Mistik Rejang : Mantra Warisan Tradisi Islam Bahan Ajar Pembentukan
Karakater.
Pengertian mistik berdasarkan kamus Besar
Bahasa Indonesia (2002:749) adalah
“subsistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi
hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan”. Mistik
Rejang dikenal sebagai subsistem agama Islam yang berkembang dan dipandang
suatu ajaran yang suci sesuai tradisi masyarakat Rejang. Terlepas apakah mistik
tersebut sesuai atau tidak dengan tata aturan ajaran Islam yang semestinya.
Disini dikaji fakta mistik yang ada dan berkembang di tengah masyarakat rejang
tanpa pretensi apa pun, maksudnya tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan
perilaku mistik yang ada.
Penulis mencoba mengkaji mistis
Rejang dari teori etnopuitika Sherzer & Woodbury (dalam MPPS, 2008:219)
yakni “suatu kajian gabungan dari empat disiplin ilmu : linguistik, sastra (lisan),
antropologi dan folklore”. Secara aksiomatis kondisi sosial budaya tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan, mengingat bahasa dan budaya satu kesatuan yang
saling kait berkelindan. Namun demikian titik tekan pada kajian ini pada
linguistik sesuai latar belakang pendidikan penulis di bidang bahasa dan
sastra.
Adapun tujuan mengangkat tema mistik
ini untuk mengaitkan kondisi nyata di masyarakat dengan pendidikan di dalam
kelas. Kadang kita sebagai guru jarang menggunakan media pemakaian bahasa yang
dipraktekkan masyarakat sehari-hari apalagi berbau mistis. Kata “mistis” itu
sendiri seakan hantu yang harus dihindari dari dunia ilmiah yang ditanamkan di
sekolah. Padahal sesuatu yang berbau
mistis yang di tengah masyarakat disakralkan atau dipandang suci tapi di dunia
pendidikan dilecehkan seakan menyesatkan itu mengandung nilai pembentukan
karakter berlandaskan ajaran agama. Artinya, kita tidak boleh lagi alergi
membahas materi-materi pelajaran berbau mistis, asal media nyata tersebut
dikaji terlebih dahulu secara serius dengan metodologi kajian (tradisi lisan) sesuai
dengan materinya. Mengapa demikian? Karena bahan ajar tersebut di atas tersedia
sangat melimpah di sekitar anak didik di lingkungannya. Mereka secara sadar
maupun tidak selalu bersentuhan dengan situasi berbau mistis di kehidupan
kesehariannya. Oleh karena itu, alangkah baiknya ide-ide, gagasan dan
nilai-nilai yang terkandung dalam teks yang dibaca oleh seseorang (dukun,
saman, pawang dll) dijadikan bahan ajar sastra atau pelajaran agama sekalipun.
Manfaat secara khusus bagi guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama Islam : (1) bahan ajar bisa digali dimana
saja, (2) memadukan kondisi nyata di masyarakat dengan pembentukan karakter
anak didik, dan (3) menanamkan keyakinan tidak harus berdasarkan teks Qur’an
dan Hadis tapi bisa dimulai/divariasi dari budaya lokal baru dirujukkan ke Al
Qur’an dan hadist. Disini akan dibahas mantra rejang sebagai bahan ajar mata
pelajaran bahasa dan agama.
Mantra Rejang
1. Jinak-jinak ko medau kagea uku
Jinak-jinak ko medau gomoa uku
Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku
Uku magea ko kareno jagok unui nu
Teko ko mio ko nemot ku
Mis ko medau masiak lem kuasoku
Mis ko medau harus jijai milikku
Hop kato Allohu
2. Ya Alloh tuhanku,
Keley uku cahayo lem ateiku
Keley uku cahayo lem pandang gen uku
Keley gen uku cahayo, nak sisi kanenku, kideuku,
mukoku, belakangku
Keley gen uku nak lem saraf-sarafku, daging-dagingku
(dikutip dari : Ekorusyono, 2013 : 155-157)
Mantra di atas tergolong puitis karena adanya
persajakan (pengulangan vokal maupun konsonan) juga adanya struktur siktaksisnya.
