Bagi
yang berminat membeli bukunya hubungi :
HP : 081278859095
Email : yy.ekorusyono@yahoo.com
|
Judul Buku :
Mengenal Budaya Enggano
Penulis :
YY. EKORUSYONO
Cetakan pertama : 2006
Cetakan kedua :
2013
Cetakan ketiga :
2015
Halaman :
x +190 ; 14 x 21 cm
ISBN :
978-602-7636-38-5
Penerbit :
Buku Litera, Yogyakarta
Ringkasan
Buku
1.Pendahuluan
Enggano
adalah sebuah kepulauan terpencil menyimpan keunikan budaya tersendiri dan
cenderung tak tersentuh oleh derasnya gelombang budaya globalisasi. Letaknya di samudera Indonesia sebelah barat
pulau Sumatera pada 102’05 derajat sampai dengan 102’25 derajat Bujur Timur dan
5’17 derajat sampai dengan 5’31 derajat Lintang Selatan; dengan luas wilayah
680 Km bujur sangkar; panjang 40 km dan lebar 17 km. Pulau ini dihuni oleh 2406 jiwa dari 619 KK,
tingkat kepadatan penduduk 3,81 km/jiwa. Iklim tropis basah, dengan curah hujan
rata-rata 3.800mm/per tahun, kelembaban udara 83% sampai 88%. Keadaan tanahnya subur dan sebagian berbatu
karang tidak bergunung, mengalir beberapa sungai besar dan kecil yang airnya
bersih. Keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari kawasan hutan yang mencapai
33.120 Ha sedangkan tanah yang dihuni dan dimanfaatkan kurang lebih 7.050 Ha.
Pulau Enggano termasuk wilayah pemerintahan
Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu.
Secara administratif, pulau Enggano merupakan sebuah kecamatan yang
terdiri dari enam desa, yaitu desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok, dan
Banjarsari. Tiap-tiap desa dikepalai oleh seorang kepala desa. Berbeda dengan
pemerintahan wilayah lainnya di Bengkulu, pemerintahan desa di Enggano tidak mengenal
RT dan RW. Semua urusan langsung ditangani kepala desa mengingat penduduknya
yang masih sedikit. Seorang kepala desa memerintah sekitar 40 sampai 50 rumah
atau KK. Desa yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh rimba dan semak belukar. Transportasi
dari satu desa ke desa yang lainnya masih didominasi angkutan laut berupa
perahu ‘ketek’ dengan muatan 1 ton atau 10 sampai 20 orang. Dalam cuaca bagus
perahu ‘ketek’ mampu mengelilingi pulau dalam waktu 12 jam, akan tetapi
sekarang dengan adanya pengerasan jalan, tranportasi beralih ke tranportasi
darat.
Penduduk Kecamatan Enggano mayoritas penduduk
asli dan sebagian kecil pendatang. Penduduk asli ada lima suku yaitu suku Kauno, Kaitora, Kaarubi, Kaharuba dan
Kahaoa. Sementara kaum pendatang baik dari suku apapun di luar penduduk
asli dimasukkan dalam suku tersendiri yang disebut suku Kamay. Setiap suku
dikepalai oleh seorang kepala suku dan dibantu oleh beberapa kepala pintu
suku. Kepala-kepala suku dipimpin oleh
seorang pemimpin tertinggi yang disebut Paabuki
dengan masa kepemimpinan 6 bulan digilir secara bergantian di antara kepala
suku yang ada. Kepala suku masa kepemimpinannya seumur hidup, begitu juga
kepala pintu suku (kap kaudar). Bila
kepala suku meninggal, ia berhak menunjuk penggantinya atau menyerahkan
pemilihannya kepada ‘kepala pintu suku’. Demikian halnya dengan proses
pemilihan kepala pintu suku. Tiap-tiap suku berbeda jumlah kepala pintu
sukunya, ada yang hanya satu pintu ada yang empat pintu. Suku Kauno ada tiga
pintu suku yakni kap kaudar Kapururu, kap
kaudar Kaduai, dan kap kaudar Nahyeah
Pabuuy. Sama halnya suku Kaarubi
yang juga terdiri dari tiga pintu suku, yaitu kap kaudar Ahipe, kap kaudar Abobo, dan kap kaudar Kaanaine. Suku Katora hanya ada satu pintu yaitu kap kaudar Kaitora, demikian pula suku
Kaharuba yang hanya memiliki satu pintu, kap
kaudar Kaharuba. Suku Kahaoao ada lima pintu suku, yakni kap kaudar Khadoa, kap kaudar Eyo’oppo, kap
kaudar Kakore, kap kaudar Kamanihun, dan kap kaudar Kakionna. Suku
Kamay, sebagai suku pendatang dibagi berdasarkan wilayah yaitu satu kap kaudar wilayah bagian barat dan satu
kap kaudar wilayah timur.
