Rabu, 27 Mei 2015

Makalah "Hegemoni Bahasa Indonesia Pengaruhnya Terhadap Nilai Budaya Daerah Rejang"



HEGEMONI BAHASA INDONESIA PENGARUHNYA TERHADAP NILAI BUDAYA DAERAH REJANG

Oleh : YY Ekorusyono
Budayawan


Abstrak

                     Masyarakat Rejang memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam  khususnya bahasa ragam adat yang lebih dikenal sebagai serambeak. Serambeak ini mengandung nilai budaya sangat tinggi. Akan tetapi, akhir-akhir ini bahasa ragam adat ini semakin terdesak akibat hegemoni bahasa Indonesia. Akibatnya terjadi “pengeringan” ragam adat ini hampir di seluruh wilayah Rejang, tidak hanya berhenti sampai pada pengeringan ternyata tergeser pula nilai budaya daerah Rejang yang demikian luhur. Makalah ini menunjukkan data-data dan fakta terjadinya pergeseran bahasa ragam adat menyingkirkan pula nilai budaya daerah Rejang dengan menggunakan teori dan kondisi nyata bahasa daerah Rejang sekarang ini. Paparan ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang tepat dalam pemertahanan serambeak yang mengandung nilai budaya luhur suku bangsa Rejang.



A.PENDAHULUAN
            Suku bangsa Rejang memiliki bahasa tersendiri sebagai alat komunikasi diantara mereka. Sesuai dengan nama sukunya, orang orang menyebut bahasa yang dipakai sebagai “Bahasa Rejang” sebagaimana lazimnya nama –nama bahasa di nusantara, bahasa Rejang termasuk rumpun bahasa Austria Sub rumpun Austronesia bagian bahasa-bahasa Nusantara (barat) dengan jumlah penutur 1.000.000 orang lebih yang tersebar di lima kabupaten di Provinsi Bengkulu dan beberapa wilayah di kabupaten Provinsi Sumatera Selatan. Di Provinsi Bengkulu wilayah penuturnya di kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah sementara yang ada di Provinsi Sumatera Selatan di kabupaten Musi Rawas tepatnya di kecamatan Bermani Ulu Rawas dan beberapa marga di kabupaten Lintang Empat Lawang.
Ada beberapa dialek bahasa Rejang yang kita kenal yaitu dialek Jang Lebong,dialek Jang.Kepahiyang dan dialek Jang Pesisia. Tiga dialek ini satu dengan lainnya bisa saling memahami hanya faktor geografis dan kesatuan petulai saja yang berbeda. Dialek Jang Lebong dengan sub dialek jang Musei dan jang Awes meliputi kabupaten Lebong dan Rejang Lebong dan sebagian kabupaten Musi Rawas disatukan secara geografis oleh sungai Ketahun, Musi dan Kelingi dalam kesatuan Jurukalang, Tubei sedangkan dialek Jang Kepahiyang (Kebon Agung) dengan sub dialek Jang Empat Lawang meliputi Kabupaten Kepahiyang dan beberapa marga di kabupaten Empat Lawang dalam kesatuan petulai Bermani dan dialek Jang Pesisia meliputi wilayah kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah dalam kesatuan petulai Selupu dan Bermani.
Bahasa Rejang juga mengenal bahasa keadatan yang lebih dikenal sebagai serambeak, bahasa ragam adat ini pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana pendidikan sebelum adanya sekolah formal. Serambeak pada zaman keemasannya menjadi bahasa keseharian dalam fungsi dan situasinya. Penutur bahasa Rejang secara aksiomatis bergantian (campur kode) berbicara menggunakan bahasa Rejang biasa dengan serambeak, baik dalam pembicaraan keluarga maupun di masyarakat. Oleh karena itu, serambeak termasuk wahana pendidikan karena memenuhi kriteria seperti yang dikemukakan Sardiman ((1992 : 8) “yang mengatakan bahwa sesuatu itu disebut interaksi edukatif apabila interaksi itu secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya”.
Serambeak sebagai bahasa keadatan akhir-akhir ini semakin tenggelam akibat hegemoni bahasa indonesia. Pembicaraan dalam keluarga, dikalangan masyarakat tidak lagi terdengar penutur menyelipkan serambeak di dalam pembicaraannya. Serambeak hanya dapat kita dengar  pada peristiwa-peristiwa adat seperti sambutan perkawinan, penobatan raja, kendurai dll. Itupun hanya terbatas pada serambeak yang berkait dengan penghormatan, etika semata, serambeak yang mengandung nilai budaya luhur sudah bukan kering lagi tapi mengalami mati suri.
Gejala pengeringan dan kematian nilai budaya suku bangsa rejang ditinjau dari sudut pandang sosiolinguistik hubungannya dengan etnolingustik. Bahasa dan kebudayaan ibarat dua sisi keping dalam mata uang yang sama. Ada yang memasukkan bahasa dalam salah satu unsur kebudayaan, sebaliknya ada yang memasukkan kebudayaan bagian dari bahasa. Terlepas dari perdebatan itu, semua para ahli bahasa dan antropologi sepakat bahwa budaya suatu bangsa tercermin pada bahasanya, jika bahasanya berubah maka secara otomatis budayanya mengalami perubahan.


