HEGEMONI BAHASA INDONESIA PENGARUHNYA TERHADAP
NILAI BUDAYA DAERAH REJANG
Oleh : YY Ekorusyono
Budayawan
Abstrak
Masyarakat Rejang
memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam
khususnya bahasa ragam adat yang lebih dikenal sebagai serambeak.
Serambeak ini mengandung nilai budaya sangat tinggi. Akan tetapi, akhir-akhir
ini bahasa ragam adat ini semakin terdesak akibat hegemoni bahasa Indonesia.
Akibatnya terjadi “pengeringan” ragam adat ini hampir di seluruh wilayah
Rejang, tidak hanya berhenti sampai pada pengeringan ternyata tergeser pula
nilai budaya daerah Rejang yang demikian luhur. Makalah ini menunjukkan
data-data dan fakta terjadinya pergeseran bahasa ragam adat menyingkirkan pula
nilai budaya daerah Rejang dengan menggunakan teori dan kondisi nyata bahasa
daerah Rejang sekarang ini. Paparan ini diharapkan dapat merumuskan
langkah-langkah yang tepat dalam pemertahanan serambeak yang mengandung nilai
budaya luhur suku bangsa Rejang.
A.PENDAHULUAN
Suku bangsa Rejang memiliki bahasa tersendiri
sebagai alat komunikasi diantara mereka. Sesuai dengan nama sukunya, orang
orang menyebut bahasa yang dipakai sebagai “Bahasa Rejang” sebagaimana lazimnya
nama –nama bahasa di nusantara, bahasa Rejang termasuk rumpun bahasa Austria
Sub rumpun Austronesia bagian bahasa-bahasa Nusantara (barat) dengan jumlah
penutur 1.000.000 orang lebih yang tersebar di lima kabupaten di Provinsi
Bengkulu dan beberapa wilayah di kabupaten Provinsi Sumatera Selatan. Di
Provinsi Bengkulu wilayah penuturnya di kabupaten Lebong, Rejang Lebong,
Kepahiyang, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah sementara yang ada di Provinsi
Sumatera Selatan di kabupaten Musi Rawas tepatnya di kecamatan Bermani Ulu
Rawas dan beberapa marga di kabupaten Lintang Empat Lawang.
Ada
beberapa dialek bahasa Rejang yang kita kenal yaitu dialek Jang Lebong,dialek
Jang.Kepahiyang dan dialek Jang Pesisia. Tiga dialek ini satu dengan lainnya
bisa saling memahami hanya faktor geografis dan kesatuan petulai saja yang
berbeda. Dialek Jang Lebong dengan sub dialek jang Musei dan jang Awes meliputi
kabupaten Lebong dan Rejang Lebong dan sebagian kabupaten Musi Rawas disatukan
secara geografis oleh sungai Ketahun, Musi dan Kelingi dalam kesatuan
Jurukalang, Tubei sedangkan dialek Jang Kepahiyang (Kebon Agung) dengan sub
dialek Jang Empat Lawang meliputi Kabupaten Kepahiyang dan beberapa marga di
kabupaten Empat Lawang dalam kesatuan petulai Bermani dan dialek Jang Pesisia
meliputi wilayah kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah dalam kesatuan
petulai Selupu dan Bermani.
Bahasa
Rejang juga mengenal bahasa keadatan yang lebih dikenal sebagai serambeak,
bahasa ragam adat ini pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana pendidikan
sebelum adanya sekolah formal. Serambeak pada zaman keemasannya menjadi bahasa
keseharian dalam fungsi dan situasinya. Penutur bahasa Rejang secara aksiomatis
bergantian (campur kode) berbicara menggunakan bahasa Rejang biasa dengan
serambeak, baik dalam pembicaraan keluarga maupun di masyarakat. Oleh karena
itu, serambeak termasuk wahana pendidikan karena memenuhi kriteria seperti yang
dikemukakan Sardiman ((1992 : 8) “yang mengatakan bahwa sesuatu itu disebut
interaksi edukatif apabila interaksi itu secara sadar mempunyai tujuan untuk
mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya”.