Pada mantra pertama persajakannya sangat rapat adanya asonansi. Sebagai contoh
pada teks pertama, persajakannya diakhiri dengan /u/ mulai dari baris pertama
sampai akhir lewat kata uku
baris satu sampai tiga dan nu baris
keempat serta ku pada baris
lima sampai delapan. Apabila kalimat-kalimat mantra tersebut dirapalkan seakan
ada lagu (seni) karena adanya pengulangan kata seperti kata jinak, ko, medau, jagok, mis. Juga adanya repetesi pada baris
satu, dua dan enam tujuh lewat Jinak-jinak
ko medau dan mis ko medau. Pengaruh
dari pengulangan-pengulangan bunyi menimbulkan suara berirama (seni) seperti
dinyanyikan dan menambah kemudahan makna diserap masuk ke dalam hati.
Sementara teks kedua juga memiliki persajakan yang
diakhiri dengan /ku/ mulai dari baris pertama sampai kelima lewat kata Tuhanku, ateiku, uku, belakangku, dagingku. Kata keley
diulang dari baris kedua sampai kelima, ini selain memberi irama juga menunjukkan
kesungguhan. Bahasan menunjukkan bahwa
kedua mantra memiliki sisi puitis secara tinjauan linguistik.
Selain bahasa ada sisi isi yang perlu diketahui
sebelum mengkaji dari aspek antropologi budaya. Teks pertama isinya
menggambarkan bahwa masyarakat pemakainya semi agraris. Maksudnya, selain
bertani juga masih mencari kebutuhannya dengan memanfaatkan hasil hutan yang
ada disekitarnya. Sedangkan teks kedua menunjukkan bahwa masyarakat rejang
selain semi agraris juga relijius. Kerelijiusan itu ditunjukkan lewat “Hop kata
Allohu” dan “Ya Alloh Tuhanku” yang disimbolkan keyakinan pada Alloh sebagai penguasa pada teks pertama dan tempat meminta pada teks kedua diduga sementara
sebagai warisan tradisi ajaran Islam.
Darimana kita berani menyimpulkan bahwa mantra di
atas warisan tradisi Islam? Pertama
ditinjau dari makna teks, simbol nama Alloh itu sendiri berasal dari
firman Alloh dalam Al Qur’an (20 : 14) “Sesungguhnya
Aku ini adalah Alloh, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Alloh, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku”. Dalam ayat tersebut
sangat jelas dikatakan bahwa Alloh memperkenalkan dirinya bernama Alloh, jadi
kata simbol “Alloh” itu bukan dari rekayasa masyarakat Rejang untuk menamai
sesuatu yang kuat , tempat meminta, berkuasa diluar dirinya tapi jelas warisan
dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an. Perhatikan baris ketiga dan
keempat berikut : “Sajagok-jagok ko medau jagok kanei uku, Uku magea ko kareno
jagok unui nu” (sehebat-hebatnya kamu tawon masih hebat saya, saya menemuimu
karena lebih hebat dari kamu) maknanya sangat jelas bahwa pernyataan saya
(manusia) lebih mulia dari kamu (hewan). Makna ini bukan suatu kesombongan akan
tetapi memang manusia diciptakan lebih mulia dari pada hewan. Hal ini seperti
yang dinyatakan dalam Al Qur’an (90 : 4) “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. Kelebihan manusia atas hewan sangat dipahami oleh
nenek moyang masyarakat Rejang, ini yang membuat mereka sangat berani dan tidak
takut akan serangan (sengatan) lebah madu. Keyakinan akan kewibawaan inilah
yang menyebabkan lebah madu tidak menyerang saat sarang mereka diambil madunya.
Simbol “jagok” melambangkan kekuatan, kelihaian dalam bertanding, kesaktian,
keunggulan dalam segala hal atau pertarungan yang dimenangkan, dan itu dalam
pandangan (itu benar adanya) masyarakat rejang hewan tidak akan pernah
mengalahkan manusia.