Bahasa Enggano adalah satu-satunya alat
komunikasi di pulau ini sebelum masuknya pengaruh bahasa Indonesia. Bahasa ini
oleh para ahli bahasa digolongkan bahasa akek
atau bahasa orang utan karena tidak dikenal. Jumlah pemakai terbesar bahasa
Enggano ada di dua desa yaitu Apoho dan Meok. Sedikit di Kaana, Malakoni, dan
Banjarsari. Bila ditotal dari seluruh penduduk kurang lebih 60 % yang masih
aktif berbahasa Enggano sisanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pergaulan sehari-hari.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimanakah kearifan budaya (local
genius) masyarakat kepulauan Enggano yang mampu bertahan dari serbuan budaya
luar ? “.
2.Metodologi penulisan buku
Metode yang digunakan adalah jenis
penelitian kualitatif etnografi, Kontjaraningrat (2000 : 329) mendefinisikan
“etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa”.
Penelitian yang berkaitan dengan suatu suku bangsa bisa menyeluruh apabila
jumlah penduduknya sangat sedikit dibawah satu jutaan orang dan sebagiannya
saja kalau jumlah penduduknya besar seperti Jawa, Sunda dll. JA Clifton (dalam
Koentjaraningrat, 2000 : 330-331) memberi pedoman untuk menentukan batas-batas
dari masyarakat, bagian suku bangsa yang menjadi pokok dan lokasi nyata dari
deskripsi etnografi sebagai berikut :
1.
Kesatuan
masyarakat yang dibatasi oleh suatu desa atau lebih.
2.
Kesatuan
masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu
dialek bahasa.
3.
Kesatuan
masyarakat yang dibatasi oleh garis batas satu daerah politikal administratif.
4.
Kesatuan
masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri.
5.
Kesatuan
masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah
fisik.
6.
Kesatuan
masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi.
7.
Kesatuan
masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama.
8.
Kesatuan
masyarakat dengan frekwensi interaksinya satu dengan yang lainnya merata
tinggi.
9.
Kesatuan
masyarakat dengan susunan sosial yang seragam.
Masyarakat
Enggano selain penduduknya sedikit juga satu masyarakat yang ditentukan oleh
wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik (kepulauan Enggano). Oleh
karena itu, kebudayaan masyarakat Enggano dapat dideskripsikan secara utuh.
Para ahli bidang kajian etnografi dalam ruang lingkup Antropologi Budaya,
khususnya Koentjaraningrat (2005 : 333) memberikan pedoman ruang lingkup
deskripsi secara utuh sekurang-kurangnya, kerangka buku yang akan ditulis
mencakup :
1.
Lokasi,
lingkungan alam dan demografi
2.
Asal mula dan
sejarah suku bangsa
3.
Bahasa
4.
Sistem teknologi
5.
Sistem mata
pencaharian
6.
Organisasi
sosial/adat istiadat
7.
Sistem
pengetahuan
8.
Kesenian
9.
Sistem religi
Untuk
mendapatkan data penelitian dilakukan langsung terjun di lapangan, hidup
bersama masyarakat bertahun-tahun lamanya (penulis hidup di Enggano 2 tahun). Kerja lapangan dilakukan untuk menjaga
kredibilitas dan apabila di konfirmabilitas, hasil penelitian dapat dibuktikan
kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan
dicantumkan dalam buku.