Serambeak
sebagai bahasa keadatan akhir-akhir ini semakin tenggelam akibat hegemoni
bahasa indonesia. Pembicaraan dalam keluarga, dikalangan masyarakat tidak lagi
terdengar penutur menyelipkan serambeak di dalam pembicaraannya. Serambeak
hanya dapat kita dengar pada
peristiwa-peristiwa adat seperti sambutan perkawinan, penobatan raja, kendurai
dll. Itupun hanya terbatas pada serambeak yang berkait dengan penghormatan,
etika semata, serambeak yang mengandung nilai budaya luhur sudah bukan kering
lagi tapi mengalami mati suri.
Gejala
pengeringan dan kematian nilai budaya suku bangsa rejang ditinjau dari sudut
pandang sosiolinguistik hubungannya dengan etnolingustik. Bahasa dan kebudayaan
ibarat dua sisi keping dalam mata uang yang sama. Ada yang memasukkan bahasa
dalam salah satu unsur kebudayaan, sebaliknya ada yang memasukkan kebudayaan
bagian dari bahasa. Terlepas dari perdebatan itu, semua para ahli bahasa dan
antropologi sepakat bahwa budaya suatu bangsa tercermin pada bahasanya, jika
bahasanya berubah maka secara otomatis budayanya mengalami perubahan.
B.TINJAUAN PUSTAKA
DAN TEORI TERKAIT.
B.1.Tinjauan Pustaka
Kajian nilai budaya ini erat
kaitannya dengan tema tulisan Jufrizal (2004) yang membahas tentang keterdesakan
bahasa ragam adat Minangkabau akibat hegemoni bahasa Indonesia. Disini penulis
mencoba membahas kasus serupa di wilayah suku Rejang khususnya Jang pesisia
Kabupaten Bengkulu Utara. Bahasa Rejang ragam adat tidak hanya mengalami
“pengeringan” seperti ragam adat Minangkabau tapi lebih dari itu, “kematian”
ragam adat Rejang akibat hegemoni bahasa Indonesia turut musnah pula nilai
budaya luhur yang terkandung didalamnya. Tulisan ini diarahkan untuk melihat
pengaruh pergeseran bahasa terhadap sistem nilai budaya.
B.2.Tinjaun Teori
Terkait
Teori yang terkait langsung dengan
kajian ini (1) linguistik budaya, (2) retorika bahasa, dan (3) sistem nilai
budaya.
B.2.1.Linguistik
Budaya.
Linguistik budaya adalah ilmu yang
mempelajari bahasa kaitannya dengan budi daya/karya manusia/suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki sekelompok orang yang diwariskan secara turun
menurun. Bright 1968 ( dalam ibrahim, 1995:100-101) membuat skema hubungan
antara bahasa dan kebudayaan sebagai berikut :
Model Antropologi
BAHASA
ISI
Tingkah
laku Linguistik Fenomena
yg diperbincangkan
(kebanyakan non linguistik)
A b
EMIC Struktur Linguistik c Struktur Kebudayaan
Skema diatas menjelaskan hubungan a,
b, dan c di lapangan oleh para ahli Antropologi bahasa dikaitkan dengan
objek-objek nyata serta peristiwa yang ada dengan pola-pola organisasi
sebaliknya ahli bahasa adanya hubungan dari unit-unit leksikal terhadap satu
sama lain dan terhadap kebudayaan. Perubahan bahasa akan mempengaruhi isi,
artinya perubahan struktur linguistik turut pula mempengaruhi struktur
kebudayaan.
B.2.2.Retortika
Bahasa
Salah satu aspek cerminan budaya
suatu masyarakat nampak pada retorika bahasanya. Robet B. Kaplan (dalam Croft,
1980) mengemukakan tentang tipe-tipe retorika di dunia ini sesuai dengan budaya
yang mengandungnya sebagai berikut :
1.
Retorika
model Anglo-saxon bersifat linear.
2.
Retorika
model semitik budaya Arab Persia diwarnai dengan penggunaan paralisme yang
berkelebihan.
3.
Retorika
model Asia, melihat masalah inti dari beberapa sisi secara tidak langsung atau
berpikir yang tidak langsung kepada inti persoalan.
4.
Retorika
model Franco-Italiano, bersifat berbunga-bunga, boros dengan kata-kata yang
terkadang tidak menyentuh masalah intinya.