Setakat
itu, pada baris keenam dan ketujuh “Mis ko medau masiak lem kuasoku, Mis ko
medau harus jijai milikku” (manis madumu masih dalam kekuasaanku, manis madumu
harus menjadi milikku). Nenek moyang orang rejang meyakini bahwa madu yang tersedia di alam adalah milik atau
diperuntukkan bagi manusia. Kalimat keenam ini selaras dengan firman Alloh
dalam Al Qur”an (2 : 29) “Dialah
Alloh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini kemudian dirumuskan oleh para ulama
menjadi kaidah fikih sebagai berikut, “Semua yang ada di muka bumi hukumnya
halal kecuali yang diharamkan, dan semua peribadatan hukumnya haram kecuali
yang diperintahkan”. Maka sangat masuk akal jikalau muncul kalimat ketujuh,
sebagai hasil pemahaman yang diejawantahkan secara sederhana dalam mantra
mengunduh madu. Siapa yang menyuruh semua itu, masyarakat rejang menunjuk pada
Alloh, seperti pada baris ke delapan “hop kato Alloh”. “Hop” adalah kata
penekanan/ penegasan bahwa semua itu firman Alloh, bukan kata atau kehendak
manusia maka menurutlah wahai lebah. Istilah hop lebih tepat kalau disandingkan
dengan “hough” bahasa Indian Amerika.
Pada
teks kedua, dengan sangat gamblang bahwa permintaan ditujukan pada Alloh,
Tuhan-Nya masyarakat rejang, tempat mereka mengadu, meminta, memohon
pertolongan dll. Dalam baris pertama merujuk pada permintaan seseorang yang
bermunajat berharap diberi sesuatu sesuai dengan yang dimaui. Meminta, memohon
sesuatu yang ditujukan pada yang berkuasa yaitu Alloh memang ajaran Islam. Coba
perhatikan firman Alloh ( 40 : 60) “ Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Ku-perkenankan (kabulkan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka jahanam dalam keadaan
hina dina. Ayat di atas memerintahkan manusia untuk meminta kepada-Nya melalui
doa pasti akan dikabulkan dengan persyaratan dipenuhi doa dijelaskan pada
firman berikut ini (42:26) “dan Dia
memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan
menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir
bagi mereka azab yang sangat keras”. Ayat ini memperjelas syarat dikabulkannya
doa yaitu beriman, beramal, berinfaq. Beriman (yakin) akan kekuasaan Alloh
syarat pertama dan utama dikabulkannya doa. Berkait dengan masalah keimanan ini
masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam di tanah rejang sudah meyakini bahwa
di langit ada sebuah kerajaan.
Masyarakat rejang sebelum kedatangan Islam sudah
meyakini bahwa di langit ada kerajaan. Keyakinan ini terlihat pada
cerita-cerita dongeng mereka seperti
dongeng “Lalan Belek”, disana disebutkan : Bel’o ade kerajaan nak das
lenget dst. Pernyataan yang muncul pada awal cerita menunjukkan dengan
jelas bahwa di langit ada sebuah kerajaan. Kerajaan langit ini semakin
diperjelas siapa rajanya, masyarakat
rejang mengakui rajanya adalah Alloh. Pernyataan ini didukung oleh teks-teks
rejang lainnya seperti kisah kejadian manusia dalam gelumpai bambu,
terjemahan Sarwit Sarwono dkk (2001: 144) teks D 3-4 dan masih banyak yang
lainnya.
Kepercayaan
ini selaras dengan informasi Al Qur;an ( 3:129) “Kepunyaan Alloh apa yang ada di langit dan yang ada di bumi.
Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki, Dia menyiksa yang Dia
kehendaki dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Lebih jelas lagi pada
(7:54) “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah
Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia
bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha Suci Alloh, Tuhan semesta
alam”. Arsy diterjemahkan sebagai kursi singgasana raja, hal ini dijelaskan
pada (69:17) “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada
hari itu delapan malaikat menjunjung
‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”.
Jadi pengakuan masyarakat rejang akan paham monotheisme tidak diragukan
lagi warisan kepercayaan yang dibawa para Nabi.