B.TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI TERKAIT.
B.1.Tinjauan Pustaka
            Kajian nilai budaya ini erat kaitannya dengan tema tulisan Jufrizal (2004) yang membahas tentang keterdesakan bahasa ragam adat Minangkabau akibat hegemoni bahasa Indonesia. Disini penulis mencoba membahas kasus serupa di wilayah suku Rejang khususnya Jang pesisia Kabupaten Bengkulu Utara. Bahasa Rejang ragam adat tidak hanya mengalami “pengeringan” seperti ragam adat Minangkabau tapi lebih dari itu, “kematian” ragam adat Rejang akibat hegemoni bahasa Indonesia turut musnah pula nilai budaya luhur yang terkandung didalamnya. Tulisan ini diarahkan untuk melihat pengaruh pergeseran bahasa terhadap sistem nilai budaya.

B.2.Tinjaun Teori Terkait
            Teori yang terkait langsung dengan kajian ini (1) linguistik budaya, (2) retorika bahasa, dan (3) sistem nilai budaya.
B.2.1.Linguistik Budaya.
            Linguistik budaya adalah ilmu yang mempelajari bahasa kaitannya dengan budi daya/karya manusia/suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki sekelompok orang yang diwariskan secara turun menurun. Bright 1968 ( dalam ibrahim, 1995:100-101) membuat skema hubungan antara bahasa dan kebudayaan sebagai berikut :

Model Antropologi
BAHASA                                                       ISI
Tingkah laku Linguistik                  Fenomena yg diperbincangkan
    (kebanyakan non linguistik)


      A                                                                 b
 



EMIC             Struktur Linguistik                   c                              Struktur Kebudayaan
            Skema diatas menjelaskan hubungan a, b, dan c di lapangan oleh para ahli Antropologi bahasa dikaitkan dengan objek-objek nyata serta peristiwa yang ada dengan pola-pola organisasi sebaliknya ahli bahasa adanya hubungan dari unit-unit leksikal terhadap satu sama lain dan terhadap kebudayaan. Perubahan bahasa akan mempengaruhi isi, artinya perubahan struktur linguistik turut pula mempengaruhi struktur kebudayaan.


B.2.2.Retortika Bahasa
            Salah satu aspek cerminan budaya suatu masyarakat nampak pada retorika bahasanya. Robet B. Kaplan (dalam Croft, 1980) mengemukakan tentang tipe-tipe retorika di dunia ini sesuai dengan budaya yang mengandungnya sebagai berikut :
1.    Retorika model Anglo-saxon bersifat linear.
2.    Retorika model semitik budaya Arab Persia diwarnai dengan penggunaan paralisme yang berkelebihan.
3.    Retorika model Asia, melihat masalah inti dari beberapa sisi secara tidak langsung atau berpikir yang tidak langsung kepada inti persoalan.
4.    Retorika model Franco-Italiano, bersifat berbunga-bunga, boros dengan kata-kata yang terkadang tidak menyentuh masalah intinya.
Kita termasuk model retorika Asia yang bersifat tidak langsung pada inti permasalahan, berputar-putar atau penggunaan kiasan (sanepo=jawa) untuk mengungkapkan suatu permasalahan apalagi yang bersifat mengkritik atasan atau orang tua/yang lebih tua. Ciri ketidaklinieran retorika kita akibat dari budaya kita yang juga masih kurang dapat menerima keterusterangan dan keterbukaan.