Kita termasuk model
retorika Asia yang bersifat tidak langsung pada inti permasalahan,
berputar-putar atau penggunaan kiasan (sanepo=jawa) untuk mengungkapkan suatu
permasalahan apalagi yang bersifat mengkritik atasan atau orang tua/yang lebih
tua. Ciri ketidaklinieran retorika kita akibat dari budaya kita yang juga masih
kurang dapat menerima keterusterangan dan keterbukaan.
B.2.3.Sistem Nilai
Budaya
Nilai budaya setiap suku bangsa
berbeda satu dengan lainnya, di suatu suku bangsa tertentu akan memandang tinggi
dan terhormat bila seseorang/masyarakat melakukan kegiatan tertentu tapi
sebaliknya di suatu suku bangsa lainya dipandang biasa saja. Nilai budaya
termasuk adat istiadat yang paling abstrak, Koentjaraningrat (1982:11) membagi
adat istiadat menjadi empat tingkat “(1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat
norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan hukum”. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (2009:153) mendendefinisikan nilai budaya sebagai berikut :
Nilai
budaya adalah lapisan pertama dari kebudayaan yang ideal, berupa ide-ide yang
mengonsepsikan hal-hal paling bernilai dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dan tumbuh
dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dan berkait erat dengan
hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
Sistem nilai budaya selain memiliki
kedudukan tinggi dalam masyarakat juga bersifat universal. Clide Kluckhohn
menyusun kerangka mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan
orientasi nilai budaya manusia seperti diuraikannya dalam tabel dibawah ini :
Masalah
dasar
Dalam
Hidup
|
Orientasi Nilai Budaya
|
||
Hakikat
Karya
(HK)
|
Karya
itu untuk
Nafkah
hidup
|
Karya
itu untuk
Kedudukan,
Kehormatan, dsb.
|
Karya
itu untuk menambah karya
|
Persepsi
manusia
Tentang
waktu (MW)
|
Manusia
tunduk Kepada alam yang dahsyat
|
Orientasi
ke masa lalu
|
Orientasi
ke masa depan
|
Pandangan
Manusia terhadap Alam (MA)
|
Manusia
tunduk Kepada alam Yang dahsyat
|
Manusia
menjaga Keselarasan dengan alam
|
Manusia
berusaha menguasai alam
|
Hakikat
hubungan manusia dengan sesamanya (MM)
|
Orientasi
kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong
royong)
|
Orientasi
vertika, Rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
|
Individualisme
menilai tinggi Usaha atas Kekuatan sendiri
|
Sumber :
Kontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 2009 hal. 157
Dalam suatu
masyarakat sistem nilai budaya mempunyai fungsi sebagai pedoman tertinggi
(wujud ideal kebudayaan) yang mengikat tingkah laku, norma, aturan hukum yang
berlaku di masyarakat pendukungnya. Apabila ada sekelompok atau individu
melanggar sistem nilai yang berlaku maka ia akan mendapat sanksi sesuai adat
istiadat setempat.
C. METODE DAN TEKNIK
Tulisan ini mengkaji hubungan bahasa dan budaya,
data-data di ambil dari lapangan langsung wilayah Rejang kota Argamakmur.
Data-data dikaji secara etnolinguistik yang mendeskripsikan hubungan bahasa dan
budaya melalui teknik simak libat cakap dan catatan. Fenomena bahasa yang diperhatikan
kegiatan penutur asli suku Rejang dianalisis secara tertulis naratif dan
argumentatif.
D.PEMBAHASAN
Akulturasi budaya pada masa sekarang ini suatu
yang tak terelakkan, mobilitas masyarakat satu dengan lainnya frekwensinya
semakin meningkat. Kecanggihan alat media makin mempercepat proses akulturasi
khususnya bahasa sebagai alat komunikasi. Perubahan bahasa juga mempengaruhi
perubahan budaya begitu sebaliknya. Artinya, budaya suatu bangsa tercermin pada
bahasanya, jika bahasanya berubah maka secara aksiomatis budayanya mengalami
perubahan.