Pada teks kedua maknanya dapat dipahami sebagai
permintaan kepada Alloh lewat “Ya Alloh Tuhanku” . Yang diminta adalah cahaya
(nur), tentu maksudnya bukan cahaya dalam arti denotasi. Cahaya dimaksud
bermakna konotasi yaitu “daya pikat”, permintaan pertama daya pikat dalam hati
kemudian pandangan matanya. Orang jatuh cinta dimulai dari mata lalu turun ke
hati, jikalau keduanya memiliki daya pikat tentu akan mudah menarik lawan jenis
untuk jatuh hati dan lengket kayak perangko. Baris berikutnya menyempurnakan
permintaan supaya seluruh tubuh memiliki daya tarik, lawan jenis akan tertarik
walau melihat tubuh dari belakang apalagi samping dan muka. Mantra ini kalau
dibaca lawan jenis (baik pria/wanita) hanya melihat gerak-geriknya saja sudah
terpikat apalagi sampai menatap muka.
Setakat itu, bisa juga yang dimaksud adalah “nur
Alloh” (cahaya Alloh) seperti dalam Al Qur’an (2:256) “Alloh pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya iman. Dan orang-orang kafir
pelindungnya ialah syaithon, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran) Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”. Jadi yang dimaksud cahaya adalah kekuatan iman, dari kekuatan iman
inilah akan terpancar sinar kepercayaan diri kuat sehingga memiliki keberanian
untuk mendekati lawan jenis pujaannya. Mendekati disini jangan dikonotasikan
negatif, tapi mendekat yang dibingkai tradisi budaya masyarakat rejang masa
itu. Tradisi dimana dalam bertandang harus berbalas pantun terlebih dahulu,
laki-laki di halaman sedangkan wanitanya di beranda ditemani kedua orang
tuanya. Proses berbalas pantun kadang memerlukan berkali-kali bertandang sampai
diputuskan diterima atau ditolak. Kalau jawaban pantunnya diterima baru
dibolehkan naik ke beranda, sementara wanitanya di umeak danei. Artinya, kondisinya
selalu terpisah dan dalam pengawasan orang tua, tentu sangat kontras dengan
kondisi sekarang.
Kedua ditinjau dari makna para teks, baik mantra
teks pertama maupun kedua memiliki kesamaan yakni tumbuh dan berkembang dari
masyarakat Rejang. Sebelum menganalisis dari sisi para teks sebaiknya kedua
teks tersebut diatas diterjemahkan terlebih dahulu sebagai berikut :
1. Jinak-jinaklah
kau tawon madu temui aku
jinak-jinaklah kau tawon madu keroyoklak aku
sejago-jagonya kamu tawon
madu masih jagolah aku
aku menemuimu karena aku
lebih jago daripadamu
datanglah kamu kesini, kamu
tunggu aku
manis madumu masih dalam
kekuasaanku
manis madumu harus jadi
milikku
itulah kehendak Alloh.
2. Ya
Alloh Tuhanku
berilah aku cahaya di dalam
hatiku
beri aku cahaya dalam
pandangan namaku
beri aku biar bercahaya di
sisi kanan, kiri, muka dan belakangku
berilah daya pikat dalam
saraf-sarafku dan masuk ke dalam daging-dagingku
Tinjauan para
teks mantra diatas dilihat dari kehidupan keseharian masyarakat rejang sebagai
pemilik teks dapat disimpulkan : (1) masyarakat rejang mayoritas pemeluk agama
Islam fanatik. Dikatakan fanatik karena sejak Islam masuk ke wilayah rejang
semua warga baik yang melaksanakan syariat maupun abangan, tidak ditemui yang
pindah agama selama penjajahan berlangsung hingga kini.(2) banyak ajaran Islam
yang sudah mentradisi sehingga tidak diketahui lagi kalau adat istiadat
tersebut bersumber dari Islam.seperti pantang mandi telanjang termasuk juga mantra
di atas. (3) Kearifan lokal masyarakat rejang dalam memanen madu terlihat pada
langkah-langkah yang dipraktekkan tatkala peristiwa itu diperagakan di tempat
kejadian. Langkah pertama, mereka bermusyawarah dalam kelompok kecil, yang
dibicarakan antara lain pembagian tugas, cara pembagian hasil, mengecek
peralatan yang diperlukan. Langkah kedua, mereka mulai masuk hutan mencari
sarang tawon dan memberi tanda, guna tanda sebagai pemberitahuan bahwa sarang
tersebut sudah ada yang punya sekaligus pengumuman bahwa sarang itu sudah
diambil madunya. Langkah ketiga, membuat tangga dari bambu jikalau pohon tidak
terlalu tinggi, pakai paku pasak jika pohonnya tinggi jika pohonnya diameter
tidak terlalu besar dan bulat maka pakai tali kaki yang dilingkarkan ke batang
sebagai pijakan untuk memanjat. Langkah ketiga, sesampai di atas dekat sarang
pelaku utama menjulurkan tali sebagai alat untuk menaik-turunkan barang.
