Rabu, 27 Mei 2015

Makalah "Hegemoni Bahasa Indonesia Pengaruhnya Terhadap Nilai Budaya Daerah Rejang"



HEGEMONI BAHASA INDONESIA PENGARUHNYA TERHADAP NILAI BUDAYA DAERAH REJANG

Oleh : YY Ekorusyono
Budayawan


Abstrak

                     Masyarakat Rejang memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam  khususnya bahasa ragam adat yang lebih dikenal sebagai serambeak. Serambeak ini mengandung nilai budaya sangat tinggi. Akan tetapi, akhir-akhir ini bahasa ragam adat ini semakin terdesak akibat hegemoni bahasa Indonesia. Akibatnya terjadi “pengeringan” ragam adat ini hampir di seluruh wilayah Rejang, tidak hanya berhenti sampai pada pengeringan ternyata tergeser pula nilai budaya daerah Rejang yang demikian luhur. Makalah ini menunjukkan data-data dan fakta terjadinya pergeseran bahasa ragam adat menyingkirkan pula nilai budaya daerah Rejang dengan menggunakan teori dan kondisi nyata bahasa daerah Rejang sekarang ini. Paparan ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang tepat dalam pemertahanan serambeak yang mengandung nilai budaya luhur suku bangsa Rejang.



A.PENDAHULUAN
            Suku bangsa Rejang memiliki bahasa tersendiri sebagai alat komunikasi diantara mereka. Sesuai dengan nama sukunya, orang orang menyebut bahasa yang dipakai sebagai “Bahasa Rejang” sebagaimana lazimnya nama –nama bahasa di nusantara, bahasa Rejang termasuk rumpun bahasa Austria Sub rumpun Austronesia bagian bahasa-bahasa Nusantara (barat) dengan jumlah penutur 1.000.000 orang lebih yang tersebar di lima kabupaten di Provinsi Bengkulu dan beberapa wilayah di kabupaten Provinsi Sumatera Selatan. Di Provinsi Bengkulu wilayah penuturnya di kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah sementara yang ada di Provinsi Sumatera Selatan di kabupaten Musi Rawas tepatnya di kecamatan Bermani Ulu Rawas dan beberapa marga di kabupaten Lintang Empat Lawang.
Ada beberapa dialek bahasa Rejang yang kita kenal yaitu dialek Jang Lebong,dialek Jang.Kepahiyang dan dialek Jang Pesisia. Tiga dialek ini satu dengan lainnya bisa saling memahami hanya faktor geografis dan kesatuan petulai saja yang berbeda. Dialek Jang Lebong dengan sub dialek jang Musei dan jang Awes meliputi kabupaten Lebong dan Rejang Lebong dan sebagian kabupaten Musi Rawas disatukan secara geografis oleh sungai Ketahun, Musi dan Kelingi dalam kesatuan Jurukalang, Tubei sedangkan dialek Jang Kepahiyang (Kebon Agung) dengan sub dialek Jang Empat Lawang meliputi Kabupaten Kepahiyang dan beberapa marga di kabupaten Empat Lawang dalam kesatuan petulai Bermani dan dialek Jang Pesisia meliputi wilayah kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah dalam kesatuan petulai Selupu dan Bermani.
Bahasa Rejang juga mengenal bahasa keadatan yang lebih dikenal sebagai serambeak, bahasa ragam adat ini pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana pendidikan sebelum adanya sekolah formal. Serambeak pada zaman keemasannya menjadi bahasa keseharian dalam fungsi dan situasinya. Penutur bahasa Rejang secara aksiomatis bergantian (campur kode) berbicara menggunakan bahasa Rejang biasa dengan serambeak, baik dalam pembicaraan keluarga maupun di masyarakat. Oleh karena itu, serambeak termasuk wahana pendidikan karena memenuhi kriteria seperti yang dikemukakan Sardiman ((1992 : 8) “yang mengatakan bahwa sesuatu itu disebut interaksi edukatif apabila interaksi itu secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya”.
Serambeak sebagai bahasa keadatan akhir-akhir ini semakin tenggelam akibat hegemoni bahasa indonesia. Pembicaraan dalam keluarga, dikalangan masyarakat tidak lagi terdengar penutur menyelipkan serambeak di dalam pembicaraannya. Serambeak hanya dapat kita dengar  pada peristiwa-peristiwa adat seperti sambutan perkawinan, penobatan raja, kendurai dll. Itupun hanya terbatas pada serambeak yang berkait dengan penghormatan, etika semata, serambeak yang mengandung nilai budaya luhur sudah bukan kering lagi tapi mengalami mati suri.
Gejala pengeringan dan kematian nilai budaya suku bangsa rejang ditinjau dari sudut pandang sosiolinguistik hubungannya dengan etnolingustik. Bahasa dan kebudayaan ibarat dua sisi keping dalam mata uang yang sama. Ada yang memasukkan bahasa dalam salah satu unsur kebudayaan, sebaliknya ada yang memasukkan kebudayaan bagian dari bahasa. Terlepas dari perdebatan itu, semua para ahli bahasa dan antropologi sepakat bahwa budaya suatu bangsa tercermin pada bahasanya, jika bahasanya berubah maka secara otomatis budayanya mengalami perubahan.