Perubahan budaya dalam hal ini terdesaknya
Bahasa daerah dalam istilah kebahasaan terjadinya pergeseran dari bahasa daerah
ke arah Bahasa Indonesia. Pergeseran bahasa ini tentu diduga pula terjadi
perubahan nilai-nilai budaya, jikalau yang terdesak adalah bahasa daerah tentu
timbul kegoncangan budaya di daerah. “Shock Culture” di daerah inilah yang
dirasakan oleh tetua dan generasi muda yang tidak mau tercerabut dari akar
budaya daerahnya. Sebagai contoh : Siapakah kamu ? pertanyaan dalam bahasa
Indonesia itu terkesan sederhana, tapi akan lain dirasakan jikalau pertanyaan
itu diucapkan oleh suku Serawai, terlebih lagi pertanyaan itu ditujukan kepada
orang yang lebih tua. Kata “kamu” memiliki makna kasar, kurang sopan, jadi
hanya bisa digunakan untuk kawan sebaya, padahal apa yang diucapkan benar
sesuai kaidah bahasa Indonesia. Ada suatu nilai budaya yang dirasakan hilang
oleh masyarakat Serawai dengan adanya fenomena generasi muda tidak lagi
memiliki kemampuan menggunakan bahasa Daerah sesuai dengan fungsi dan
situasinya.
Koentjaraningrat (2009: 153) mendefinisikan
“sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak
dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep
mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan
para warga masyarakat tadi”. Bisa dibayangkan jika yang terdesak bukan hanya
masalah makna seperti kasus diatas tetapi bahasa/istilah/kata bahasa daerah
yang musnah tergantikan dengan bahasa Indonesia. Tentu perubahan itu
mengakibatkan pergeseran nilai budaya dan pola perilaku.
Gejala
ini dapat dibuktikan pada bahasa Rejang “Swarang pantang stumang”yang artinya
pantang tidak menolong saudaranya yang kesusahan. Sekarang ini masyarakat
Rejang jarang atau tidak pernah menggunakan istilah tersebut karena sudah
diganti dengan bahasa Indonesia “ gotong royong”. Walaupun maknanya sama tapi
nilai budayanya berbeda, tempo dulu semboyan swarang pantang stumang mampu
mengejawantah pada pola perilaku masyarakat pendukungnya. Pola perilaku
terlihat pada peristiwa perkawinan adat kejai misalnya, warga tidak mampu bisa melaksanakan “Bimbang
Kejai” selama tujuh hari tujuh malam. Kemampuan itu terwujud karena nilai
budaya pantang tidak menolong yang terkandung dalam semboyan swarang pantang
stumang. Ada yang membawa beras, ayam, itik, kopi, gula dll kebutuhan makan
minum, ada yang menyumbangkan tari-tarian mulai dari hari ketiga dan keempat.
Hari pertama semereak kunik dan temuun ketambuak yakni membentuk panitia dan
masing-masing tugasnya dan menurunkan alat musik kelintang, hari kedua baru
gotong royong menegakkan tarub dan bahan-bahan masakan seperti buluh, daun
pisang, bumbu-bumbu dll. hari kelima memotong hewan kurban, hari keenam akad
nikah sebagai puncak acara dan hari ketujuh gotong royong membuka tarub dan
mengembalikan barang-barang pinjaman. Saat ini “bimbang kejai” hanya bisa
dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan, perhelatan selama tujuh hari
tujuh malam jelas menelan biaya tidak sedikit.
Kalau
kita perhatikan dengan bergesernya swarang pantang stumang diganti dengan
gotong royong maknanya mengalami penyempitan. Gotong royong dimaknai sebagai
kerja bakti bersifat sukarela sedangkan swarang pantang stumang bersifat
mengikat dan ada sanksi adat bagi yang melanggarnya. Swarang pantang stumang
mempunyai makna luas yakni gotong royong mulai dari hari pertama sampai
ketujuh, sedangkan makna “gotong royong” hanya tampak pada hari kedua dan
ketujuh. Secara aksiomatis pola perilaku masyarakat pendukungnya ikut berubah,
tidak ada lagi sumbangan hiburan selama dua hari, tidak ada lagi sumbangan ubo
rampe kebutuhan makan minum selama kejai berlangsung. Kondisi ini bukan
satu-satunya faktor adat bimbang kejai ditinggalkan anggota pendukungnya, akan
tetapi faktor pergeseran bahasa faktor kunci perubahan itu.
