Minggu, 06 November 2016

Buku Kebudayaan Rejang





                                     Judul buku                : Kebudayaan Rejang
                                     Penulis                      : YY. Ekorusyono
                                     Halaman                   : XIV + 308; 14 x 21 Cm
                                     ISBN                          : 978-602-7636-45-3
 Terbit                         : Cetakan Pertama, September 2013
                                       Buku Litera, Yogyakarta

Resensi Penerbit

            Penduduk di propinsi Bengkulu terdiri dari 6 suku, yaitu : Rejang, Serawai, Lembak, Melayu, Pekal, dan Enggano. Suku Rejang adalah suku terbesar dengan jumlah anggotanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010) kurang lebih 831.458 jiwa atau 48,90% dari total populasi penduduk propinsi Bengkulu 1.7 juta jiwa. Suku rejang memiliki sejarah kebudayaannya sendiri, unik ditengah kebudayaan Melayu yang mengelilinginya. Kekhasan kebudayaan itu, perlu diketahui tidak hanya orang rejang sendiri tapi juga masyarakat luar.
            Dalam buku yang ditulis Ekorusyono ini menyadarkan kita pentingnya memahami kebudayaan suatu masyarakat dalam merekontruksi peradaban selaras dengan nilai budaya sendiri sebagai dasar pembangunan karakter bangsa. Juga diajak untuk menelusuri sejarah asal-usul suku Rejang berdasarkan data arkeologis, ideofak (ide-ide dalam legenda masyarakat) dan linguafak (teori kebahasaan). Sejarah suatu masyarakat identik dengan masa lalu, tapi masa lalu itu sangat dominan untuk menentukan masa depan. Sejarah merupakan jembatan masa lalu dengan masa depan. Untuk menentukan konsep masa depan, sebaiknya kita berkaca pada sejarah.
            Tulisan etnografi suku rejang ini ditulis dengan merujuk pada teori Koentjaraningrat (2009) mencakup ruang lingkup :
1.    Lokasi, lingkungan alam dan demografi
2.    Asal mula dan sejarah suku bangsa
3.    Bahasa
4.    Sistem teknologi
5.    Sistem mata pencaharian
6.    Organisasi sosial
7.    Sistem pengetahuan
8.    Kesenian
9.    Sistem religi
Dengan membaca buku ini setidak-tidaknya kita dibawa ke dalam suatu masyarakat berbudaya tinggi di masa lampau. Ternyata, suku rejang yang tidak begitu dikenal luas termasuk segelintir suku dari ratusan suku di nusantara yang mempunyai aksara tersendiri dikenal sebagai ka, ga, nga teks.
            Dengan memperhatikan pelestarian khazanah budaya bangsa, buku ini memberi jawaban keingintahuan kita tentang ide-ide, gagasan serta nilai budaya yang perlu digali lebih dalam lagi. Masih banyak kearifan lokal daerah dalam hal ini suku Rejang belum terangkat, padahal itu sangat diperlukan dalam membangun di masa depan. Tapi sebagai awal penulisan sejarah kebudayaan suatu masyarakat buku ini patut dibaca.

Kamis, 08 September 2016

Mistik Rejang


Mistik Rejang :  Mantra  Warisan Tradisi Islam Bahan Ajar Pembentukan Karakater.

            Pengertian mistik berdasarkan kamus Besar Bahasa Indonesia  (2002:749) adalah “subsistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan”. Mistik Rejang dikenal sebagai subsistem agama Islam yang berkembang dan dipandang suatu ajaran yang suci sesuai tradisi masyarakat Rejang. Terlepas apakah mistik tersebut sesuai atau tidak dengan tata aturan ajaran Islam yang semestinya. Disini dikaji fakta mistik yang ada dan berkembang di tengah masyarakat rejang tanpa pretensi apa pun, maksudnya tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan perilaku mistik yang ada.
            Penulis mencoba mengkaji mistis Rejang dari teori etnopuitika Sherzer & Woodbury (dalam MPPS, 2008:219) yakni “suatu kajian gabungan dari empat disiplin ilmu : linguistik, sastra (lisan), antropologi dan folklore”. Secara aksiomatis kondisi sosial budaya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan, mengingat bahasa dan budaya satu kesatuan yang saling kait berkelindan. Namun demikian titik tekan pada kajian ini pada linguistik sesuai latar belakang pendidikan penulis di bidang bahasa dan sastra.
            Adapun tujuan mengangkat tema mistik ini untuk mengaitkan kondisi nyata di masyarakat dengan pendidikan di dalam kelas. Kadang kita sebagai guru jarang menggunakan media pemakaian bahasa yang dipraktekkan masyarakat sehari-hari apalagi berbau mistis. Kata “mistis” itu sendiri seakan hantu yang harus dihindari dari dunia ilmiah yang ditanamkan di sekolah.  Padahal sesuatu yang berbau mistis yang di tengah masyarakat disakralkan atau dipandang suci tapi di dunia pendidikan dilecehkan seakan menyesatkan itu mengandung nilai pembentukan karakter berlandaskan ajaran agama. Artinya, kita tidak boleh lagi alergi membahas materi-materi pelajaran berbau mistis, asal media nyata tersebut dikaji terlebih dahulu secara serius dengan metodologi kajian (tradisi lisan) sesuai dengan materinya. Mengapa demikian? Karena bahan ajar tersebut di atas tersedia sangat melimpah di sekitar anak didik di lingkungannya. Mereka secara sadar maupun tidak selalu bersentuhan dengan situasi berbau mistis di kehidupan kesehariannya. Oleh karena itu, alangkah baiknya ide-ide, gagasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks yang dibaca oleh seseorang (dukun, saman, pawang dll) dijadikan bahan ajar sastra atau pelajaran agama sekalipun.
            Manfaat secara khusus bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama Islam : (1) bahan ajar bisa digali dimana saja, (2) memadukan kondisi nyata di masyarakat dengan pembentukan karakter anak didik, dan (3) menanamkan keyakinan tidak harus berdasarkan teks Qur’an dan Hadis tapi bisa dimulai/divariasi dari budaya lokal baru dirujukkan ke Al Qur’an dan hadist. Disini akan dibahas mantra rejang sebagai bahan ajar mata pelajaran bahasa dan agama.
Mantra Rejang
1.    Jinak-jinak ko medau kagea uku
Jinak-jinak ko medau gomoa uku
Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku
Uku magea ko kareno jagok unui nu
Teko ko mio ko nemot ku
Mis ko medau masiak lem kuasoku
Mis ko medau harus jijai milikku
Hop kato Allohu
2.    Ya Alloh tuhanku,
Keley uku cahayo lem ateiku
Keley uku cahayo lem pandang gen uku
Keley gen uku cahayo, nak sisi kanenku, kideuku, mukoku, belakangku
Keley gen uku nak lem saraf-sarafku, daging-dagingku
(dikutip dari : Ekorusyono, 2013 : 155-157)