Selasa, 26 Mei 2015

Ringkasan buku Mengenal Budaya Enggano

Bagi yang berminat membeli bukunya hubungi :
HP                           : 081278859095
Email                      : yy.ekorusyono@yahoo.com




Judul Buku                        : Mengenal Budaya Enggano
Penulis                              : YY. EKORUSYONO
Cetakan pertama               : 2006
Cetakan kedua                  : 2013
Cetakan ketiga                  : 2015
Halaman                            : x +190 ; 14 x 21 cm
ISBN                                 : 978-602-7636-38-5
Penerbit                            : Buku Litera, Yogyakarta

Ringkasan Buku

1.Pendahuluan
            Enggano adalah sebuah kepulauan terpencil menyimpan keunikan budaya tersendiri dan cenderung tak tersentuh oleh derasnya gelombang budaya globalisasi. Letaknya di samudera Indonesia sebelah barat pulau Sumatera pada 102’05 derajat sampai dengan 102’25 derajat Bujur Timur dan 5’17 derajat sampai dengan 5’31 derajat Lintang Selatan; dengan luas wilayah 680 Km bujur sangkar; panjang 40 km dan lebar 17 km.  Pulau ini dihuni oleh 2406 jiwa dari 619 KK, tingkat kepadatan penduduk 3,81 km/jiwa. Iklim tropis basah, dengan curah hujan rata-rata 3.800mm/per tahun, kelembaban udara 83% sampai 88%.  Keadaan tanahnya subur dan sebagian berbatu karang tidak bergunung, mengalir beberapa sungai besar dan kecil yang airnya bersih. Keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari kawasan hutan yang mencapai 33.120 Ha sedangkan tanah yang dihuni dan dimanfaatkan kurang lebih 7.050 Ha.
Pulau Enggano termasuk wilayah pemerintahan Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu.  Secara administratif, pulau Enggano merupakan sebuah kecamatan yang terdiri dari enam desa, yaitu desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok, dan Banjarsari. Tiap-tiap desa dikepalai oleh seorang kepala desa. Berbeda dengan pemerintahan wilayah lainnya di Bengkulu, pemerintahan desa di Enggano tidak mengenal RT dan RW. Semua urusan langsung ditangani kepala desa mengingat penduduknya yang masih sedikit. Seorang kepala desa memerintah sekitar 40 sampai 50 rumah atau KK. Desa yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh rimba dan semak belukar. Transportasi dari satu desa ke desa yang lainnya masih didominasi angkutan laut berupa perahu ‘ketek’ dengan muatan 1 ton atau 10 sampai 20 orang. Dalam cuaca bagus perahu ‘ketek’ mampu mengelilingi pulau dalam waktu 12 jam, akan tetapi sekarang dengan adanya pengerasan jalan, tranportasi beralih ke tranportasi darat.