B.2.3.Sistem Nilai Budaya
            Nilai budaya setiap suku bangsa berbeda satu dengan lainnya, di suatu suku bangsa tertentu akan memandang tinggi dan terhormat bila seseorang/masyarakat melakukan kegiatan tertentu tapi sebaliknya di suatu suku bangsa lainya dipandang biasa saja. Nilai budaya termasuk adat istiadat yang paling abstrak, Koentjaraningrat (1982:11) membagi adat istiadat menjadi empat tingkat “(1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan hukum”. Lebih lanjut Koentjaraningrat (2009:153) mendendefinisikan nilai budaya sebagai berikut :
Nilai budaya adalah lapisan pertama dari kebudayaan yang ideal, berupa ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal paling bernilai dalam tatanan kehidupan masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dan tumbuh dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dan berkait erat dengan hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
            Sistem nilai budaya selain memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat juga bersifat universal. Clide Kluckhohn menyusun kerangka mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia seperti diuraikannya dalam tabel dibawah ini :









Masalah dasar
Dalam Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakikat Karya
(HK)
Karya itu untuk
Nafkah hidup
Karya itu untuk
Kedudukan, Kehormatan, dsb.
Karya itu untuk menambah karya
Persepsi manusia
Tentang waktu (MW)
Manusia tunduk Kepada alam yang dahsyat
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa depan
Pandangan Manusia terhadap Alam (MA)
Manusia tunduk Kepada alam Yang dahsyat
Manusia menjaga Keselarasan dengan alam
Manusia berusaha menguasai alam
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (MM)
Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Orientasi vertika, Rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi Usaha atas Kekuatan sendiri
Sumber : Kontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 2009 hal. 157
Dalam suatu masyarakat sistem nilai budaya mempunyai fungsi sebagai pedoman tertinggi (wujud ideal kebudayaan) yang mengikat tingkah laku, norma, aturan hukum yang berlaku di masyarakat pendukungnya. Apabila ada sekelompok atau individu melanggar sistem nilai yang berlaku maka ia akan mendapat sanksi sesuai adat istiadat setempat.


C. METODE DAN TEKNIK
                     Tulisan ini mengkaji hubungan bahasa dan budaya, data-data di ambil dari lapangan langsung wilayah Rejang kota Argamakmur. Data-data dikaji secara etnolinguistik yang mendeskripsikan hubungan bahasa dan budaya melalui teknik simak libat cakap dan catatan. Fenomena bahasa yang diperhatikan kegiatan penutur asli suku Rejang dianalisis secara tertulis naratif dan argumentatif.