3.Hasil Penelitian/Pembahasan.
Asal mula masyarakat Enggano diduga kuat
berasal dari China daratan, dugaan itu didukung bukti dengan ditemukannya mata
uang logam China kuno berangka tahun 421 M yang bertuliskan Chien Ma di
Enggano. Dugaan kuat rombongan yang terdampar di pulau Enggano bagian dari
eksodus Pangeran-pangeran dari China yang melarikan diri dari situasi gejolak
dalam negeri China pasca runtuhnya Dinasti Han 220 M. Juga diperkuat oleh arti
istilah” Enggano” (bahasa China kuno) rusa bertanduk sebagai penggambaran bahwa
wanita-wanitanya berdandan dengan rambut dikepang dua yang menonjol keatas,
artinya dandanan seperti ini pada masa itu hanya dikenal di daratan China. Bisa
disimpulkan bahwa nenek moyang orang Enggano berdasarkan fakta-fakta sejarah
berasal dari China daratan, mereka eksodus melalui jalur pelayaran dari Yunan menyusuri anak
sungai Mekhong dan anak sungai Yang Tse Kiang tiba di Rangoon Birma menuju ke
Indonesia melalui kepulauan Andaman dan kepulauan Nicobar di teluk Benggala
kemudian memasuki kepulauan Nias, kepulauan Mentawai dan mendarat/terdampar di
pulau Enggano.
Kepercayaan
masyarakat Enggano sampai saat ini masih percaya pada Roh Leluhur. Roh
leluhur oleh masyarakat Enggano diyakini memberi perlindungan, keselamatan dan
menjauhkan mereka dari segala mara bahaya. Ia tempat mengadu dan meminta
pertolongan untuk keluar dari segala macam kesulitan. Di setiap
kegiatan-kegiatan penting seperti membangun rumah, membuka lahan baru, memanen
tanaman, membuat jalan, berpergian baik sendirian maupun rombongan, berburu dan
lain-lain. Selalu meminta izin dan restu dari roh leluhur. Tidak ada satu kegiatan
pun yang tidak melibatkan peran roh leluhur. Dalam berkomunikasi dengan roh
leluhur mereka tidak menggunakan sesajen layaknya kepercayaan serupa di lain
tempat.
Orang Enggano menganggap nenek moyang mereka
yang telah mati masih hidup di dunia suci. Dunia yang tidak tampak, tidak bisa
dijamah oleh sembarang orang. Roh-roh mereka hidup dalam tatanan alam semesta
berbahagia, memiliki kekuatan, bisa diajak berkomunikasi. David Hicks (1985:30)
menjelaskan dunia rekaan masyarakat yang tertata adalah suatu dunia atau sistem
tatanan yang sudah selesai diciptakan dan dia menyebutnya dengan istilah
kosmos. Orang Enggano menyatakan bahwa roh-roh itu mendiami dunia kosmos tetapi
masih di wilayah mereka. Jadi komunikasi bisa dilakukan setiap saat seperti
halnya orang beragama berkomunikasi dengan Tuhan. Bedanya komunikasi kepada roh
leluhur hanya bisa dilakukan oleh elite-elite masyarakat seperti kepala suku,
kepala pintu suku atau tokoh adat. Monopoli hubungan kepada alam gaib semakin
menambah otoritas kewibawaan sekaligus kepercayaan masyarakat pada mereka.
Dari kepercayaan pada roh leluhur muncul daya
magis Perihei sebagai local genius
membangun solidaritas sosial dalam menghadapi situasi sulit, utamanya masalah
paceklik pangan. Mereka meyakini bagi siapa saja yang masih punya sedikit
makanan di saat paceklik hendaknya membagi dengan yang lainnya. Bahkan kalau
tidaka ada lagi yang bisa dibagi memakannya secara sembunyi-sembunyi.