Mantra di atas tergolong puitis karena adanya persajakan (pengulangan vokal maupun konsonan) juga adanya struktur siktaksisnya. Pada mantra pertama persajakannya sangat rapat adanya asonansi. Sebagai contoh pada teks pertama, persajakannya diakhiri dengan /u/ mulai dari baris pertama sampai akhir lewat kata uku baris satu sampai tiga dan nu baris keempat serta ku pada baris lima sampai delapan. Apabila kalimat-kalimat mantra tersebut dirapalkan seakan ada lagu (seni) karena adanya pengulangan kata seperti kata jinak, ko, medau, jagok, mis. Juga adanya repetesi pada baris satu, dua dan enam tujuh lewat Jinak-jinak ko medau dan mis ko medau. Pengaruh dari pengulangan-pengulangan bunyi menimbulkan suara berirama (seni) seperti dinyanyikan dan menambah kemudahan makna diserap masuk ke dalam hati.
Sementara teks kedua juga memiliki persajakan yang diakhiri dengan /ku/ mulai dari baris pertama sampai kelima lewat kata Tuhanku, ateiku, uku, belakangku, dagingku. Kata  keley diulang dari baris kedua sampai kelima, ini selain memberi irama juga menunjukkan kesungguhan. Bahasan  menunjukkan bahwa kedua mantra memiliki sisi puitis secara tinjauan linguistik.
Selain bahasa ada sisi isi yang perlu diketahui sebelum mengkaji dari aspek antropologi budaya. Teks pertama isinya menggambarkan bahwa masyarakat pemakainya semi agraris. Maksudnya, selain bertani juga masih mencari kebutuhannya dengan memanfaatkan hasil hutan yang ada disekitarnya. Sedangkan teks kedua menunjukkan bahwa masyarakat rejang selain semi agraris juga relijius. Kerelijiusan itu ditunjukkan lewat “Hop kata Allohu” dan “Ya Alloh Tuhanku” yang disimbolkan keyakinan pada Alloh sebagai penguasa pada teks pertama dan tempat meminta pada teks kedua diduga sementara sebagai warisan tradisi ajaran Islam.
Darimana kita berani menyimpulkan bahwa mantra di atas warisan tradisi Islam? Pertama ditinjau dari makna teks, simbol nama Alloh itu sendiri berasal dari firman Alloh dalam Al Qur’an (20 : 14) “Sesungguhnya Aku ini adalah Alloh, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Alloh, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku”. Dalam ayat tersebut sangat jelas dikatakan bahwa Alloh memperkenalkan dirinya bernama Alloh, jadi kata simbol “Alloh” itu bukan dari rekayasa masyarakat Rejang untuk menamai sesuatu yang kuat , tempat meminta, berkuasa diluar dirinya tapi jelas warisan dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an. Perhatikan baris ketiga dan keempat berikut : “Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku, Uku magea ko kareno jagok unui nu” (sehebat-hebatnya kamu tawon masih hebat saya, saya menemuimu karena lebih hebat dari kamu) maknanya sangat jelas bahwa pernyataan saya (manusia) lebih mulia dari kamu (hewan). Makna ini bukan suatu kesombongan akan tetapi memang manusia diciptakan lebih mulia dari pada hewan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an (90 : 4) “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Kelebihan manusia atas hewan sangat dipahami oleh nenek moyang masyarakat Rejang, ini yang membuat mereka sangat berani dan tidak takut akan serangan (sengatan) lebah madu. Keyakinan akan kewibawaan inilah yang menyebabkan lebah madu tidak menyerang saat sarang mereka diambil madunya. Simbol “jagok” melambangkan kekuatan, kelihaian dalam bertanding, kesaktian, keunggulan dalam segala hal atau pertarungan yang dimenangkan, dan itu dalam pandangan (itu benar adanya) masyarakat rejang hewan tidak akan pernah mengalahkan manusia.
            Setakat itu, pada baris keenam dan ketujuh “Mis ko medau masiak lem kuasoku, Mis ko medau harus jijai milikku” (manis madumu masih dalam kekuasaanku, manis madumu harus menjadi milikku). Nenek moyang orang rejang meyakini bahwa  madu yang tersedia di alam adalah milik atau diperuntukkan bagi manusia. Kalimat keenam ini selaras dengan firman Alloh dalam Al Qur”an (2 : 29) “Dialah Alloh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini kemudian dirumuskan oleh para ulama menjadi kaidah fikih sebagai berikut, “Semua yang ada di muka bumi hukumnya halal kecuali yang diharamkan, dan semua peribadatan hukumnya haram kecuali yang diperintahkan”. Maka sangat masuk akal jikalau muncul kalimat ketujuh, sebagai hasil pemahaman yang diejawantahkan secara sederhana dalam mantra mengunduh madu. Siapa yang menyuruh semua itu, masyarakat rejang menunjuk pada Alloh, seperti pada baris ke delapan “hop kato Alloh”. “Hop” adalah kata penekanan/ penegasan bahwa semua itu firman Alloh, bukan kata atau kehendak manusia maka menurutlah wahai lebah. Istilah hop lebih tepat kalau disandingkan dengan “hough” bahasa Indian Amerika.