D.PEMBAHASAN
                     Akulturasi budaya pada masa sekarang ini suatu yang tak terelakkan, mobilitas masyarakat satu dengan lainnya frekwensinya semakin meningkat. Kecanggihan alat media makin mempercepat proses akulturasi khususnya bahasa sebagai alat komunikasi. Perubahan bahasa juga mempengaruhi perubahan budaya begitu sebaliknya. Artinya, budaya suatu bangsa tercermin pada bahasanya, jika bahasanya berubah maka secara aksiomatis budayanya mengalami perubahan.
                     Perubahan budaya dalam hal ini terdesaknya Bahasa daerah dalam istilah kebahasaan terjadinya pergeseran dari bahasa daerah ke arah Bahasa Indonesia. Pergeseran bahasa ini tentu diduga pula terjadi perubahan nilai-nilai budaya, jikalau yang terdesak adalah bahasa daerah tentu timbul kegoncangan budaya di daerah. “Shock Culture” di daerah inilah yang dirasakan oleh tetua dan generasi muda yang tidak mau tercerabut dari akar budaya daerahnya. Sebagai contoh : Siapakah kamu ? pertanyaan dalam bahasa Indonesia itu terkesan sederhana, tapi akan lain dirasakan jikalau pertanyaan itu diucapkan oleh suku Serawai, terlebih lagi pertanyaan itu ditujukan kepada orang yang lebih tua. Kata “kamu” memiliki makna kasar, kurang sopan, jadi hanya bisa digunakan untuk kawan sebaya, padahal apa yang diucapkan benar sesuai kaidah bahasa Indonesia. Ada suatu nilai budaya yang dirasakan hilang oleh masyarakat Serawai dengan adanya fenomena generasi muda tidak lagi memiliki kemampuan menggunakan bahasa Daerah sesuai dengan fungsi dan situasinya.
                     Koentjaraningrat (2009: 153) mendefinisikan “sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi”. Bisa dibayangkan jika yang terdesak bukan hanya masalah makna seperti kasus diatas tetapi bahasa/istilah/kata bahasa daerah yang musnah tergantikan dengan bahasa Indonesia. Tentu perubahan itu mengakibatkan pergeseran nilai budaya dan pola perilaku.
                     Gejala ini dapat dibuktikan pada bahasa Rejang “Swarang pantang stumang”yang artinya pantang tidak menolong saudaranya yang kesusahan. Sekarang ini masyarakat Rejang jarang atau tidak pernah menggunakan istilah tersebut karena sudah diganti dengan bahasa Indonesia “ gotong royong”. Walaupun maknanya sama tapi nilai budayanya berbeda, tempo dulu semboyan swarang pantang stumang mampu mengejawantah pada pola perilaku masyarakat pendukungnya. Pola perilaku terlihat pada peristiwa perkawinan adat kejai misalnya,  warga tidak mampu bisa melaksanakan “Bimbang Kejai” selama tujuh hari tujuh malam. Kemampuan itu terwujud karena nilai budaya pantang tidak menolong yang terkandung dalam semboyan swarang pantang stumang. Ada yang membawa beras, ayam, itik, kopi, gula dll kebutuhan makan minum, ada yang menyumbangkan tari-tarian mulai dari hari ketiga dan keempat. Hari pertama semereak kunik dan temuun ketambuak yakni membentuk panitia dan masing-masing tugasnya dan menurunkan alat musik kelintang, hari kedua baru gotong royong menegakkan tarub dan bahan-bahan masakan seperti buluh, daun pisang, bumbu-bumbu dll. hari kelima memotong hewan kurban, hari keenam akad nikah sebagai puncak acara dan hari ketujuh gotong royong membuka tarub dan mengembalikan barang-barang pinjaman. Saat ini “bimbang kejai” hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan, perhelatan selama tujuh hari tujuh malam jelas menelan biaya tidak sedikit.
                     Kalau kita perhatikan dengan bergesernya swarang pantang stumang diganti dengan gotong royong maknanya mengalami penyempitan. Gotong royong dimaknai sebagai kerja bakti bersifat sukarela sedangkan swarang pantang stumang bersifat mengikat dan ada sanksi adat bagi yang melanggarnya. Swarang pantang stumang mempunyai makna luas yakni gotong royong mulai dari hari pertama sampai ketujuh, sedangkan makna “gotong royong” hanya tampak pada hari kedua dan ketujuh. Secara aksiomatis pola perilaku masyarakat pendukungnya ikut berubah, tidak ada lagi sumbangan hiburan selama dua hari, tidak ada lagi sumbangan ubo rampe kebutuhan makan minum selama kejai berlangsung. Kondisi ini bukan satu-satunya faktor adat bimbang kejai ditinggalkan anggota pendukungnya, akan tetapi faktor pergeseran bahasa faktor kunci perubahan itu.