Bahasa Enggano salah satu dari sekian ratus bahasa daerah yang ada di
nusantara ini. Bahasa Daerah Enggano
hanya digunakan di wilayah kepulauan Enggano Pemakai bahasa ini termasuk
kategori paling sedikit dibawah dua ribuan orang tetapi ada juga satu bahasa
hanya digunakan ratusan orang saja seperti di Irian . Bahasa daerah Enggano digunakan oleh
masyarakat sebagai bahasa sehari-hari dan bahasa keadatan . Bahasa ini juga
salah satu unsur budaya daerah yang perlu mendapat perhatian , perlindungan dan
pemeliharaan dari negara .
Sebagai
bahasa local Enggano, bahasa ini tidak didapati di daerah lain, bisa dikatakan
bahasa Enggano menjadi identitas orang Enggano . Untuk mengenal seseorang berasal dari Enggano
atau bukan cara yang paling mudah mengenali dialek bahasanya atau bahasa yang
digunakannya . Bahasa daerah ini
juga membedakan antara masyarakat
kepulauan Enggano dengan kepulauan lainnya seperti Mentawai , Nias dan daratan
Sumatera. Dibawah ini diperkenalkan bahasa Enggano yang berkaitan dengan
anggota tubuh manusia.
1. Kepala : eyurru
2. Rambut kepala : epururuiuru
3. Mata : ebak’kha
Alis mata :
kepenneubakkha
Bulu mata : epururuyubakkha
Biji mata : herabakkha
Kelopak mata : eiyeeubakkha
4. Hidung : epannhu
Lobang hidung : eheyepannu
Bulu hidung : pururuiupannu
Tulang hidung : ekhikihya
5. Telinga : ekarihhya
Daun telinga : epururuiukarihya
Lobang telinga : eheyeppa ukarihya
Bulu telinga : epururui’ukarihya
6. Mulut : ekha’a
Gigi : eeyakha’a
Gigi geraham : ekerekukha’a
Bibir : yukurippha
Dagu : ekhi’i
7. leher : eyahannu’a
Batang
leher :
eeyauahannu’a
Jakun :
epuahannu’a
8. Bahu : eyanianni
9. Tangan : eeyapphe
Lengan
tangan :
eydehaediuappe
Badan
tangan :
ekarahhauappehe
Telapak
tangan : eheyeuappe
Jari-jari
tangan : eminuuapphe
10. Payudara : ekokkho
Putting susu : ebakkhukekke
Dilihat
dari perkembangannya kemungkinan besar bahasa ini akan punah dalam 20-30 tahun
ke depan seiring pergeseran bahasa ke bahasa Indonesia. Hal ini dkuatkan dengan
adanya kajian pendahuluan terhadap pemertahanan dan pergeseran bahasa di
Enggano oleh Ngudining Rahayu dalam sebuah makalah yang disampaikan pada
seminar bulan Bahasa Unib 25 Oktober 1997. Disana disebutkan bahwa masyarakat
Enggano lebih menyukai menggunakan Bahasa Indonesia untuk fungsi dan tujuan
yang lebih luas di luar komunikasi internal keluarga. Secara kasar masyarakat
Enggano lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibanding menggunakan bahasa
asli 60% : 40%. Berdasarkan komposisi perbandingan pemakaian bahasa tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa mereka dwi bahasawan.
Masyarakat
Enggano dikenal sebagai masyarakat kesukuan dan keadatan. Masyarakat kesukuan
adalah suatu sistem kekerabatan terdiri dari satu keturunan berdasarkan garis
ibu (matrilinial). Saat ini ada 6 suku terdiri 5 suku asli dan satu pendatang. Struktur
organisasi masyarakat Enggano secara lengkap ada dalam buku, disini ditampilkan enam suku yang ada sebagai berikut :
|
Sistem masuk suku tersebut
diatas sebagai local genius kedua untuk mengatasi kaum pendatang agar taat pada
aturan adat istiadat setempat. Pada tahun
1969 secara prosesi adat kaum pendatang diakui dan diresmikan menjadi satu suku
tersendiri yaitu suku Ka’may . Makna penting prosesi itu, kaum pendatang diterima secara adat hidup
berdampingan dengan suku asli dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suku-suku
lainnya. Konflik berkepanjangan antara
kaum pendatang dan penduduk asli lebur dengan pengakuan adat tersebut.