D.1.Hegemoni bahasa Indonesia
Keterdesakan Bahasa Serawai
dan Rejang akibat hegemoni Bahasa Indonesia itu suatu dinamisasi wajar dalam
hubungan dua bahasa yang saling bersinggungan secara intens. Dua bahasa yang
resmi digunakan saling imbas mengimbas satu dengan lainnya hampir merata
terjadi bukan hanya di Serawai atau Rejang saja tapi terjadi juga di tempat
lain. Dapat dicontohkan disini, keterdesakan Bahasa Mentawai akibat hegemoni
bahasa Minangkabau yang dibawa oleh para pejabat mayoritas suku Minang. Orang
Mentawai akan bangga dan terhormat kalau fasih berbicara bahasa Minang yang
dipandang sebagai bahasa tinggi/bahasa prestise. Begitu juga yang terjadi di
kepulauan Enggano, Rahayu (1997) dalam kajian pendahuluan pemertahanan dan
pergeseran di Enggano mengemukakan “disana ditemui bahwa masyarakat Enggano
lebih menyukai menggunakan Bahasa Indonesia untuk fungsi dan tujuan yang lebih
luas di luar komunikasi internal keluarga. Secara kasar masyarakat Enggano
lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dibanding menggunakan bahasa asli 60%
: 40%”.
Kuatnya
hegemoni bahasa Nasional dapat kita contohkan pada pergeseran penggunaan
kata-kata dalam bahasa Rejang yang seharusnya bisa dengan bahasa daerah tapi
masyarakat lebih senang memilih bahasa Indonesia. Keterdesakan leksikon dalam
Bahasa Rejang yang dalam pemakaiannya digantikan leksikon bahasa Indonesia
terlihat sebagai berikut :
Yang sering
digunakan
|
Yang seharusnya dalam bahasa
Rejang
|
Amal
|
Ama
|
Lapor
|
Adeu
|
Kain (sarung)
|
Poi
|
Celano
|
Seruwea
|
Bos
|
Sep
|
Sopir
|
Supir
|
Adil
|
Suceng
|
Sunatan
|
Seluweng
|
Keterdesakan bersifat
menggantikan seperti contoh tersebut diatas jelas mempengaruhi keberadaan dan
kebertahanan bahasa Rejang kedepan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masyarakat
Rejang “tuna harga diri”, Koentjaraningrat (dalam Abdul Chaer, 2010: 170)
menyatakan sebagai berikut :
Sikap tuna harga diri
berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai milik
orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa di mana
karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan
bahasa asing, dan menomorduakan bahasa sendiri.
Masyarakat Rejang pada
umumnya kurang memperhatikan kebertahanan bahasanya sendiri, dalam pergaulan
sehari-hari khususnya di perkotaan mereka lebih sering menggunakan bahasa
Indonesia dibanding bahasa Rejang. Maka wajar dan masuk akal kalau ada seorang
ahli bahasa (linguistik) berani mengatakan bahwa bahasa Rejang akan punah 20-30
tahun ke depan.
Dalam perspektif pemakaian bahasa Rejang ragam
adat lebih parah lagi, hampir di setiap wilayah Rejang pemakaiannya terbatas
pada acara-acara adat tertentu. Itupun sebagian besar kalangan muda tidak tahu
lagi arti dan nilai budayanya. Hanya orang-orang tua, tokoh adat yang masih
bisa mengikuti bahasa Rejang ragam adat yang disampaikan. Sebagai contoh pada
waktu penobatan raja Jang Pesisia, Ekorusyono (2013: 259) disana digunakan
bahasa Rejang ragam adat (serambeak) sebagai berikut : Dio ade iben depicik nik, bakeak
depicak alus, iben depicik nik tando kemearok, bakeak depicak alus tando keme
bekinoi uku madep kumu yo minoi maaf seto apun. Uku neriteak dik tuai-tuai uleak
yo leak lai, do tuai-tuai yo teak teminggea pesen ngan manat kareno mungkin
omor cigai dik gik an igai, ataupun lak madeak ireak ngan ca’o. Kareno doo
tuai-tuai yo meraso bekecek bi apai, bekadeak cigai dik mengasai, anak-anak
kutai jang pesisia melayang akuak lalang, coa tau igai bumai gik nelat. Lak
betanye coa “penan betumbuk” gawe coa bakea gik mikut. Dalen bi kelem akuak
bulen teleau punguk, tingea bisuluak ngan pun pisang. Cigai dalen nam keme
tempuak doo ba keme lak minoi tulung ngan udi gik ade, kareno picang udi gik
jaang, pekik udi gik nyaing. Pemakaian bahasa Rejang
ragam adat seperti diatas hampir jarang digunakan atau boleh dikatakan
mendekati punah. Padahal ragam adat tersebut mengandung seni berbahasa dan
nilai budaya tinggi, keindahan bahasanya mengandung tiga hal :
1.