D.1.Hegemoni bahasa Indonesia
                     Keterdesakan Bahasa Serawai dan Rejang akibat hegemoni Bahasa Indonesia itu suatu dinamisasi wajar dalam hubungan dua bahasa yang saling bersinggungan secara intens. Dua bahasa yang resmi digunakan saling imbas mengimbas satu dengan lainnya hampir merata terjadi bukan hanya di Serawai atau Rejang saja tapi terjadi juga di tempat lain. Dapat dicontohkan disini, keterdesakan Bahasa Mentawai akibat hegemoni bahasa Minangkabau yang dibawa oleh para pejabat mayoritas suku Minang. Orang Mentawai akan bangga dan terhormat kalau fasih berbicara bahasa Minang yang dipandang sebagai bahasa tinggi/bahasa prestise. Begitu juga yang terjadi di kepulauan Enggano, Rahayu (1997) dalam kajian pendahuluan pemertahanan dan pergeseran di Enggano mengemukakan “disana ditemui bahwa masyarakat Enggano lebih menyukai menggunakan Bahasa Indonesia untuk fungsi dan tujuan yang lebih luas di luar komunikasi internal keluarga. Secara kasar masyarakat Enggano lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dibanding menggunakan bahasa asli 60% : 40%”.
                     Kuatnya hegemoni bahasa Nasional dapat kita contohkan pada pergeseran penggunaan kata-kata dalam bahasa Rejang yang seharusnya bisa dengan bahasa daerah tapi masyarakat lebih senang memilih bahasa Indonesia. Keterdesakan leksikon dalam Bahasa Rejang yang dalam pemakaiannya digantikan leksikon bahasa Indonesia terlihat sebagai berikut :




Yang sering digunakan
Yang seharusnya dalam bahasa Rejang
Amal                                                                                
Ama
Lapor                                                                               
Adeu
Kain (sarung)                                                                 
Poi
Celano          
Seruwea
Bos                                                                                   
Sep
Sopir                                                                                
Supir
Adil                                                                                   
Suceng
Sunatan       
Seluweng