Sejak
itu suku Ka’may sudah dipandang sebagai salah satu suku dari suku-suku yang ada
di Enggano. Dalam hal hubungan dengan suku lainnya diperlakukan sama dan
sederajat dimata hukum adat . Suku pendatang ini juga tunduk dan patuh pada
tata aturan adat yang berlaku. Kesepakatan antara kedua belah pihak itulah
faktor penyebab keharmonisan hubungan tetap terjaga.
Adat
istiadat masyarakat Enggano diatur dalam lembaga keadatan hingga kini masih
dipatuhi masyarakat pendukungnya. Pemegang lembaga keadatan dipegang oleh
koordinator suku (Paabuki) yang masa jabatannya digilir selama 6 bulan sekali.
Paabuki dibantu oleh kepala-kepala suku bermusyawarah untuk melakukan
upacara-upacara seperti :
- Yakarea Kaudada (pesta adat besar)
- Waminha Kaudar ( upacara peresmian kampung baru)
- Yapurihie (masa pantang atas meninggalnya seorang warga)
- Paruru Iebieya (pesta kecil/kenduri)
- Padabuki ( acara khusus untuk sumbangan)
- Phaneku (upacara penobatan kepala suku)
- Epadabukki (penghargaan kepada warga yang berjasa)
- Paururudobu Watadadui (gotong royong membantu orang yang punya hajat).
Juga memberlakukan tegaknya hukum adat yang
harus diberlakukan kepada seluruh warga kepulauan tanpa kecuali. Tabel dibawah
ini menggambarkan secara jelas jenis
pelanggaran dan jumlah denda yang harus dibayar oleh pesakitan. Juga disertai upacara tertentu atau tidak
sesuai undang – undang adat yang telah disepakati oleh masyarakat adat pada
tanggal 18 agustus 1984.
No
|
Jenis
Pelanggaran
|
Jumlah
denda
|
Keterangan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Membunuh
Tidak
mengakui adat
Merusak
adat
Memperkosa
Menganiaya
Memfitnah
Berkelahi
Merusah
hak orang lain
Merusak
rumah tangga
Sengaja
menceraikan
Berzina
|
-
-
Rp
3.000,-
Rp25.000,-
Rp
5.000,-
Rp
5.000,-
Rp
2.500,-
RP
2.500,-
Rp
2.500,-
-
Rp
1.500,-
|
Tidak
ada upacara langsung diusir.
Tanpa
upacara langsung diusir.
Upacara
adat
Upacara
adat
Upacara
adat
Upacara
adat
Upacara
adat
Upacara
adat
Upacara
adat
Keluar
rumah dengan 2 stel pakaian
Upacara
adat (bujang gadis ).
|
Sumber : Salinan Naskah Tata
Upacara-Upacara adat istiadat masyarakat Enggano.
Ditinjau dari jumlah denda yang harus
dibayar nampaknya tidak seberapa. Disini letak keampuhan adat setempat terletak
pada malunya seseorang saat diadakan upacara adat. Tekanan malunya waktu diumumkan ke seluruh
suku yang ada serta seluruh warga menyaksikan peristiwa itu. Pada akhirnya seluruh warga dari ujung ke
ujung pulau mengetahui semua aib itu.
Ibarat kata pepatah orang Enggano jarum jatuh di suatu tempat, orang
ditempat lain menemukannya. Artinya
berita itu menjadi berita head line di seantero pulau.
Dalam
menyelesaikan konflik tanpa memberatkan dan cukup efektif mengatasi
permasalahan yang timbul inilah local genius ketiga. Penanaman rasa malu mampu meminggirkan peran
polisi, jaksa dan pengadilan. Sampai saat ini belum pernah permasalahan yang
terjadi naik ke tingkat pengadilan.
Local
genius terakhir tentang pelestarian alam
dalam menjaga ekosistem pulau dari kerusakan. Pelestarian alam diatur dalam aturan adat dan selalu
disosialisasikan di setiap upacara adat untuk memberi
kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga fungsi hutan untuk
menyangga keutuhan ekosistem pulau. Ekosistem di Enggano sangat berbeda dengan
ekosistem di lain tempat. Ekosistem di pulau ini akan terganggu bila terjadi
kerusakan salah satu unsur saja. Saking rapuhnya ekosistem disini satu unsur
terganggu seluruh ekosistem terguncang seluruhnya dan berbahaya bagi keberadaan
pulau.