Penduduk Kecamatan Enggano mayoritas penduduk asli dan sebagian kecil pendatang. Penduduk asli ada lima suku yaitu suku Kauno, Kaitora, Kaarubi, Kaharuba dan Kahaoa. Sementara kaum pendatang baik dari suku apapun di luar penduduk asli dimasukkan dalam suku tersendiri yang disebut suku Kamay. Setiap suku dikepalai oleh seorang kepala suku dan dibantu oleh beberapa kepala pintu suku.  Kepala-kepala suku dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi yang disebut Paabuki dengan masa kepemimpinan 6 bulan digilir secara bergantian di antara kepala suku yang ada. Kepala suku masa kepemimpinannya seumur hidup, begitu juga kepala pintu suku (kap kaudar). Bila kepala suku meninggal, ia berhak menunjuk penggantinya atau menyerahkan pemilihannya kepada ‘kepala pintu suku’. Demikian halnya dengan proses pemilihan kepala pintu suku. Tiap-tiap suku berbeda jumlah kepala pintu sukunya, ada yang hanya satu pintu ada yang empat pintu. Suku Kauno ada tiga pintu suku yakni kap kaudar Kapururu, kap kaudar Kaduai, dan kap kaudar Nahyeah Pabuuy.  Sama halnya suku Kaarubi yang juga terdiri dari tiga pintu suku, yaitu kap kaudar Ahipe, kap kaudar Abobo, dan kap kaudar Kaanaine. Suku Katora hanya ada satu pintu yaitu kap kaudar Kaitora, demikian pula suku Kaharuba yang hanya memiliki satu pintu, kap kaudar Kaharuba. Suku Kahaoao ada lima pintu suku, yakni kap kaudar Khadoa, kap kaudar Eyo’oppo, kap kaudar Kakore, kap kaudar Kamanihun, dan kap kaudar Kakionna.  Suku Kamay, sebagai suku pendatang dibagi berdasarkan wilayah yaitu satu kap kaudar wilayah bagian barat dan satu kap kaudar wilayah timur.
Bahasa Enggano adalah satu-satunya alat komunikasi di pulau ini sebelum masuknya pengaruh bahasa Indonesia. Bahasa ini oleh para ahli bahasa digolongkan bahasa akek atau bahasa orang utan karena tidak dikenal. Jumlah pemakai terbesar bahasa Enggano ada di dua desa yaitu Apoho dan Meok. Sedikit di Kaana, Malakoni, dan Banjarsari. Bila ditotal dari seluruh penduduk kurang lebih 60 % yang masih aktif berbahasa Enggano sisanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimanakah kearifan budaya (local genius) masyarakat kepulauan Enggano yang mampu bertahan dari serbuan budaya luar ? “.

Karya



Karya yang telah diterbitkan antara lain : 
  1. Mengenal Budaya Enggano (2006), terbitan Lemlit Unib Press, Bengkulu dan edisi kedua (2013) dan Edisi Ketiga (2015), Penerbit Buku Litera, Yogyakarta.
  2. Enggano Kecamatan di Tengah Samudera (2012),  Penerbit Ombak, Yogyakarta.
  3. Kebudayaan Rejang (2013), Penerbit : Buku Litera, Yogyakarta
  4. Roh Tun Jang (2016), Penerbit : Buku Litera, Yogyakarta.
  5. Manusia Kate (2016), Penerbit : Buku litera, Yogyakarta



Senin, 25 Mei 2015

Pengantar


Sejarah dan adat istiadat suku bangsa perlu di kaji agar khazanah budaya masyarakat dapat ditampilkan secara komprehensif. Upaya melakukan penggalian suku bangsa khususnya di Provinsi Bengkulu dan segala budaya yang melingkupinya jadi daya tarik tersendiri. Perjalanan panjang penulisan karya ini tentu banyak sumbangsih dari berbagai kalangan.Saya persembahkan karya ini  untuk masyarakat Bengkulu dimana saja berada, dio ba gite.