                                                                                                                                               
Keterdesakan bersifat menggantikan seperti contoh tersebut diatas jelas mempengaruhi keberadaan dan kebertahanan bahasa Rejang kedepan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masyarakat Rejang “tuna harga diri”, Koentjaraningrat (dalam Abdul Chaer, 2010: 170) menyatakan sebagai berikut :
Sikap tuna harga diri berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa di mana karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa asing, dan menomorduakan bahasa sendiri.
Masyarakat Rejang pada umumnya kurang memperhatikan kebertahanan bahasanya sendiri, dalam pergaulan sehari-hari khususnya di perkotaan mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dibanding bahasa Rejang. Maka wajar dan masuk akal kalau ada seorang ahli bahasa (linguistik) berani mengatakan bahwa bahasa Rejang akan punah 20-30 tahun ke depan.
                     Dalam perspektif pemakaian bahasa Rejang ragam adat lebih parah lagi, hampir di setiap wilayah Rejang pemakaiannya terbatas pada acara-acara adat tertentu. Itupun sebagian besar kalangan muda tidak tahu lagi arti dan nilai budayanya. Hanya orang-orang tua, tokoh adat yang masih bisa mengikuti bahasa Rejang ragam adat yang disampaikan. Sebagai contoh pada waktu penobatan raja Jang Pesisia, Ekorusyono (2013: 259) disana digunakan bahasa Rejang ragam adat (serambeak) sebagai berikut : Dio ade iben depicik nik, bakeak depicak alus, iben depicik nik tando kemearok, bakeak depicak alus tando keme bekinoi uku madep kumu yo minoi maaf seto apun. Uku neriteak dik tuai-tuai uleak yo leak lai, do tuai-tuai yo teak teminggea pesen ngan manat kareno mungkin omor cigai dik gik an igai, ataupun lak madeak ireak ngan ca’o. Kareno doo tuai-tuai yo meraso bekecek bi apai, bekadeak cigai dik mengasai, anak-anak kutai jang pesisia melayang akuak lalang, coa tau igai bumai gik nelat. Lak betanye coa “penan betumbuk” gawe coa bakea gik mikut. Dalen bi kelem akuak bulen teleau punguk, tingea bisuluak ngan pun pisang. Cigai dalen nam keme tempuak doo ba keme lak minoi tulung ngan udi gik ade, kareno picang udi gik jaang, pekik udi gik nyaing. Pemakaian bahasa Rejang ragam adat seperti diatas hampir jarang digunakan atau boleh dikatakan mendekati punah. Padahal ragam adat tersebut mengandung seni berbahasa dan nilai budaya tinggi, keindahan bahasanya mengandung tiga hal :
1.      Rasa hormat, penghormatan kepada para tamu/yang dituakan. Nilai budaya ini terlihat pada kutipan berikut,” Dio ade iben depicik nik, bakeak depicak alus, iben depicik nik tando kemearok, bakeak depicak alus tando keme bekinoi uku madep kumu yo minoi maaf seto apun”. (Ini ada sirih seiris halus, pinang seiris. Sirih seiris halus tanda kami suka, pinang pertanda harapan. Saya menghadap bapak minta maaf beserta ampun).
2.      Sopan santun (etika berbicara) tampak pada baris berikutnya,” Uku neriteak dik tuai-tuai uleak yo leak lai, do tuai-tuai yo teak teminggea pesen ngan manat kareno mungkin omor cigai dik gik an igai, ataupun lak madeak ireak ngan ca’o. Kareno doo tuai-tuai yo meraso bekecek bi apai, bekadeak cigai dik mengasai. (Saya diperintahkan oleh yang tua-tua pekerjaan ini kerja besar. Yang tua-tua entah ingin berpesan atau ingin beramanah karena yang tua-tua merasakan mungkin umur tidak lama lagi, ataupun mau berkata tidak ada tempat dan cara lagi. Karena itulah orang tua-tua ini merasa berkata tak ada bobotnya, jadi saya berbicara ini habis tidak ada pilihan lagi).
3.      Tradisi retorika Rejang tampak pada penyampaian maksud dengan bahasa daun sebagai berikut,”anak-anak kutai jang pesisia melayang akuak lalang, coa tau igai bumai gik nelat. Lak betanye coa “penan betumbuk” gawe coa bakea gik mikut. Dalen bi kelem akuak bulen teleau punguk, tingea bisuluak ngan pun pisang. Cigai dalen nam keme tempuak doo ba keme lak minoi tulung ngan udi gik ade, kareno picang udi gik jaang, pekik udi gik nyaing”.( Untuk diketahui masyarakat Rejang pesisir ini sekarang melayang bak bunga ilalang, tak tentu angin hendak membawa, bumi tempat berpijak. Ingin bertanya tak ada yang bakal mau menjawab, jalan gelap ibarat burung pungguk mengharap terang di bulan ketiga,  tinggal besuluh batang pisang. Tidak ada jalan yang dapat kami tempuh kecuali pada bapak-bapak yang masih energik, karena kami tahu langkah bapak masih panjang, suara bapak-bapak masih di dengar).