            Pada teks kedua, dengan sangat gamblang bahwa permintaan ditujukan pada Alloh, Tuhan-Nya masyarakat rejang, tempat mereka mengadu, meminta, memohon pertolongan dll. Dalam baris pertama merujuk pada permintaan seseorang yang bermunajat berharap diberi sesuatu sesuai dengan yang dimaui. Meminta, memohon sesuatu yang ditujukan pada yang berkuasa yaitu Alloh memang ajaran Islam. Coba perhatikan firman Alloh ( 40 : 60) “ Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan (kabulkan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina. Ayat di atas memerintahkan manusia untuk meminta kepada-Nya melalui doa pasti akan dikabulkan dengan persyaratan dipenuhi doa dijelaskan pada firman berikut ini (42:26)  “dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. Ayat ini memperjelas syarat dikabulkannya doa yaitu beriman, beramal, berinfaq. Beriman (yakin) akan kekuasaan Alloh syarat pertama dan utama dikabulkannya doa. Berkait dengan masalah keimanan ini masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam di tanah rejang sudah meyakini bahwa di langit ada sebuah kerajaan.
Masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam sudah meyakini bahwa di langit ada kerajaan. Keyakinan ini terlihat pada cerita-cerita dongeng mereka seperti  dongeng “Lalan Belek”, disana disebutkan : Bel’o ade kerajaan nak das lenget dst. Pernyataan yang muncul pada awal cerita menunjukkan dengan jelas bahwa di langit ada sebuah kerajaan. Kerajaan langit ini semakin diperjelas siapa rajanya,  masyarakat rejang mengakui rajanya adalah Alloh. Pernyataan ini didukung oleh teks-teks rejang lainnya seperti kisah kejadian manusia dalam gelumpai bambu, terjemahan Sarwit Sarwono dkk (2001: 144) teks D 3-4 dan masih banyak yang lainnya.
 Kepercayaan ini selaras dengan informasi Al Qur;an ( 3:129) “Kepunyaan Alloh apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki, Dia menyiksa yang Dia kehendaki dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Lebih jelas lagi pada (7:54) “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha Suci Alloh, Tuhan semesta alam”. Arsy diterjemahkan sebagai kursi singgasana raja, hal ini dijelaskan pada (69:17) “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan  malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”.  Jadi pengakuan masyarakat rejang akan paham monotheisme tidak diragukan lagi warisan kepercayaan yang dibawa para Nabi.
Pada teks kedua maknanya dapat dipahami sebagai permintaan kepada Alloh lewat “Ya Alloh Tuhanku” . Yang diminta adalah cahaya (nur), tentu maksudnya bukan cahaya dalam arti denotasi. Cahaya dimaksud bermakna konotasi yaitu “daya pikat”, permintaan pertama daya pikat dalam hati kemudian pandangan matanya. Orang jatuh cinta dimulai dari mata lalu turun ke hati, jikalau keduanya memiliki daya pikat tentu akan mudah menarik lawan jenis untuk jatuh hati dan lengket kayak perangko. Baris berikutnya menyempurnakan permintaan supaya seluruh tubuh memiliki daya tarik, lawan jenis akan tertarik walau melihat tubuh dari belakang apalagi samping dan muka. Mantra ini kalau dibaca lawan jenis (baik pria/wanita) hanya melihat gerak-geriknya saja sudah terpikat apalagi sampai menatap muka.
Setakat itu, bisa juga yang dimaksud adalah “nur Alloh” (cahaya Alloh) seperti dalam Al Qur’an (2:256) “Alloh pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya iman. Dan orang-orang kafir pelindungnya ialah syaithon, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran) Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Jadi yang dimaksud cahaya adalah kekuatan iman, dari kekuatan iman inilah akan terpancar sinar kepercayaan diri kuat sehingga memiliki keberanian untuk mendekati lawan jenis pujaannya. Mendekati disini jangan dikonotasikan negatif, tapi mendekat yang dibingkai tradisi budaya masyarakat rejang masa itu. Tradisi dimana dalam bertandang harus berbalas pantun terlebih dahulu, laki-laki di halaman sedangkan wanitanya di beranda ditemani kedua orang tuanya. Proses berbalas pantun kadang memerlukan berkali-kali bertandang sampai diputuskan diterima atau ditolak. Kalau jawaban pantunnya diterima baru dibolehkan naik ke beranda, sementara wanitanya di umeak danei. Artinya, kondisinya selalu terpisah dan dalam pengawasan orang tua, tentu sangat kontras dengan kondisi sekarang.
Kedua ditinjau dari makna para teks, baik mantra teks pertama maupun kedua memiliki kesamaan yakni tumbuh dan berkembang dari masyarakat Rejang. Sebelum menganalisis dari sisi para teks sebaiknya kedua teks tersebut diatas diterjemahkan terlebih dahulu sebagai berikut :
1.    Jinak-jinaklah kau tawon madu temui aku
 jinak-jinaklah kau tawon madu keroyoklak aku
sejago-jagonya kamu tawon madu masih jagolah aku
aku menemuimu karena aku lebih jago daripadamu
datanglah kamu kesini, kamu tunggu aku
manis madumu masih dalam kekuasaanku
manis madumu harus jadi milikku
itulah kehendak Alloh.
2.    Ya Alloh Tuhanku
berilah aku cahaya di dalam hatiku
beri aku cahaya dalam pandangan namaku
beri aku biar bercahaya di sisi kanan, kiri, muka dan belakangku
berilah daya pikat dalam saraf-sarafku dan masuk ke dalam daging-dagingku

 Tinjauan para teks mantra diatas dilihat dari kehidupan keseharian masyarakat rejang sebagai pemilik teks dapat disimpulkan : (1) masyarakat rejang mayoritas pemeluk agama Islam fanatik. Dikatakan fanatik karena sejak Islam masuk ke wilayah rejang semua warga baik yang melaksanakan syariat maupun abangan, tidak ditemui yang pindah agama selama penjajahan berlangsung hingga kini.(2) banyak ajaran Islam yang sudah mentradisi sehingga tidak diketahui lagi kalau adat istiadat tersebut bersumber dari Islam.seperti pantang mandi telanjang termasuk juga mantra di atas. (3) Kearifan lokal masyarakat rejang dalam memanen madu terlihat pada langkah-langkah yang dipraktekkan tatkala peristiwa itu diperagakan di tempat kejadian. Langkah pertama, mereka bermusyawarah dalam kelompok kecil, yang dibicarakan antara lain pembagian tugas, cara pembagian hasil, mengecek peralatan yang diperlukan. Langkah kedua, mereka mulai masuk hutan mencari sarang tawon dan memberi tanda, guna tanda sebagai pemberitahuan bahwa sarang tersebut sudah ada yang punya sekaligus pengumuman bahwa sarang itu sudah diambil madunya. Langkah ketiga, membuat tangga dari bambu jikalau pohon tidak terlalu tinggi, pakai paku pasak jika pohonnya tinggi jika pohonnya diameter tidak terlalu besar dan bulat maka pakai tali kaki yang dilingkarkan ke batang sebagai pijakan untuk memanjat. Langkah ketiga, sesampai di atas dekat sarang pelaku utama menjulurkan tali sebagai alat untuk menaik-turunkan barang. Langkah keempat, rombongan dibawah membaca mantra sambil salah seorang menghidupkan obor yang telah disediakan. Langkah kelima, obor dinaikkan melalui tali, pelaku utama membaca mantra dan mematikan api obor hingga tinggal asap kemudian digunakan untuk mengasapi sarang tawon agar tawon menyingkir tetapi tidak mati. Langkah keenam, pelaku utama mengambil madu langsung dimasukkan ke dalam ember yang sudah disiapkan rombongan di bawah melalui tali dan langsung diturunkan diikuti pelaku utama yang juga ikut turun. Langkah terakhir, madu diolah dimasukkan ke dalam botol dan dibagi sesuai kesepakatan.
Dari kajian teks dan para teks tersebut, ditemukan nilai budaya relijius, kerja sama dan kearifan lokal yang terkandung di dalam kedua mantra yang ditampilkan. Artinya, mantra rejang tersebut layak dijadikan media dalam pengajaran sastra karena bernilai budaya tinggi dan bisa membentuk karakter siswa sesuai nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Disini guru mata pelajaran bahasa Indonesia dapat memanfaatkan mantra di atas atau yang lainnya sebagai media pembelajaran berbasis budaya lokal. Adapun langkah-langkah dalam pembelajarannya akan disajikan di bawah ini dengan menggunakan metode “Discovered based learning” suatu metode pembelajaran agar siswa menemukan sendiri suatu konsep dengan proses mental sebagai berikut : mengamati, mencerna, mengerti, mengklasifikasi, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan.
1.    Siswa diberi tugas secara kelompok mencari mantra-mantra yang ada di lingkungannya minimal dua mantra. Pengamatan di lapangan ini (merekam, mengklasifikasi, wawancara dengan pemilik mantra) mendidik siswa untuk menjadi manusia literer yang diperoileh di alam nyata bukan hanya di perpustakaan dan media teknologi (TV, Radio, HP Android dll).
2.    Siswa mengindentifikasi data yang diperoleh betul-betul termasuk jenis mantra. Pengertian tentang mantra diperoleh melalui cara literacy  dan diskusi terbimbing bagi siswa pendidikan dasar.
3.    Siswa mengapresiasi mantra yang diperoleh dan wakil kelompok menjelaskannya di depan kelas.
4.    Guru memasang alat peraga nilai budaya serta penjelasannya di papan tulis (lihat deskripsi nilai budaya dalam tesis saya halaman 24-25 di perpustakaan UNIB).
5.    Siswa mulai mencari nilai budaya yang terkandung dalam mantra sesuai ukuran yang ada dalam alat peraga dan bersama guru membuat kesimpulan.
6.    Hasil nilai budaya yang ditemukan siswa di tulis di papan tulis, siswa secara perseorangan boleh memilih salah satu nilai budaya yang ditemukan untuk ditulis menjadi sebuah teks.(KI 4).
Selain guru Bahasa Indonesia, guru agama Islam dapat memadukan pelajaran bahasa tersebut untuk mengajarkan materi Aqidah tentang nama, tempat, dan Alloh sebagai pencipta, pemberi rezeki, raja di dunia juga akhirat (Rububiyatullohi) dengan metode literacy berbasis IT. Langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut :
1.    Siswa membawa gadget/hp android, minimal satu kelompok (3-4 siswa) satu hp android.
2.    Siswa dibimbing bagaimana langkah-langkah cara mencari ayat-ayat dalam Al Qur’an di hp-nya.
3.    Siswa mulai mencari nama, tempat Alloh bersemayam, dan mencari ayat-ayat tentang rububiyatulloh dalam Al Qur’an.
4.    Siswa memahami maksud ayat-ayat tersebut merujuk pada Qur’an terjemahan dan tafsirnya baik klasik maupun tafsir modern.
5.    Siswa menyimpulkan hasil temuannya.
            Pembelajaran melalui media budaya lokal tidak kalah menariknya dibanding media pembelajaran lainnya. Kekayaan literatur yang ada di sekitar kita sudah memadai untuk mendukung pembentukan karakter anak. Kreativitas anak bisa digali dari kondisi nyata di lingkungan hidupnya sehari-hari. Nilai budaya asli lebih mudah terserap dan terinternalisasi pada diri pemilik kebudayaan itu sendiri dibanding budaya asing.
            Mantra (puisi lama) masih dijumpai di kehidupan sehari-hari anak didik dapat dimanfaatkan untuk membentuk karakter mereka. Tentu masih banyak sekali bahan ajar lainnya yang perlu diekplore dari alam lingkungan anak. Gagasan-gagasan, ide, nilai-nilai dan kearifan lokal bahan ajar yang tersedia (masih murni) perlu digali bersama guru kemudian diinternalisasi melalui kreativitas siswa bisa berujud apa saja sesuai dengan kompetensi dasar (KD) mata pelajarannya (bahasa atau agama). Contoh di atas sekedar garis besar salah satu metode untuk mengungkap pesan dan makna sastra lisan.
Dalam pembelajarannya bisa melebar pada tahapan-tahapan penelitian sastra lisan. Kajian di atas hanya mengungkap satu aspek dari tiga aspek kajian sastra lisan, Endraswara (2008:154-155) dalam penelitian sastra lisan sekurang-kurangnya meliputi tiga hal (1) mengkaji asal-usul sastra lisan, yang mengungkap darimana sastra itu lahir, apakah berhasil merefleksikan keadaan masyarakat, dan bagaimana tranformasinya, (2) mengkaji pesan dan makna sastra lisan, yaitu nilai-nilai apa yang hendak disampaikan, simbol-simbol apa yang digunakan untuk membungkus pesan, apakah masih relevan bagi masyarakat sekarang, dan (3) mengkaji fungsi sastra lisan, antara lain untuk kontrol sosial politik, mendidik masyarakat, menyindir dan sebagainya. Aspek-aspek penelitian sastra lisan bisa dibagi menjadi tiga kompetensi dasar (tiga pertemuan) dalam satu RPP sehingga anak memiliki kemampuan dasar dalam mengkaji sastra lisan yang melimpah di sekitar kehidupannya.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (pemimpin redaksi). 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.  Jakarta : Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Presindo.
Ekorusyono, YY. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sarwono, Sarwit dkk. Kisah Manusia dan Semesta dari Masyarakat Rejang di Propinsi Bengkulu : Analisis Struktur dan Fungsi. Jakarta : Depdiknas, 2001.
Yayasan Penterjemah Al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al Madinah An Nabawiyah. Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifain Raja Fahd.

Mistik Rejang


Mistik Rejang :  Mantra  Warisan Tradisi Islam Bahan Ajar Pembentukan Karakater.

            Pengertian mistik berdasarkan kamus Besar Bahasa Indonesia  (2002:749) adalah “subsistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan”. Mistik Rejang dikenal sebagai subsistem agama Islam yang berkembang dan dipandang suatu ajaran yang suci sesuai tradisi masyarakat Rejang. Terlepas apakah mistik tersebut sesuai atau tidak dengan tata aturan ajaran Islam yang semestinya. Disini dikaji fakta mistik yang ada dan berkembang di tengah masyarakat rejang tanpa pretensi apa pun, maksudnya tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan perilaku mistik yang ada.
            Penulis mencoba mengkaji mistis Rejang dari teori etnopuitika Sherzer & Woodbury (dalam MPPS, 2008:219) yakni “suatu kajian gabungan dari empat disiplin ilmu : linguistik, sastra (lisan), antropologi dan folklore”. Secara aksiomatis kondisi sosial budaya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan, mengingat bahasa dan budaya satu kesatuan yang saling kait berkelindan. Namun demikian titik tekan pada kajian ini pada linguistik sesuai latar belakang pendidikan penulis di bidang bahasa dan sastra.
            Adapun tujuan mengangkat tema mistik ini untuk mengaitkan kondisi nyata di masyarakat dengan pendidikan di dalam kelas. Kadang kita sebagai guru jarang menggunakan media pemakaian bahasa yang dipraktekkan masyarakat sehari-hari apalagi berbau mistis. Kata “mistis” itu sendiri seakan hantu yang harus dihindari dari dunia ilmiah yang ditanamkan di sekolah.  Padahal sesuatu yang berbau mistis yang di tengah masyarakat disakralkan atau dipandang suci tapi di dunia pendidikan dilecehkan seakan menyesatkan itu mengandung nilai pembentukan karakter berlandaskan ajaran agama. Artinya, kita tidak boleh lagi alergi membahas materi-materi pelajaran berbau mistis, asal media nyata tersebut dikaji terlebih dahulu secara serius dengan metodologi kajian (tradisi lisan) sesuai dengan materinya. Mengapa demikian? Karena bahan ajar tersebut di atas tersedia sangat melimpah di sekitar anak didik di lingkungannya. Mereka secara sadar maupun tidak selalu bersentuhan dengan situasi berbau mistis di kehidupan kesehariannya. Oleh karena itu, alangkah baiknya ide-ide, gagasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks yang dibaca oleh seseorang (dukun, saman, pawang dll) dijadikan bahan ajar sastra atau pelajaran agama sekalipun.
            Manfaat secara khusus bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama Islam : (1) bahan ajar bisa digali dimana saja, (2) memadukan kondisi nyata di masyarakat dengan pembentukan karakter anak didik, dan (3) menanamkan keyakinan tidak harus berdasarkan teks Qur’an dan Hadis tapi bisa dimulai/divariasi dari budaya lokal baru dirujukkan ke Al Qur’an dan hadist. Disini akan dibahas mantra rejang sebagai bahan ajar mata pelajaran bahasa dan agama.
Mantra Rejang
1.    Jinak-jinak ko medau kagea uku
Jinak-jinak ko medau gomoa uku
Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku
Uku magea ko kareno jagok unui nu
Teko ko mio ko nemot ku
Mis ko medau masiak lem kuasoku
Mis ko medau harus jijai milikku
Hop kato Allohu
2.    Ya Alloh tuhanku,
Keley uku cahayo lem ateiku
Keley uku cahayo lem pandang gen uku
Keley gen uku cahayo, nak sisi kanenku, kideuku, mukoku, belakangku
Keley gen uku nak lem saraf-sarafku, daging-dagingku
(dikutip dari : Ekorusyono, 2013 : 155-157)

Mantra di atas tergolong puitis karena adanya persajakan (pengulangan vokal maupun konsonan) juga adanya struktur siktaksisnya. Pada mantra pertama persajakannya sangat rapat adanya asonansi. Sebagai contoh pada teks pertama, persajakannya diakhiri dengan /u/ mulai dari baris pertama sampai akhir lewat kata uku baris satu sampai tiga dan nu baris keempat serta ku pada baris lima sampai delapan. Apabila kalimat-kalimat mantra tersebut dirapalkan seakan ada lagu (seni) karena adanya pengulangan kata seperti kata jinak, ko, medau, jagok, mis. Juga adanya repetesi pada baris satu, dua dan enam tujuh lewat Jinak-jinak ko medau dan mis ko medau. Pengaruh dari pengulangan-pengulangan bunyi menimbulkan suara berirama (seni) seperti dinyanyikan dan menambah kemudahan makna diserap masuk ke dalam hati.
Sementara teks kedua juga memiliki persajakan yang diakhiri dengan /ku/ mulai dari baris pertama sampai kelima lewat kata Tuhanku, ateiku, uku, belakangku, dagingku. Kata  keley diulang dari baris kedua sampai kelima, ini selain memberi irama juga menunjukkan kesungguhan. Bahasan  menunjukkan bahwa kedua mantra memiliki sisi puitis secara tinjauan linguistik.
Selain bahasa ada sisi isi yang perlu diketahui sebelum mengkaji dari aspek antropologi budaya. Teks pertama isinya menggambarkan bahwa masyarakat pemakainya semi agraris. Maksudnya, selain bertani juga masih mencari kebutuhannya dengan memanfaatkan hasil hutan yang ada disekitarnya. Sedangkan teks kedua menunjukkan bahwa masyarakat rejang selain semi agraris juga relijius. Kerelijiusan itu ditunjukkan lewat “Hop kata Allohu” dan “Ya Alloh Tuhanku” yang disimbolkan keyakinan pada Alloh sebagai penguasa pada teks pertama dan tempat meminta pada teks kedua diduga sementara sebagai warisan tradisi ajaran Islam.
Darimana kita berani menyimpulkan bahwa mantra di atas warisan tradisi Islam? Pertama ditinjau dari makna teks, simbol nama Alloh itu sendiri berasal dari firman Alloh dalam Al Qur’an (20 : 14) “Sesungguhnya Aku ini adalah Alloh, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Alloh, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku”. Dalam ayat tersebut sangat jelas dikatakan bahwa Alloh memperkenalkan dirinya bernama Alloh, jadi kata simbol “Alloh” itu bukan dari rekayasa masyarakat Rejang untuk menamai sesuatu yang kuat , tempat meminta, berkuasa diluar dirinya tapi jelas warisan dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an. Perhatikan baris ketiga dan keempat berikut : “Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku, Uku magea ko kareno jagok unui nu” (sehebat-hebatnya kamu tawon masih hebat saya, saya menemuimu karena lebih hebat dari kamu) maknanya sangat jelas bahwa pernyataan saya (manusia) lebih mulia dari kamu (hewan). Makna ini bukan suatu kesombongan akan tetapi memang manusia diciptakan lebih mulia dari pada hewan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an (90 : 4) “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Kelebihan manusia atas hewan sangat dipahami oleh nenek moyang masyarakat Rejang, ini yang membuat mereka sangat berani dan tidak takut akan serangan (sengatan) lebah madu. Keyakinan akan kewibawaan inilah yang menyebabkan lebah madu tidak menyerang saat sarang mereka diambil madunya. Simbol “jagok” melambangkan kekuatan, kelihaian dalam bertanding, kesaktian, keunggulan dalam segala hal atau pertarungan yang dimenangkan, dan itu dalam pandangan (itu benar adanya) masyarakat rejang hewan tidak akan pernah mengalahkan manusia.
            Setakat itu, pada baris keenam dan ketujuh “Mis ko medau masiak lem kuasoku, Mis ko medau harus jijai milikku” (manis madumu masih dalam kekuasaanku, manis madumu harus menjadi milikku). Nenek moyang orang rejang meyakini bahwa  madu yang tersedia di alam adalah milik atau diperuntukkan bagi manusia. Kalimat keenam ini selaras dengan firman Alloh dalam Al Qur”an (2 : 29) “Dialah Alloh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini kemudian dirumuskan oleh para ulama menjadi kaidah fikih sebagai berikut, “Semua yang ada di muka bumi hukumnya halal kecuali yang diharamkan, dan semua peribadatan hukumnya haram kecuali yang diperintahkan”. Maka sangat masuk akal jikalau muncul kalimat ketujuh, sebagai hasil pemahaman yang diejawantahkan secara sederhana dalam mantra mengunduh madu. Siapa yang menyuruh semua itu, masyarakat rejang menunjuk pada Alloh, seperti pada baris ke delapan “hop kato Alloh”. “Hop” adalah kata penekanan/ penegasan bahwa semua itu firman Alloh, bukan kata atau kehendak manusia maka menurutlah wahai lebah. Istilah hop lebih tepat kalau disandingkan dengan “hough” bahasa Indian Amerika.
            Pada teks kedua, dengan sangat gamblang bahwa permintaan ditujukan pada Alloh, Tuhan-Nya masyarakat rejang, tempat mereka mengadu, meminta, memohon pertolongan dll. Dalam baris pertama merujuk pada permintaan seseorang yang bermunajat berharap diberi sesuatu sesuai dengan yang dimaui. Meminta, memohon sesuatu yang ditujukan pada yang berkuasa yaitu Alloh memang ajaran Islam. Coba perhatikan firman Alloh ( 40 : 60) “ Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan (kabulkan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina. Ayat di atas memerintahkan manusia untuk meminta kepada-Nya melalui doa pasti akan dikabulkan dengan persyaratan dipenuhi doa dijelaskan pada firman berikut ini (42:26)  “dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. Ayat ini memperjelas syarat dikabulkannya doa yaitu beriman, beramal, berinfaq. Beriman (yakin) akan kekuasaan Alloh syarat pertama dan utama dikabulkannya doa. Berkait dengan masalah keimanan ini masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam di tanah rejang sudah meyakini bahwa di langit ada sebuah kerajaan.
Masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam sudah meyakini bahwa di langit ada kerajaan. Keyakinan ini terlihat pada cerita-cerita dongeng mereka seperti  dongeng “Lalan Belek”, disana disebutkan : Bel’o ade kerajaan nak das lenget dst. Pernyataan yang muncul pada awal cerita menunjukkan dengan jelas bahwa di langit ada sebuah kerajaan. Kerajaan langit ini semakin diperjelas siapa rajanya,  masyarakat rejang mengakui rajanya adalah Alloh. Pernyataan ini didukung oleh teks-teks rejang lainnya seperti kisah kejadian manusia dalam gelumpai bambu, terjemahan Sarwit Sarwono dkk (2001: 144) teks D 3-4 dan masih banyak yang lainnya.
 Kepercayaan ini selaras dengan informasi Al Qur;an ( 3:129) “Kepunyaan Alloh apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki, Dia menyiksa yang Dia kehendaki dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Lebih jelas lagi pada (7:54) “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha Suci Alloh, Tuhan semesta alam”. Arsy diterjemahkan sebagai kursi singgasana raja, hal ini dijelaskan pada (69:17) “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan  malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”.  Jadi pengakuan masyarakat rejang akan paham monotheisme tidak diragukan lagi warisan kepercayaan yang dibawa para Nabi.
Pada teks kedua maknanya dapat dipahami sebagai permintaan kepada Alloh lewat “Ya Alloh Tuhanku” . Yang diminta adalah cahaya (nur), tentu maksudnya bukan cahaya dalam arti denotasi. Cahaya dimaksud bermakna konotasi yaitu “daya pikat”, permintaan pertama daya pikat dalam hati kemudian pandangan matanya. Orang jatuh cinta dimulai dari mata lalu turun ke hati, jikalau keduanya memiliki daya pikat tentu akan mudah menarik lawan jenis untuk jatuh hati dan lengket kayak perangko. Baris berikutnya menyempurnakan permintaan supaya seluruh tubuh memiliki daya tarik, lawan jenis akan tertarik walau melihat tubuh dari belakang apalagi samping dan muka. Mantra ini kalau dibaca lawan jenis (baik pria/wanita) hanya melihat gerak-geriknya saja sudah terpikat apalagi sampai menatap muka.
Setakat itu, bisa juga yang dimaksud adalah “nur Alloh” (cahaya Alloh) seperti dalam Al Qur’an (2:256) “Alloh pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya iman. Dan orang-orang kafir pelindungnya ialah syaithon, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran) Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Jadi yang dimaksud cahaya adalah kekuatan iman, dari kekuatan iman inilah akan terpancar sinar kepercayaan diri kuat sehingga memiliki keberanian untuk mendekati lawan jenis pujaannya. Mendekati disini jangan dikonotasikan negatif, tapi mendekat yang dibingkai tradisi budaya masyarakat rejang masa itu. Tradisi dimana dalam bertandang harus berbalas pantun terlebih dahulu, laki-laki di halaman sedangkan wanitanya di beranda ditemani kedua orang tuanya. Proses berbalas pantun kadang memerlukan berkali-kali bertandang sampai diputuskan diterima atau ditolak. Kalau jawaban pantunnya diterima baru dibolehkan naik ke beranda, sementara wanitanya di umeak danei. Artinya, kondisinya selalu terpisah dan dalam pengawasan orang tua, tentu sangat kontras dengan kondisi sekarang.
Kedua ditinjau dari makna para teks, baik mantra teks pertama maupun kedua memiliki kesamaan yakni tumbuh dan berkembang dari masyarakat Rejang. Sebelum menganalisis dari sisi para teks sebaiknya kedua teks tersebut diatas diterjemahkan terlebih dahulu sebagai berikut :
1.    Jinak-jinaklah kau tawon madu temui aku
 jinak-jinaklah kau tawon madu keroyoklak aku
sejago-jagonya kamu tawon madu masih jagolah aku
aku menemuimu karena aku lebih jago daripadamu
datanglah kamu kesini, kamu tunggu aku
manis madumu masih dalam kekuasaanku
manis madumu harus jadi milikku
itulah kehendak Alloh.
2.    Ya Alloh Tuhanku
berilah aku cahaya di dalam hatiku
beri aku cahaya dalam pandangan namaku
beri aku biar bercahaya di sisi kanan, kiri, muka dan belakangku
berilah daya pikat dalam saraf-sarafku dan masuk ke dalam daging-dagingku

 Tinjauan para teks mantra diatas dilihat dari kehidupan keseharian masyarakat rejang sebagai pemilik teks dapat disimpulkan : (1) masyarakat rejang mayoritas pemeluk agama Islam fanatik. Dikatakan fanatik karena sejak Islam masuk ke wilayah rejang semua warga baik yang melaksanakan syariat maupun abangan, tidak ditemui yang pindah agama selama penjajahan berlangsung hingga kini.(2) banyak ajaran Islam yang sudah mentradisi sehingga tidak diketahui lagi kalau adat istiadat tersebut bersumber dari Islam.seperti pantang mandi telanjang termasuk juga mantra di atas. (3) Kearifan lokal masyarakat rejang dalam memanen madu terlihat pada langkah-langkah yang dipraktekkan tatkala peristiwa itu diperagakan di tempat kejadian. Langkah pertama, mereka bermusyawarah dalam kelompok kecil, yang dibicarakan antara lain pembagian tugas, cara pembagian hasil, mengecek peralatan yang diperlukan. Langkah kedua, mereka mulai masuk hutan mencari sarang tawon dan memberi tanda, guna tanda sebagai pemberitahuan bahwa sarang tersebut sudah ada yang punya sekaligus pengumuman bahwa sarang itu sudah diambil madunya. Langkah ketiga, membuat tangga dari bambu jikalau pohon tidak terlalu tinggi, pakai paku pasak jika pohonnya tinggi jika pohonnya diameter tidak terlalu besar dan bulat maka pakai tali kaki yang dilingkarkan ke batang sebagai pijakan untuk memanjat. Langkah ketiga, sesampai di atas dekat sarang pelaku utama menjulurkan tali sebagai alat untuk menaik-turunkan barang. Langkah keempat, rombongan dibawah membaca mantra sambil salah seorang menghidupkan obor yang telah disediakan. Langkah kelima, obor dinaikkan melalui tali, pelaku utama membaca mantra dan mematikan api obor hingga tinggal asap kemudian digunakan untuk mengasapi sarang tawon agar tawon menyingkir tetapi tidak mati. Langkah keenam, pelaku utama mengambil madu langsung dimasukkan ke dalam ember yang sudah disiapkan rombongan di bawah melalui tali dan langsung diturunkan diikuti pelaku utama yang juga ikut turun. Langkah terakhir, madu diolah dimasukkan ke dalam botol dan dibagi sesuai kesepakatan.
Dari kajian teks dan para teks tersebut, ditemukan nilai budaya relijius, kerja sama dan kearifan lokal yang terkandung di dalam kedua mantra yang ditampilkan. Artinya, mantra rejang tersebut layak dijadikan media dalam pengajaran sastra karena bernilai budaya tinggi dan bisa membentuk karakter siswa sesuai nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Disini guru mata pelajaran bahasa Indonesia dapat memanfaatkan mantra di atas atau yang lainnya sebagai media pembelajaran berbasis budaya lokal. Adapun langkah-langkah dalam pembelajarannya akan disajikan di bawah ini dengan menggunakan metode “Discovered based learning” suatu metode pembelajaran agar siswa menemukan sendiri suatu konsep dengan proses mental sebagai berikut : mengamati, mencerna, mengerti, mengklasifikasi, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan.
1.    Siswa diberi tugas secara kelompok mencari mantra-mantra yang ada di lingkungannya minimal dua mantra. Pengamatan di lapangan ini (merekam, mengklasifikasi, wawancara dengan pemilik mantra) mendidik siswa untuk menjadi manusia literer yang diperoileh di alam nyata bukan hanya di perpustakaan dan media teknologi (TV, Radio, HP Android dll).
2.    Siswa mengindentifikasi data yang diperoleh betul-betul termasuk jenis mantra. Pengertian tentang mantra diperoleh melalui cara literacy  dan diskusi terbimbing bagi siswa pendidikan dasar.
3.    Siswa mengapresiasi mantra yang diperoleh dan wakil kelompok menjelaskannya di depan kelas.
4.    Guru memasang alat peraga nilai budaya serta penjelasannya di papan tulis (lihat deskripsi nilai budaya dalam tesis saya halaman 24-25 di perpustakaan UNIB).
5.    Siswa mulai mencari nilai budaya yang terkandung dalam mantra sesuai ukuran yang ada dalam alat peraga dan bersama guru membuat kesimpulan.
6.    Hasil nilai budaya yang ditemukan siswa di tulis di papan tulis, siswa secara perseorangan boleh memilih salah satu nilai budaya yang ditemukan untuk ditulis menjadi sebuah teks.(KI 4).
Selain guru Bahasa Indonesia, guru agama Islam dapat memadukan pelajaran bahasa tersebut untuk mengajarkan materi Aqidah tentang nama, tempat, dan Alloh sebagai pencipta, pemberi rezeki, raja di dunia juga akhirat (Rububiyatullohi) dengan metode literacy berbasis IT. Langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut :
1.    Siswa membawa gadget/hp android, minimal satu kelompok (3-4 siswa) satu hp android.
2.    Siswa dibimbing bagaimana langkah-langkah cara mencari ayat-ayat dalam Al Qur’an di hp-nya.
3.    Siswa mulai mencari nama, tempat Alloh bersemayam, dan mencari ayat-ayat tentang rububiyatulloh dalam Al Qur’an.
4.    Siswa memahami maksud ayat-ayat tersebut merujuk pada Qur’an terjemahan dan tafsirnya baik klasik maupun tafsir modern.
5.    Siswa menyimpulkan hasil temuannya.
            Pembelajaran melalui media budaya lokal tidak kalah menariknya dibanding media pembelajaran lainnya. Kekayaan literatur yang ada di sekitar kita sudah memadai untuk mendukung pembentukan karakter anak. Kreativitas anak bisa digali dari kondisi nyata di lingkungan hidupnya sehari-hari. Nilai budaya asli lebih mudah terserap dan terinternalisasi pada diri pemilik kebudayaan itu sendiri dibanding budaya asing.
            Mantra (puisi lama) masih dijumpai di kehidupan sehari-hari anak didik dapat dimanfaatkan untuk membentuk karakter mereka. Tentu masih banyak sekali bahan ajar lainnya yang perlu diekplore dari alam lingkungan anak. Gagasan-gagasan, ide, nilai-nilai dan kearifan lokal bahan ajar yang tersedia (masih murni) perlu digali bersama guru kemudian diinternalisasi melalui kreativitas siswa bisa berujud apa saja sesuai dengan kompetensi dasar (KD) mata pelajarannya (bahasa atau agama). Contoh di atas sekedar garis besar salah satu metode untuk mengungkap pesan dan makna sastra lisan.
Dalam pembelajarannya bisa melebar pada tahapan-tahapan penelitian sastra lisan. Kajian di atas hanya mengungkap satu aspek dari tiga aspek kajian sastra lisan, Endraswara (2008:154-155) dalam penelitian sastra lisan sekurang-kurangnya meliputi tiga hal (1) mengkaji asal-usul sastra lisan, yang mengungkap darimana sastra itu lahir, apakah berhasil merefleksikan keadaan masyarakat, dan bagaimana tranformasinya, (2) mengkaji pesan dan makna sastra lisan, yaitu nilai-nilai apa yang hendak disampaikan, simbol-simbol apa yang digunakan untuk membungkus pesan, apakah masih relevan bagi masyarakat sekarang, dan (3) mengkaji fungsi sastra lisan, antara lain untuk kontrol sosial politik, mendidik masyarakat, menyindir dan sebagainya. Aspek-aspek penelitian sastra lisan bisa dibagi menjadi tiga kompetensi dasar (tiga pertemuan) dalam satu RPP sehingga anak memiliki kemampuan dasar dalam mengkaji sastra lisan yang melimpah di sekitar kehidupannya.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (pemimpin redaksi). 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.  Jakarta : Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Presindo.
Ekorusyono, YY. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sarwono, Sarwit dkk. Kisah Manusia dan Semesta dari Masyarakat Rejang di Propinsi Bengkulu : Analisis Struktur dan Fungsi. Jakarta : Depdiknas, 2001.
Yayasan Penterjemah Al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al Madinah An Nabawiyah. Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifain Raja Fahd.