Rasa hormat, penghormatan kepada para tamu/yang dituakan. Nilai budaya
ini terlihat pada kutipan berikut,” Dio
ade iben depicik nik, bakeak depicak alus, iben depicik nik tando kemearok,
bakeak depicak alus tando keme bekinoi uku madep kumu yo minoi maaf seto apun”.
(Ini
ada sirih seiris halus, pinang seiris. Sirih seiris halus tanda kami suka,
pinang pertanda harapan. Saya menghadap bapak minta maaf beserta ampun).
2.
Sopan santun (etika berbicara) tampak pada
baris berikutnya,” Uku neriteak dik
tuai-tuai uleak yo leak lai, do tuai-tuai yo teak teminggea pesen ngan manat
kareno mungkin omor cigai dik gik an igai, ataupun lak madeak ireak ngan ca’o.
Kareno doo tuai-tuai yo meraso bekecek bi apai, bekadeak cigai dik mengasai. (Saya
diperintahkan oleh yang tua-tua pekerjaan ini kerja besar. Yang tua-tua entah
ingin berpesan atau ingin beramanah karena yang tua-tua merasakan mungkin umur
tidak lama lagi, ataupun mau berkata tidak ada tempat dan cara lagi. Karena
itulah orang tua-tua ini merasa berkata tak ada bobotnya, jadi saya berbicara
ini habis tidak ada pilihan lagi).
3.
Tradisi retorika Rejang tampak pada penyampaian maksud dengan bahasa
daun sebagai berikut,”anak-anak
kutai jang pesisia melayang akuak lalang, coa tau igai bumai gik nelat. Lak
betanye coa “penan betumbuk” gawe coa bakea gik mikut. Dalen bi kelem akuak
bulen teleau punguk, tingea bisuluak ngan pun pisang. Cigai dalen nam keme
tempuak doo ba keme lak minoi tulung ngan udi gik ade, kareno picang udi gik
jaang, pekik udi gik nyaing”.( Untuk diketahui masyarakat
Rejang pesisir ini sekarang melayang bak bunga ilalang, tak tentu angin hendak
membawa, bumi tempat berpijak. Ingin bertanya tak ada yang bakal mau menjawab,
jalan gelap ibarat burung pungguk mengharap terang di bulan ketiga, tinggal besuluh batang pisang. Tidak ada
jalan yang dapat kami tempuh kecuali pada bapak-bapak yang masih energik,
karena kami tahu langkah bapak masih panjang, suara bapak-bapak masih di
dengar).
Pergeseran bahasa Rejang
ragam adat pengaruhnya sangat terasa terhadap hilangnya nilai budaya sopan
santun, etika dan rasa hormat. Kehilangan sesuatu yang bernilai tentu
menyebabkan kegoncangan di tengah para anggotanya. Akan terjadi kesalahpahaman
dalam cara pandang antara anggota pemilik nilai budaya lama dengan generasi pengusung nilai budaya baru. Penutur
bahasa Rejang ragam adat menggunakan retorika model Asia, berputar-putar tidak
langsung pada inti permasalahan. Sementara anak-anak muda ingin langsung pada
inti permasalahan dengan retorika model Anglo-Saxon. Orang tua sebagai wakil
pemilik ragam adat memandang penggunaan bahasa anak-anak muda, langsung pada
inti masalah, yang apa adanya sebagai cara tidak sopan, kurang hormat, tidak
beretika, kurang beradab.
Disinilah terjadi pergeseran bahasa mempengaruhi
perubahan nilai budaya Rejang. Bahasa Rejang ragam adat dalam pandangan anak
muda tidak efisien, berbelit-belit, tidak jelas, padahal bahasa ragam adat
mengandung nilai budaya sopan santun dan etika sedangkan anak muda dengan
retorikanya mengabaikan nilai budaya itu.
Mereka lebih cenderung linear, apa adanya, efisien tidak bertele-tele.
Sebagai contoh, bimbang kejai pada hari akad nikah hari keenam bisa berlangsung
sangat lama dan melelahkan, sambutan-sambutan menggunakan bahasa Rejang ragam adat
memakan waktu tersendiri padahal kalau pakai bahasa Rejang biasa atau Bahasa
Indonesia paling lama 1-2 Jam saja.
Perubahan retorika ini jelas menunjukkan adanya perubahan budaya, karena
budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya. Argumentasi tersebut selaras
dengan gagasan Edward Sapir dan Worf (1974, dalam Abdul Chaer)) yang mengatakan
“bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya”.
Bahasa Rejang ragam adat mengandung nilai budaya
menghargai, sopan santun dan etika. Pengungkapan dengan ragam adat
merefleksikan rasa hormat, kesopanan dan beretika dalam pergaulan khususnya
pada situasi tertentu. Artinya “keterdesakan” bahasa Rejang ragam adat sama
dengan masyarakat Rejang sekarang ini kurang berbudaya atau dalam bahasa
kasarnya tidak beradab. Ketidakberadaban akibat hegemoni bahasa Indonesia
terhadap bahasa Rejang ragam adat tentu menimbulkan kegoncangan budaya
pemakainya dan keadaan ini tentu perlu mendapat perhatian serius dari semua
pihak.
Keterdesakan ragam adat dimungkinkan karena anak-anak
muda mendapatkan pendidikan yang kiblat berpikirnya model retorika Anglo-Saxon.
Situasi serupa juga dialami anak-anak muda Solo dan Yogyakarta, mereka sudah
hilang Jawanya (ora njawani) karena tidak bisa menggunakan parama sastra
(nyastro) Jawa yang nota bene retorika model Asia. Perubahan nilai budaya ini
dampaknya merubah pola perilaku pendukungnya, wajar kalau orang-orang tua
khawatir dan mengalami kekagetan budaya. Pengungkapan anak-anak muda yang
linear, to the poin, langsung pada inti dianggap tidak sopan dan menghargai
orang tua, sementara anak muda memandang sebaliknya seperti yang dikemukakan
Jufrizal (2004 : 175 ) berikut :
1. Bahasa Rejang ragam
adat terlalu berbelit-belit, sehingga kurang praktis.
1.
Bahasa Rejang ragam adat
tidak perlu lagi dan jika diperlukan hanya untuk orang-orang tertentu saja.
2.
Bahasa Rejang ragam adat
susah penafsirannya, sehingga rumit dan terkesan tidak ekonomis.
3.
Sebagian makna yang
termuat dalam bahasa Rejang ragam adat bisa diganti dengan bahasa yang lebih
sederhana, atau diganti dengan bahasa Indonesia.
Menurut pandangan
anak-anak muda berdasarkan pola pikir yang dipelajarinya, kita harus menghargai
waktu, bertindak efisien. Pola perilaku anak muda itu, sangat tidak sesuai
dengan “Roh Tun Jang” atau jiwa Rejang. Roh tun Jang adalah nilai budaya
yang menghargai kemandirian, tepat janji, keharmonisan, jiwa satria taat hukum
dilambangkan dengan semboyan sebagai berikut :
1.
Kecek
negong, janjai tenunggau
2.
Bekijem
bebelek, bekinai dapet bae
3.
Sumbing
betitip, putus besambung, lenyep begitei
4.
Tun
tuai nego, titik neliaro, debayeak bebaso
5.
Adat
nakei, lembago besiing.
Dengan terdesaknya
bahasa Rejang ragam adat seperti “Roh Tun Jang”
diatas maka tersingkir pula nilai budaya daerah yang demikian berfungsi
menentukan tata kelakuan anggotanya. Nilai budaya menepati janji, saling tolong
menolong, hormat menghormati, taat hukum ikut tergerus bersama punahnya ragam
adat sebagai wahananya. Padahal dalam suatu masyarakat sistem nilai budaya
mempunya fungsi sebagai pedoman tertinggi (wujud ideal kebudayaan) yang
mengikat tingkah laku, norma, aturan hukum yang berlaku di masyarakat
pendukungnya. Apabila ada sekelompok atau individu melanggar sistem nilai yang
berlaku maka ia akan mendapat sanksi sesuai adat istiadat setempat.