Pergeseran bahasa Rejang ragam adat pengaruhnya sangat terasa terhadap hilangnya nilai budaya sopan santun, etika dan rasa hormat. Kehilangan sesuatu yang bernilai tentu menyebabkan kegoncangan di tengah para anggotanya. Akan terjadi kesalahpahaman dalam cara pandang antara anggota pemilik nilai budaya lama dengan  generasi pengusung nilai budaya baru. Penutur bahasa Rejang ragam adat menggunakan retorika model Asia, berputar-putar tidak langsung pada inti permasalahan. Sementara anak-anak muda ingin langsung pada inti permasalahan dengan retorika model Anglo-Saxon. Orang tua sebagai wakil pemilik ragam adat memandang penggunaan bahasa anak-anak muda, langsung pada inti masalah, yang apa adanya sebagai cara tidak sopan, kurang hormat, tidak beretika,  kurang beradab.
                     Disinilah terjadi pergeseran bahasa mempengaruhi perubahan nilai budaya Rejang. Bahasa Rejang ragam adat dalam pandangan anak muda tidak efisien, berbelit-belit, tidak jelas, padahal bahasa ragam adat mengandung nilai budaya sopan santun dan etika sedangkan anak muda dengan retorikanya mengabaikan nilai budaya itu.  Mereka lebih cenderung linear, apa adanya, efisien tidak bertele-tele. Sebagai contoh, bimbang kejai pada hari akad nikah hari keenam bisa berlangsung sangat lama dan melelahkan, sambutan-sambutan menggunakan bahasa Rejang ragam adat memakan waktu tersendiri padahal kalau pakai bahasa Rejang biasa atau Bahasa Indonesia paling lama 1-2 Jam saja.  Perubahan retorika ini jelas menunjukkan adanya perubahan budaya, karena budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya. Argumentasi tersebut selaras dengan gagasan Edward Sapir dan Worf (1974, dalam Abdul Chaer)) yang mengatakan “bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya”.
                     Bahasa Rejang ragam adat mengandung nilai budaya menghargai, sopan santun dan etika. Pengungkapan dengan ragam adat merefleksikan rasa hormat, kesopanan dan beretika dalam pergaulan khususnya pada situasi tertentu. Artinya “keterdesakan” bahasa Rejang ragam adat sama dengan masyarakat Rejang sekarang ini kurang berbudaya atau dalam bahasa kasarnya tidak beradab. Ketidakberadaban akibat hegemoni bahasa Indonesia terhadap bahasa Rejang ragam adat tentu menimbulkan kegoncangan budaya pemakainya dan keadaan ini tentu perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
                     Keterdesakan ragam adat dimungkinkan karena anak-anak muda mendapatkan pendidikan yang kiblat berpikirnya model retorika Anglo-Saxon. Situasi serupa juga dialami anak-anak muda Solo dan Yogyakarta, mereka sudah hilang Jawanya (ora njawani) karena tidak bisa menggunakan parama sastra (nyastro) Jawa yang nota bene retorika model Asia. Perubahan nilai budaya ini dampaknya merubah pola perilaku pendukungnya, wajar kalau orang-orang tua khawatir dan mengalami kekagetan budaya. Pengungkapan anak-anak muda yang linear, to the poin, langsung pada inti dianggap tidak sopan dan menghargai orang tua, sementara anak muda memandang sebaliknya seperti yang dikemukakan Jufrizal (2004 : 175 ) berikut :
1. Bahasa Rejang ragam adat terlalu berbelit-belit, sehingga kurang praktis.
1.    Bahasa Rejang ragam adat tidak perlu lagi dan jika diperlukan hanya untuk orang-orang tertentu saja.
2.    Bahasa Rejang ragam adat susah penafsirannya, sehingga rumit dan terkesan tidak ekonomis.
3.    Sebagian makna yang termuat dalam bahasa Rejang ragam adat bisa diganti dengan bahasa yang lebih sederhana, atau diganti dengan bahasa Indonesia.
Menurut pandangan anak-anak muda berdasarkan pola pikir yang dipelajarinya, kita harus menghargai waktu, bertindak efisien. Pola perilaku anak muda itu, sangat tidak sesuai dengan “Roh Tun Jang” atau jiwa Rejang.              Roh tun Jang adalah nilai budaya yang menghargai kemandirian, tepat janji, keharmonisan, jiwa satria taat hukum dilambangkan dengan semboyan sebagai berikut :
1.    Kecek negong, janjai tenunggau
2.    Bekijem bebelek, bekinai dapet bae
3.    Sumbing betitip, putus besambung, lenyep begitei
4.    Tun tuai nego, titik neliaro, debayeak bebaso
5.    Adat nakei, lembago besiing.