Langkah keempat, rombongan dibawah membaca mantra sambil salah seorang
menghidupkan obor yang telah disediakan. Langkah kelima, obor dinaikkan melalui
tali, pelaku utama membaca mantra dan mematikan api obor hingga tinggal asap
kemudian digunakan untuk mengasapi sarang tawon agar tawon menyingkir tetapi
tidak mati. Langkah keenam, pelaku utama mengambil madu langsung dimasukkan ke
dalam ember yang sudah disiapkan rombongan di bawah melalui tali dan langsung
diturunkan diikuti pelaku utama yang juga ikut turun. Langkah terakhir, madu
diolah dimasukkan ke dalam botol dan dibagi sesuai kesepakatan.
Dari kajian teks dan para teks tersebut, ditemukan
nilai budaya relijius, kerja sama dan kearifan lokal yang terkandung di dalam kedua
mantra yang ditampilkan. Artinya, mantra rejang tersebut layak dijadikan media
dalam pengajaran sastra karena bernilai budaya tinggi dan bisa membentuk
karakter siswa sesuai nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Disini guru
mata pelajaran bahasa Indonesia dapat memanfaatkan mantra di atas atau yang
lainnya sebagai media pembelajaran berbasis budaya lokal. Adapun
langkah-langkah dalam pembelajarannya akan disajikan di bawah ini dengan
menggunakan metode “Discovered based learning” suatu metode pembelajaran agar
siswa menemukan sendiri suatu konsep dengan proses mental sebagai berikut :
mengamati, mencerna, mengerti, mengklasifikasi, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan.
1. Siswa diberi tugas secara kelompok mencari
mantra-mantra yang ada di lingkungannya minimal dua mantra. Pengamatan di
lapangan ini (merekam, mengklasifikasi, wawancara dengan pemilik mantra) mendidik
siswa untuk menjadi manusia literer yang diperoileh di alam nyata bukan hanya
di perpustakaan dan media teknologi (TV, Radio, HP Android dll).
2. Siswa mengindentifikasi data yang diperoleh
betul-betul termasuk jenis mantra. Pengertian tentang mantra diperoleh melalui
cara literacy dan diskusi terbimbing
bagi siswa pendidikan dasar.
3. Siswa mengapresiasi mantra yang diperoleh dan wakil
kelompok menjelaskannya di depan kelas.
4. Guru memasang alat peraga nilai budaya serta
penjelasannya di papan tulis (lihat deskripsi nilai budaya dalam tesis saya
halaman 24-25 di perpustakaan UNIB).
5. Siswa mulai mencari nilai budaya yang terkandung
dalam mantra sesuai ukuran yang ada dalam alat peraga dan bersama guru membuat
kesimpulan.
6. Hasil nilai budaya yang ditemukan siswa di tulis di
papan tulis, siswa secara perseorangan boleh memilih salah satu nilai budaya
yang ditemukan untuk ditulis menjadi sebuah teks.(KI 4).
Selain guru Bahasa Indonesia, guru agama Islam dapat
memadukan pelajaran bahasa tersebut untuk mengajarkan materi Aqidah tentang
nama, tempat, dan Alloh sebagai pencipta, pemberi rezeki, raja di dunia juga
akhirat (Rububiyatullohi) dengan metode literacy berbasis IT. Langkah-langkah
pembelajarannya sebagai berikut :
1. Siswa membawa gadget/hp android, minimal satu
kelompok (3-4 siswa) satu hp android.
2. Siswa dibimbing bagaimana langkah-langkah cara
mencari ayat-ayat dalam Al Qur’an di hp-nya.
3. Siswa mulai mencari nama, tempat Alloh bersemayam,
dan mencari ayat-ayat tentang rububiyatulloh dalam Al Qur’an.
4. Siswa memahami maksud ayat-ayat tersebut merujuk
pada Qur’an terjemahan dan tafsirnya baik klasik maupun tafsir modern.
5. Siswa menyimpulkan hasil temuannya.
Pembelajaran melalui media budaya
lokal tidak kalah menariknya dibanding media pembelajaran lainnya. Kekayaan
literatur yang ada di sekitar kita sudah memadai untuk mendukung pembentukan
karakter anak. Kreativitas anak bisa digali dari kondisi nyata di lingkungan
hidupnya sehari-hari. Nilai budaya asli lebih mudah terserap dan
terinternalisasi pada diri pemilik kebudayaan itu sendiri dibanding budaya
asing.
Mantra (puisi lama) masih dijumpai
di kehidupan sehari-hari anak didik dapat dimanfaatkan untuk membentuk karakter
mereka. Tentu masih banyak sekali bahan ajar lainnya yang perlu diekplore dari
alam lingkungan anak. Gagasan-gagasan, ide, nilai-nilai dan kearifan lokal
bahan ajar yang tersedia (masih murni) perlu digali bersama guru kemudian
diinternalisasi melalui kreativitas siswa bisa berujud apa saja sesuai dengan
kompetensi dasar (KD) mata pelajarannya (bahasa atau agama). Contoh di atas
sekedar garis besar salah satu metode untuk mengungkap pesan dan makna sastra
lisan.
Dalam
pembelajarannya bisa melebar pada tahapan-tahapan penelitian sastra lisan.
Kajian di atas hanya mengungkap satu aspek dari tiga aspek kajian sastra lisan,
Endraswara (2008:154-155) dalam penelitian sastra lisan sekurang-kurangnya
meliputi tiga hal (1) mengkaji asal-usul sastra lisan, yang mengungkap darimana
sastra itu lahir, apakah berhasil merefleksikan keadaan masyarakat, dan
bagaimana tranformasinya, (2) mengkaji pesan dan makna sastra lisan, yaitu nilai-nilai
apa yang hendak disampaikan, simbol-simbol apa yang digunakan untuk membungkus
pesan, apakah masih relevan bagi masyarakat sekarang, dan (3) mengkaji fungsi
sastra lisan, antara lain untuk kontrol sosial politik, mendidik masyarakat,
menyindir dan sebagainya. Aspek-aspek penelitian sastra lisan bisa dibagi
menjadi tiga kompetensi dasar (tiga pertemuan) dalam satu RPP sehingga anak
memiliki kemampuan dasar dalam mengkaji sastra lisan yang melimpah di sekitar
kehidupannya.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (pemimpin
redaksi). 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka.
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Presindo.
Ekorusyono,
YY. 2013. Kebudayaan Rejang. Yogyakarta : Penerbit Buku Litera.
MPSS, Pudentia (Editor). 2008. Metode Kajian Tradisi Lisan.
Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sarwono,
Sarwit dkk. Kisah Manusia dan Semesta dari Masyarakat Rejang di Propinsi Bengkulu :
Analisis Struktur dan Fungsi. Jakarta : Depdiknas, 2001.
Yayasan
Penterjemah Al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahannya Mushaf Al
Madinah An Nabawiyah. Makkah : Komplek Percetakan Al qur’an Khadim Al
Haramain asy Syarifain Raja Fahd.