Setakat
itu pulau Enggano adalah tujuan wisata eksotik yang tidak boleh dilewatkan bagi
yang ingin mengisi liburannya. Ada beberapa tempat wisata yang wajib anda
kunjungi disana antara lain : Pantai
Komang, Muara Kahabi, Sumur laut, Bakblau, Pantai Apoho, Pulau dua dan Pulau
Merbau. Selain itu jikalau anda hobi surfing saya anjurkan untuk pergi
kesebalik pulau, anda akan diayun-ayun gelombang menantang.
4.Kesimpulan
Kepulauan
Enggano menyimpan potensi sumberdaya alam dan budaya yang tak ternilai
harganya. Kekayaan budaya khususnya local genius dapat menjadi teladan bagi
masyarakat lainnya dalam mengatasi permasalahan hidup dan kehidupannya dengan
cara yang arif dan bijaksana. Paling tidak kearifan lokal ini jangan di
intervensi atau dirusak oleh pemangku kepentingan karena alasan pembangunan dan
kemajuan. Ia harus diakomodir menjadi potensi mentalitas penunjang pembangunan
bukan sebaliknya. Suatu contoh : Transmigrasi, agar kebijakan pemerintah ini
berhasil dengan baik dan tidak mengguncang situasi keharmonisan pulau maka
gunakan kekayaan budaya masuk suku
yaitu warga trans dimasukkan suku dengan upacara yakarea kaudada. Dengan masuk
sukunya warga trans maka warga setempat akan menerima mereka sebagai saudara,
hingga pembagian tanah dan kemajuan-kemajuan yang dicapai warga trans tidak
menimbulkan potensi konflik di kemudian hari.
Saran
kepada generasi muda, khususnya mahasiswa yang sedang giat studi untuk meneliti
di berbagai bidang yang ada di pulau Enggano. Penelitian ini adalah riset
Etnografi, sebagai awal mengenal kebudayaan masyarakat Enggano maka terbuka
lebar untuk meneliti “tambang emas” Enggano pada bidang-bidang lainnya.
Terutama yang berkaitan dengan kajian kebudayaan dan sosial masyarakat seperti
Sosiologi, Bahasa dan sastra, Ekonomi, Biologi, kesehatan, Politik, Sejarah,
Psikologi, Hukum dll. Suatu misal, kajian bahasa, mengingat bahasa Enggano
20-30 tahun yang akan datang diperkirakan akan punah maka kajian bahasa
Sinkronis dengan metodologi Dokumentasi riset dan disimpan di arketype ini akan
menarik minat orang-orang belajar bahasa Enggano melalui media sosial
(internet).
Daftar Pustaka
BR.Barus, Kinata dkk. Rumah
Tradisional Suku Enggano. Bagian Proyek
Pembinaan Permusiuman Bengkulu. 2000.
Halim, Amran. Bahasa Melayu
Kaitannya dengan Bahasa Indonesia. Sarwono
(penyunting) Bunga Rampai Budaya Bengkulu. 2005.
Hicks, David. Roh Orang Tetum di Timor-Timur. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Kahaoa, A.Bastian,dkk. Salinan naskah Tata Upacara-Upacara
dan Adat Istiadat Masyarakat Enggano. Yayasan Ulayat
Bengkulu, 2003.
Kontjaraningrat. Pengantar Imu Antropologi. Jakarta PT Rineka Karya. 2009.
Rahayu, Ngudining. Kajian
Pendahuluan Terhadap Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa di Enggano. Makalah pada seminar Bulan Bahasa UNIB, 1997.
mantap pak,keren
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya di blog saya ini.Semoga kita tetap berkarya dan terus menulis.
Hapusnomor hp tidak aktif, saya ingin membeli buku bapak. tlg chat ke email saya :
BalasHapusherysukoco1985@gmail.com