Dengan terdesaknya bahasa Rejang ragam adat seperti “Roh Tun Jang”  diatas maka tersingkir pula nilai budaya daerah yang demikian berfungsi menentukan tata kelakuan anggotanya. Nilai budaya menepati janji, saling tolong menolong, hormat menghormati, taat hukum ikut tergerus bersama punahnya ragam adat sebagai wahananya. Padahal dalam suatu masyarakat sistem nilai budaya mempunya fungsi sebagai pedoman tertinggi (wujud ideal kebudayaan) yang mengikat tingkah laku, norma, aturan hukum yang berlaku di masyarakat pendukungnya. Apabila ada sekelompok atau individu melanggar sistem nilai yang berlaku maka ia akan mendapat sanksi sesuai adat istiadat setempat.

D.2.Alternatif masalah
                     Memang tak dapat dipungkiri sesuatu budaya yang sudah berurat berakar dalam urat nadi anggotanya, kalau ada perubahan nilai budaya karena beberapa faktor tertentu penutur akan merasa kehilangan.  Kehilangan nilai budaya, “chaos culture” masa paling rawan bagi keberadaan suatu suku bangsa. Disinilah peran pengajaran Bahasa Indonesia menjadi alternatif mengganti nilai-nilai budaya baru ala “Indonesia”. Oleh karena itu, implementasi kurikulum 13 dengan metode C-L-I-L (content language integrated learning) yaitu pembelajaran tentang sains, geografi, sejarah melalui bahasa menjadi penting dan sangat sentral. Bahasa digunakan sebagai medium pengungkapan gagasan dan informasi serta fokus pada isi, menjadi tuntutan pembelajaran bahasa Indonesia pengusung nilai budaya baru.
                     Budaya baru ala Indonesia yang terkandung dalam bahasa Indonesia harus jelas arah dan tujuannya. Arah pembentukan karakter bangsa harus tampak pada pengajaran bahasa Indonesia, utamanya pada pembelajaran sastra berbasis budaya lokal. Pengajaran sastra berbasis budaya lokal akan membentuk kepribadian anak selaras dengan alam lingkungannya tanpa harus mengadopsi budaya asing yang belum tentu cocok. Disini perlu keseragaman guru dalam memahami pentingnya budaya lokal sebagai bahan ajar di sekolah dan juga frekwensi pembelajaran sastra yang kontinyu di setiap jam belajar. Apa pun kompetensi dasar yang dijadikan tema pembelajaran, produknya harus terlihat pada pengungkapan gagasan melalui bahasa sehari-hari, bahasa jurnalisitik dan sastra. Kalau disetiap pembelajaran tiga indikator produk pembelajaran bahasa tersebut muncul maka chaos cultural bukan sesuatu yang harus dirisaukan. Anak akan terbiasa mengungkapkan gagasan, ide-idenya sesuai bakat dan keinginginannya, yang berbakat jurnalis ia akan menulis dalam bentuk jurnalistik, yang berbakat sastra ia akan mengungkapkan melalui media sastra dst.

E.SIMPULAN DAN SARAN
                     Kehilangan nilai budaya yang menata pola perilaku kehidupan masyarakat, semua pemiliki budaya tentu sangat menyayangkannya. Hegemoni bahasa Indonesia yang demikian kuat mendesak bahasa daerah Rejang kalau tidak diantisipasi sejak dini mengakibatkan bahasa Rejang punah atau paling tidak akan kehilangan nilai budaya yang bersifat etika berbahasa. Kepunahan atau matinya suatu bahasa dimulai dari sedikit demi sedikit, juga turut pula musnah nilai budaya yang dikandungnya. Bahasa ragam adat Rejang yang tidak hanya mengalami pengeringan tapi kepunahan mempengaruhi tata kelakuan dan perilaku pendukungnya.
                     Untuk mengatasi problematika yang memprihatinkan ini, hendaknya pemamngku kepentingan segera membuat regulasi melalui pergub atau perbub wajibnya pembelajaran bahasa Rejang di seluruh jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Disarankan kepada pemerhati budaya, ahli bahasa agar dapat menindak lanjuti informasi yang disajikan dalam makalah ini












Daftar Pustaka

AM, Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : CV Rajawali, 1992.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Croft, Kenneth. 1980. Reading on English as a Second Language.Cambridge (Massachusetts) : Winthrop Publishers, inc.
Ekorusyono. 2913. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Buku Litera.
Ibrahim, ABD.Suykur. 1995. Sosiolinguistik, Sajian, Tujuan, Pendekatan dan Problem. Surabaya : Usaha Nasional.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
------------------------. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Jufrizal. Jurnal. Bahasa Minangkabau Ragam Adat : Ke arah “pengeringan” dalam himpitan Hegemoni Bahasa Indonesia. Linguistik Indonesia, tahun ke 22, no.2 Agustus 2004.
Rahayu, Ngudining. 1997. Kajian Pendahuluan Terhadap Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa di Enggano. Makalah pada seminar Bulan Bahasa UNIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar