-kacir. Akhirnya, semua penari pulang ke rumah masing-masing barulah pesta dianggap selesai dan tuan rumah bisa istirahat.            
e.Taat
              Semut memiliki insting untuk selalu taat pada sistem koloni yang dibangun. Ketaatan pada peraturan itulah keunggulan koloni semut dibanding dengan kelompok hewan lainnya. Pelajaran ini oleh nenek moyang orang Enggano dijadikan pedoman dalam menegakkan peraturan adat. Dalam hal ini masyarakat Enggano dikenal sebagai masyarakat kesukuan dan keadatan. Masyarakat kesukuan adalah suatu sistem kekerabatan terdiri dari satu keturunan berdasarkan garis ibu (matrilinial). Saat ini ada 6 suku terdiri 5 suku asli dan satu pendatang. Struktur organisasi masyarakat Enggano bisa dilihat dalam buku saya berjudul “Mengenal Budaya Enggano”, disana dijelaskan bagan serta fungsi masing-masing suku.
              Untuk memastikan sekaligus menjaga kesatuan adat maka para pendatang dari luar pulau diwajibkan untuk masuk suku. Sistem masuk suku ada dua cara yaitu (1) kaum pendatang dijadikan satu suku yang disebut suku Kamay, dengan adanya wadah tersebut secara otomatis seluruh kaum pendatang masuk dalam suku tersebut, (2) memilih masuk salah satu suku asli Enggano dengan upacara adat. Keduanya mempunyai tujuan yang sama agar para pendatang langsung beradaptasi pada adat istiadat setempat. Baik penduduk asli maupun pendatang sama di mata hukum adat.

C.Kesimpulan
               Pendekatan folklore pada nyanyian rakyat berjudul “Kahinoa” dari sisi lore-nya menunjukkan bahwa kesatuan, keharmonisan, kerukunan menjadi cita-cita masyarakat enggano. Untuk mewujudkan itu, mereka menyusun suatu tata aturan adat sebagai pedoman/acuan dalam menyelesaikan persengketaan yang timbul di tengah masyarakat. Sedangkan dari sisi folk-nya tercermin dari kehidupan sosial masyarakat enggano yang taat pada aturan adat istiadat yang hingga kini masih eksis di tengah masyarakat kesukuan.
              Pendekatan folklore dapat menjawab mengapa masyarakat begitu kuat memegang adat? Karena mereka masih kuat memegang falsafah semut. Pewarisan nilai-nilai ditranformasikan melalui tarian dengan latar tembang “Kahinoa”, dan terus menerus mereka munculkan disetiap kegiatan/upacara utamanya pada upacara perkawinan. Tanpa terasa enkulturasi berjalan secara alamiah, selain suri teladan dari para tokoh adat dalam mengeja-wantahkan kekompakan koloni semut dalam kehidupan sehari-hari.
              Nilai budaya dalam kehidupan semut yang dapat masyarakat Enggano pertahankan hingga kini adalah : kegotongroyongan, kepatuhan pada tradisi nenek moyang, keharmonisan. Gotong royong masyarakat Enggano boleh dikatakan menonjol dibanding wilayah lain di propinsi Bengkulu, nilai budaya ini tentu sangat menunjang pembangunan di segala bidang kalau diberdayakan. Ada kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan yaitu setiap pendatang diwajibkan masuk suku kamay dan boleh yang lainnya. Peristiwa masuk suku ini suatu momen mempersatukan darah sebagai tali persaudaraan, jika pemangku kepentingan jeli kearifan lokal ini dapat dijadikan sarana mencegah terjadinya konflik penduduk asli dengan kaum pendatang (transmigrasi). Sebelum mereka di tempatkan di lahannya masing-masing diadakan upacara masuk suku terlebih dahulu secara adat. Tali persaudaraan kesukuan ini peletak dasar keharmonisan karena kaum pendatang sudah dianggap warga pulau bukan orang lain.

Daftar Pustaka
Ekorusyono, YY. 2013. Mengenal Budaya Enggano. Yogyakarta : Buku Litera.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo.

Hamidy, Zainudin dkk (penterjemah). 1992. Shahih Bukhari jilid I – IV. Jakarta : Wijaya.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Teeuw. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra.  Jakarta : Pustaka.
Yayasan Penterjemah Al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al Madinah An Nabawiyah. Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifain Raja Fahd.