D.2.Alternatif
masalah
Memang tak dapat dipungkiri sesuatu budaya
yang sudah berurat berakar dalam urat nadi anggotanya, kalau ada perubahan
nilai budaya karena beberapa faktor tertentu penutur akan merasa
kehilangan. Kehilangan nilai budaya,
“chaos culture” masa paling rawan bagi keberadaan suatu suku bangsa. Disinilah
peran pengajaran Bahasa Indonesia menjadi alternatif mengganti nilai-nilai
budaya baru ala “Indonesia”. Oleh karena itu, implementasi kurikulum 13 dengan
metode C-L-I-L (content language integrated learning) yaitu pembelajaran
tentang sains, geografi, sejarah melalui bahasa menjadi penting dan sangat
sentral. Bahasa digunakan sebagai medium pengungkapan gagasan dan informasi
serta fokus pada isi, menjadi tuntutan pembelajaran bahasa Indonesia pengusung
nilai budaya baru.
Budaya
baru ala Indonesia yang terkandung dalam bahasa Indonesia harus jelas arah dan
tujuannya. Arah pembentukan karakter bangsa harus tampak pada pengajaran bahasa
Indonesia, utamanya pada pembelajaran sastra berbasis budaya lokal. Pengajaran
sastra berbasis budaya lokal akan membentuk kepribadian anak selaras dengan
alam lingkungannya tanpa harus mengadopsi budaya asing yang belum tentu cocok.
Disini perlu keseragaman guru dalam memahami pentingnya budaya lokal sebagai
bahan ajar di sekolah dan juga frekwensi pembelajaran sastra yang kontinyu di
setiap jam belajar. Apa pun kompetensi dasar yang dijadikan tema pembelajaran,
produknya harus terlihat pada pengungkapan gagasan melalui bahasa sehari-hari,
bahasa jurnalisitik dan sastra. Kalau disetiap pembelajaran tiga indikator
produk pembelajaran bahasa tersebut muncul maka chaos cultural bukan sesuatu
yang harus dirisaukan. Anak akan terbiasa mengungkapkan gagasan, ide-idenya
sesuai bakat dan keinginginannya, yang berbakat jurnalis ia akan menulis dalam
bentuk jurnalistik, yang berbakat sastra ia akan mengungkapkan melalui media
sastra dst.
E.SIMPULAN DAN SARAN
Kehilangan
nilai budaya yang menata pola perilaku kehidupan masyarakat, semua pemiliki
budaya tentu sangat menyayangkannya. Hegemoni bahasa Indonesia yang demikian
kuat mendesak bahasa daerah Rejang kalau tidak diantisipasi sejak dini
mengakibatkan bahasa Rejang punah atau paling tidak akan kehilangan nilai
budaya yang bersifat etika berbahasa. Kepunahan atau matinya suatu bahasa
dimulai dari sedikit demi sedikit, juga turut pula musnah nilai budaya yang
dikandungnya. Bahasa ragam adat Rejang yang tidak hanya mengalami pengeringan
tapi kepunahan mempengaruhi tata kelakuan dan perilaku pendukungnya.
Untuk
mengatasi problematika yang memprihatinkan ini, hendaknya pemamngku kepentingan
segera membuat regulasi melalui pergub atau perbub wajibnya pembelajaran bahasa
Rejang di seluruh jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah
menengah atas. Disarankan kepada pemerhati budaya, ahli bahasa agar dapat
menindak lanjuti informasi yang disajikan dalam makalah ini
Daftar Pustaka
AM,
Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : CV
Rajawali, 1992.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik,
Perkenalan Awal. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Croft, Kenneth. 1980. Reading on English as a Second Language.Cambridge
(Massachusetts) : Winthrop Publishers, inc.
Ekorusyono. 2913. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Buku
Litera.
Ibrahim, ABD.Suykur. 1995. Sosiolinguistik, Sajian, Tujuan,
Pendekatan dan Problem. Surabaya : Usaha Nasional.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
------------------------. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Jufrizal. Jurnal. Bahasa Minangkabau Ragam Adat : Ke arah
“pengeringan” dalam himpitan Hegemoni Bahasa Indonesia. Linguistik
Indonesia, tahun ke 22, no.2 Agustus 2004.
Rahayu, Ngudining. 1997. Kajian Pendahuluan Terhadap
Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa di Enggano. Makalah pada seminar
Bulan Bahasa UNIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar